Pemulihan Ekonomi Pasca Pandemi; Cetak Uang Atau Cari Utangan

Pemulihan Ekonomi Pasca Pandemi; Cetak Uang Atau Cari Utangan

Perdebatan opsi cetak uang atau obligasi sepertinya tidak akan berlangsung cepat.  Masing-masing pihak memiliki argumen yang kuat. Dari sisi sejarah, kebijakan mencetak uang bisa berujung hancurnya perekonomian. Sudah ada contohnya zaman Presiden Soekarno. Pun begitu dengan pinjaman dengan tenor yang panjang. Utang akan membebani generasi penerus bangsa.   ---------------- PEMERINTAH pusat tengah ribut memilih opsi. Mana yang terbaik untuk pemulihan ekonomi pasca COVID-19; Cetak uang seperti yang diusulkan DPR atau penerbitan obligasi (utang) dari Kementerian Keuangan. Terkait hal itu, Kepala Kantor Perwakilan (KPw) Bank Indonesia (BI) Kaltim, Tutuk Setya Hadi Cahyono, sudah menentukan sikapnya. Ia lebih memilih jalur obligasi atau utang ketika ditanya opsi terbaik dari dua pilihan itu. "Ya selama pemerintah masih butuh pembiayaan COVID dan lain-lain. Yang belum bisa dipenuhi dari anggaran penerimaan lain, jalannya menerbitkan obligasi," katanya, melalui pesan Whats App, Selasa (12/5). Sikap Tutuk tentu senada dengan atasannya. Gubernur BI, Perry Warjiyo yang ada di barisan Menteri Keuangan. Sebagai promotor opsi obligasi ketimbang cetak uang. Tutuk menjelaskan, risiko cetak uang akan menyebabkan inflasi yang tinggi. Karena akan semakin banyak uang yang beredar di masyarakat. Sementara tidak dibarengi dengan produksi barang. Akibatnya permintaan lebih besar dibandingkan barang yang ada. "Kalau kita duit banyak tapi barang terbatas, kan rebutan. Akhirnya apa? harga-harga lebih mahal," jelas Tutuk kepada Disway Kaltim. Hal ini menyebabkan inflasi yang tidak terkontrol. Dan berdampak buruk terhadap perekonomian. Lebih lanjut, Tutuk menjelaskan mencetak uang perlu dilandasi dengan underlying—dasar yang kuat- supaya terkontrol. BI mencetak uang selama ini untuk menggantikan uang yang rusak. "Kalau cetak terus apa dasar kita mencetaknya. Underlying-nya apa? Gak ada kan." Sementara kebijakan obligasi disebut Tutuk lebih terkontrol. Pemerintah bisa mengeluarkan obligasi yang kemudian akan dibeli oleh BI. Obligasi bisa menjadi underlying untuk mendapatkan rupiah yang dibutuhkan pemerintah. Apakah  dengan menerbitkan obligasi akan menambah beban hutang negara?. Tutuk menjawab, secara praktik memang demikian yang dilakukan oleh beberapa negara. Dalam kondisi pemerintah yang tidak punya uang, maka akan menerbitkan surat hutang. Surat hutang itulah yang diperdagangkan di pasar keuangan. Namun, ia menyebut Indonesia masih aman. Karena rasio surat hutang masih di bawah GDP Indonesia. "Yang bahaya itu jika rasio hutang terhadap GDP terlalu tinggi. Kalau Indonesia itu kan rasio surat hutang terhadap GDP baru 30 persen. Masih relatif terkendali," katanya. "Kan gini, pemerintah itu dalam Undang-Undang, rasio surat hutang maksimal 60 persen. Negara lain bahkan ada yang sampai 100 persen. Kita masih 34 persen. Jadi masih relatif aman," tambahnya lagi. Terpisah, Pengamat Ekonomi Kaltim, Hairul Anwar menyebut baik cetak uang mau pun obligasi, sama-sama berisiko. Pasalnya keduanya memiliki konsekuensi yang sama besar. Cetak uang akan menyebabkan inflasi. Serta kemungkinan terburuk akan menyebabkan nilai rupiah jatuh (crash). "Sementara kalau kita ngutang, akibatnya jangka panjang. Terbayang terus menerus itu," katanya kepada Disway Kaltim, Selasa (12/5). Hairul menyebut teori ekonomi konvensional pasti menolak cetak uang. Karena cetak uang akan menambah jumlah uang beredar. Risikonya sangat besar. Pertama, tidak ada underlying atau jaminan untuk mencetak uang. Kedua, inflasi. Dan ketiga kemungkinan rupiah crash. Walau pun Hairul menyebut, beberapa negara pernah berhasil melakukan kebijakan cetak uang. Dan berhasil memulihkan perekonomian. Amerika contohnya, pada 1930 mengalami krisis. Cetak uang menjadi salah satu alternatif dan ekonominya berhasil pulih. Namun Hairul menyebut saat itu masalahnya ada pada permintaan (demand). Sehingga cetak uang harus dibarengi dengan produksi barang. Permintaan terpenuhi. Sementara saat ini di Indonesia masalahnya ada di-supply. Industri banyak collapse. Sehingga jika nanti kebijakannya cetak uang, maka pertanyaanya akan digelontorkan kemana uang tersebut? "Dulu itu krisis ekonomi. Sekarang ini krisis penyebabnya adalah penyakit. Orang mau belanja apa? Produksinya enggak ada," jelas dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mulawarman ini. Sedangkan jika pilihannya obligasi, menurutnya secara otomatis akan menambah beban hutang negara. Dan kemungkinan besar, menimbang hal itu, Hairul melihat pemerintah akan cenderung menerbitkan obligasi ketimbang opsi cetak uang. Mengingat pengalaman buruk Indonesia yang pernah cetak uang di jaman Soekarno pada dekade 1960-an. Saat itu terjadi hiperinflasi di atas 500 persen. Hingga terjadi pemotongan mata uang dari Rp 1.000 menjadi Rp 1. OPSI LAIN Hairul menyebut, pemerintah belum selesai merevisi pergeseran anggaran. Seharusnya  pemerintah menghitung dulu  berapa persen defisit anggaran terhadap APBN. Dalam rangka penanganan COVID-19. Apakah dengan refocusing anggaran itu masih kurang? Berapa persen kekurangannya, itu lah yang dicarikan opsi. "Masalahnya sekarang kita belum ke tahap itu. Kita baru tahap menyelesaikan COVID. Sementara pilihan mencetak uang atau obligasi itu kalau kita sudah berbicara pemulihan ekonomi post pandemic." Ia pun mengusulkan langkah prioritas yang bisa dilakukan pemerintah. Pertama, perhitungan pergeseran anggaran harus segera diselesaikan. Agar bisa diketahui apakah dana yang dimiliki negara, mencukupi untuk menangani COVID-19. Semakin cepat selesai, semakin kecil dampaknya terhadap perekonomian.  "Kalau dana memadai, masalah selesai. Kalau kurang, oke opsi cetak uang atau obligasi. Tapi harus tahu akan dikucurkan kemana uang itu!," katanya. Maka sebaiknya, selama refocusing anggaran dilakukan Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian sebaiknya ikut bergerak. Mendata sektor apa yang bisa didorong. Agar pendanaan bisa dioptimalkan pada sektor produktif. "Sekarang kan semuanya panik menghadapi COVID ini. Ini menelanjangi kita semua bahwa kita ini gak beres di semua lini," geram Hairul. (krv/dah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: