Menyikapi Paradoks di Dunia Pendidikan

Menyikapi Paradoks di Dunia Pendidikan

Hetifah Sjaifudian ketika diskusi online yang digelar GMNI Kaltim. (Darul Asmawan/Disway Kaltim) ===================   Balikpapan, DiswayKaltim.com - Anggota DPR dari Dapil Kalimantan Timur (Kaltim), Hetifah Sjaifudian melihat ada kontradiksi dalam sistem pendidikan di Indonesia. Dalam sebuah diskusi online yang digelar Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kaltim, Minggu (3/5), Hetifah mengungkapkan itu. Kesimpulan mengenai kondisi paradoks ini, diperolehnya dari hasil komparasi dua variabel penting. Dalam konteks pengembangan kualitas dan kuantitas pendidikan. Dia menemukan bahwa rapor pelayanan sektor pendidikan Indonesia di mata dunia, memburuk selama lima tahun terakhir. Di satu sisi angka buta huruf mengalami penurunan signifikan. Untuk membuktikannya, Hetifah memaparkan data Global Competitiveness Index. Menyoal kemampuan negara-negara di dunia untuk menyediakan kemakmuran tingkat tinggi bagi warga negaranya. Dikeluarkan oleh organisasi forum ekonomi dunia (WEF). Penilaian dilakukan terhadap 140 negara. Datanya menunjukkan, pada 2015 Indonesia berada pada ranking 37. Sedangkan 2018 turun ke posisi 48. Dan 2019 Indonesia menempati urutan 50. Dia juga menunjukkan data Programme for International Student Assessment (PISA). Suatu program penilaian terhadap pelajar. Skala internasional. Dengan metode assessment. Itu dilakukan oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). Data tersebut menunjukkan bahwa pelajar Indonesia pada 2015 berada di peringkat 62 dari 70 negara. Sedangkan pada 2019, pelajar kita di posisi 71 dari 77 negara yang diamati. Namun, penilaian tersebut ternyata berlawanan dengan penurunan angka buta huruf Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2018. Ternyata 98,7 persen orang Indonesia melek huruf. "Berarti jumlah penduduk buta aksara turun menjadi 3,29 juta jiwa," imbuhnya. Jika semakin banyak orang Indonesia yang bisa membaca. Lantas mengapa rapor Indonesia di mata dunia terus menurun? "Hal itu menunjukkan bahwa mutu pendidikan harus terus ditingkatkan," ujar Wakil Ketua Komisi X DPR RI itu. Dari delapan standar nasional pendidikan Indonesia, kata dia, belum satupun yang telah terpenuhi secara maksimal dan merata. Kedelapan standar itu, yakni standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan standar penilaian pendidikan. Dua poin yang paling ia soroti. Yang dirasa paling tertinggal. Yakni ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan dan kebutuhan tenaga pendidik atau guru. "Kita menyaksikan banyak daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) tidak memiliki bangunan yang memadai. Di Kaltim contohnya, daerah di Kabupaten Mahulu dan Berau," kata dia. Fasilitas dasar berupa bangunan sekolah saja belum merata. Bagaimana dengan fasilitas penunjang seperti laboratorium, perpustakaan dan lainnya. Jangankan itu, akses untuk memperoleh pendidikan saja, masih sulit. Hetifah menyebut, realisasi dari kemudahan akses pendidikan secara umum baru pada tingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Itu pun belum maksimal. Ia menilai, gagasan mengenai sistem pendidikan dan konsep Merdeka Belajar serta Kampus Merdeka yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, merupakan  adalah langkah kongkrit dan tepat untuk kondisi ini. Program tersebut menurutnya lebih mengutamakan keterbukaan. "Itu sebenarnya menarik untuk dielaborasi," katanya. Pesan kunci dari beleid—langkah program- tersebut terdiri dari tiga pilar. Pertama, guru atau dosen adalah unsur penggerak. Kedua, perubahan adalah hal yang sulit dan penuh ketidaknyamanan atau tantangan. Ketiga bagaimana pemerintah mengkonsolidasikan kebijakan. Namun kendalanya, di saat proses pemantapan untuk penerapan kebijakan itu, negara dilanda wabah pandemi global. "Kita sayangkan bahwa gagasan itu agak sedikiti terhambat," sebutnya. Terdapat refocusing anggaran pendidikan untuk penanganan COVID-19. "Hampir lima triliun rupiah anggaran pendidikan yang dipotong,” jelasnya. Sektor pendidikan memang mendapat prioritas alokasi anggaran. Undang-Undang Dasar negara memerintahkan untuk mengalokasikan anggaran sebesar 20 persen dari belanja APBN untuk biaya pendidikan. Atau sebesar Rp 508,1 triliun. Anggaran itu kemudian dibagi untuk pusat sebanyak Rp 172,2 triliun. Transfer ke daerah sejumlah Rp 306,9 triliun dan pembiayaan sebesar Rp 29,0 triliun. Dari lain sisi, Hetifah melihat adanya pandemi ini menjadi peluang bagi bangsa Indonesia untuk meningkatkan kualitas pendidikan. "Hikmahnya, kita dipaksa langsung loncat pada sistem pedidikan yang berbasis teknologi era revolusi industri 4.0". Sehingga mau tidak mau arah kebijakan pendidikan mesti menyesuaikan dengan situasi ini. Masalah lain. Dari sisi teknologi masih tertinggal. Ia kembali memberi contoh di Kabupaten Mahakam Ulu. Akses internet di daerah tersebut merupakan barang langka, sulit diperoleh. "Ini yang harus segera kita penuhi," lirihnya. Hetifah menyimpulkan bahwa anak-anak Indonesia kurang komprehensif dalam belajar. Tidak memahami sesuatu hal secara mendalam. (sah/dah)      

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: