Buruh dan Nasionalisasi Industri Minyak di Balikpapan

OLEH: A.R. PRATAMA* Perkembangan Kota Balikpapan tidak terlepas dari industri minyak. Industri minyak Balikpapan menjadi stimulus pertumbuhan Balikpapan hingga dapat berkembang seperti saat ini. Berkembang dan bertahannya industri tidak dapat dipisahkan dari peran buruh. Salah satu faktor yang paling penting dan mungkin luput dari penulisan narasi umum sejarah ialah mengenai peranan buruh dalam perkembangan ekonomi. Sejak masa Orde Baru, konotasi buruh diperhalus dengan menggunakan istilah karyawan. Istilah karyawan diambil untuk menjauhkan kelompok pekerja dari ideologi kiri. Karena menurut Orde Baru, idelogi kiri merupakan ancaman dari “pembangunan” yang sedang dijalankan. Proses terjadinya nasionalisasi terhadap industri minyak Balikpapan yang sekarang menjadi Pertamina, salah satu BUMN yang menguasai sektor migas di Indonesia, tidak terlepas dari usaha panjang yang dilakukan oleh pemerintah pada masa Soekarno untuk dapat menguasai aset yang dimiliki oleh BPM/Shell. Proses nasionalisasi ini sudah dimulai dari pertengahan tahun 1950-an. Salah satu faktor penting mengapa nasionalisasi ini dapat dilakukan ialah karena buruh pada masa itu berani melakukan aksi-aksi progresif untuk mendukung program Soekarno dalam mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan atau yang dikenal dengan akronim Berdikari. Namun setelah Orde Baru berkuasa, peranan buruh, terutama serikat buruh yang diduga terafiliasi dengan PKI, semakin tenggelam oleh narasi sejarah rezim Orde Baru yang menekankan heroisme militeristik. Ada hal yang dilupakan. Keberhasilan Indonesia dalam melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing tidak terlepas dari peranan buruh yang berjuang dengan melakukan berbagai macam aksi untuk menekan perusahaan asing tersebut agar mau menyerahkan asetnya kepada pemerintah Indonesia. Artikel ini berusaha memberikan sebuah narasi sejarah mengenai peranan buruh minyak yang jarang ditulis setelah Orde Baru. Sebuah orde yang menghilangkan peranan buruh dalam narasi historiografi nasional. *** Organisasi buruh minyak pertama yang tercatat di Balikpapan bernama Persatuan Kita. Organisasi buruh minyak ini didirikan oleh seorang klerk BPM yang bernama Abdul Muntalib pada 1937. Organisasi buruh ini segera diberedel oleh pemerintah kolonial Belanda. Karena dicurigai membawa ideologi kiri yang dianggap sangat membahayakan bagi stabilitas politik pemerintahan kolonial Belanda. Terutama operasional perusahaan minyak. Pada masa revolusi fisik untuk mempertahankan kemerdekaan, banyak buruh-buruh BPM ikut mengambil bagian dalam perjuangan. Mereka membuka front pertempuran perang gerilya dengan pusat-pusat pertempuran di Balikpapan, Samboja, dan Sangasanga, yang merupakan daerah-daerah terpenting bagi keberlangsungan industri minyak di Balikpapan. Pada 1946, S. Mewengkang juga mendirikan Serikat Kaum Buruh (SKB) sebagai penunjang dari Ikatan Nasional Indonesia (INI). Sebuah organisasi pemuda yang berdiri di Kalimantan Timur. Pro pada pemerintahan Soekarno dan Hatta serta memiliki pusat kegiatan di Balikpapan. Namun ketika tentara KNIL datang, ia langsung ditahan. Kemudian setelah dibebaskan, Mewengkang mendirikan Serikat Kaum Buruh Minyak (SKBM). Pada 1950, di Balikpapan juga didirikan cabang dari Persatuan Buruh Minyak (Perbum) yang berada di Pladju. Balikpapan merupakan salah satu penghasil hasil olahan minyak terbesar pada masa itu. Sehingga sangatlah tidak mengherankan apabila Perbum mendirikan sekretariatnya di Balikpapan. Solidnya kembali SOBSI setelah pengakuan kedaulatan Indonesia pada akhir 1949 juga turut mempengaruhi konstelasi perebutan pengaruh antara serikat-serikat buruh di Indonesia. SOBSI yang berafiliasi ke PKI juga mulai menanamkan pengaruhnya untuk mulai merebut massa buruh-buruh yang bekerja di sektor perkebunan, pabrik, pelabuhan, transportasi, dan industri minyak. SOBSI pun mulai melakukan infiltrasi terhadap organisasi-organisasi buruh minyak. Khususnya Perbum. Langkah pertama yang dilakukan ialah mengadakan kongres pertama serikat-serikat buruh minyak di Bandung pada 1950 yang difasilitasi oleh Perbum. Sedangkan biayanya ditanggung oleh BPM atas usulan Perbum. Kongres ini berhasil mencetuskan tuntutan umum buruh minyak untuk dapat memperjuangkan kesejahteraan kaum buruh. Pada 1951 diadakan kongres buruh minyak di Jakarta. Sebelum kongres diadakan, R.P Situmeang yang berafiliasi ke SOBSI mengadakan kunjungan ke Balikpapan untuk menggalang kekuatan dari buruh-buruh minyak di BPM wilayah Kalimantan Timur. Konsolidasi serta propaganda yang begitu intens yang dilancarkan oleh agen-agen SOBSI di dalam Perbum berhasil membuat kongres berjalan sesuai dengan tuntutan SOBSI. Pada kongres kedua tersebut organisasi buruh yang tidak berafiliasi dengan SOBSI seperti Persatuan Buruh Minyak (PBM) di bawah kepemimpinan Datuk Raja Bangun tidak diundang dalam kongres ini. Kongres tersebut menghasilkan beberapa keputusan yang sangat penting. Di antaranya, mereka menyatakan Perbum merupakan satu-satunya serikat buruh industri minyak di seluruh Indonesia yang berkedudukan di Jakarta. Sehingga hal ini juga dapat disebut kongres fusi serikat-serikat buruh minyak. Selain itu, dasar perjuangan Perbum ialah perjuangan kelas buruh yang menentang kebijakan-kebijakan kaum kapitalis yang selalu mengorbankan hak-hak buruh. Dalam kongres tersebut Perbum juga mengakui SOBSI sebagai satu-satunya serikat buruh nasional yang konsisten menentang imperialisme dan kolonialisme. Kongres ini juga dihadiri oleh DN. Aidit sebagai pemantau dari PKI. Kehadirannya semakin memperkuat bahwa Perbum sudah sepenuhnya berada di bawah pengaruh PKI. Kongres tersebut mendapat kecaman dari serikat-serikat buruh minyak yang tidak diundang untuk mengikuti kongres tersebut. Terutama dari serikat-serikat buruh minyak yang tidak berafiliasi dengan SOBSI. Terjadi juga pergolakan Perbum di daerah-daerah. Seperti yang terjadi di Balikpapan. Di mana Perbum Cabang Balikpapan diambil alih kepemimpinannya oleh anggota-anggota SOBSI. Serikat-serikat buruh yang merasa kecewa dan kepentingannya tidak terakomodasi akhirnya mengadakan kongres tandingan di Jakarta pada tanggal 4-11 Oktober 1951. Kongres tersebut melahirkan keputusan penting: fusi serikat buruh tandingan yang menjadi oposisi dari Perbum yang bernama Federasi Buruh Minyak Indonesia (FBMI). Adanya dua serikat buruh minyak yang sangat berpengaruh pada masa itu, Perbum dan FBMI, mengakibatkan persaingan untuk memperebutkan pengaruh berupa dominasi dalam keanggotan serikat antara keduanya tak terhindarkan. Pada 1952, jumlah anggota Perbum di Balikpapan sudah lebih dari 2.500 orang. Mereka menguasai lebih dari 50 persen buruh minyak di Balikpapan. Pengaruh Perbum di Balikpapan menguat pada 1960-an hingga keanggotaan mereka meningkat dua kali lipat. Pengurus pusat Perbum hingga 1953 masih dipegang oleh orang-orang SOBSI. Walaupun ada pengurus Perbum yang tidak berafiliasi dengan SOBSI, mereka hanya menempati posisi-posisi yang tidak strategis. Menjelang pemilu pertama pada 1955, buruh-buruh minyak yang terafiliasi dengan Masyumi mulai meninggalkan Perbum dan bergabung dengan Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII). Hal serupa juga dilakukan oleh buruh-buruh minyak yang memiliki afiliasi dengan PNI yang bergabung dengan KBKI dan MURBA yang bergabung dengan Sarikat Buruh Minyak Indonesia (Saribumi). (R.Suhardi, 1970: 53). Dukungan SOBSI membuat posisi Perbum menjadi satu-satunya serikat buruh minyak terbesar di Balikpapan sebelum munculnya peristiwa G30S pada 1965. *** Untuk meredam orang-orang nasionalis dan kaum buruh yang berafiliasi ke SOBSI. Perusahaan-perusahaan minyak asing juga mulai melakukan indonesianisasi sejak 1950-an kepada pekerja-pekerja mereka. Seperti Shell/BPM yang membuka sekolah-sekolah Pendidikan Ahli Minyak (PAM) dan kursus-kursus singkat bagi orang-orang Indonesia. Setelah menempuh pendidikan tersebut dan dinyatakan lulus, maka dapat dijadikan pegawai dalam perusahaan Shell/BPM. Walaupun begitu, posisi yang ditawarkan bagi orang-orang Indonesia dalam Shell/BPM hanya sebatas pekerjaan teknis di lapangan. Bukan pada tingkatan posisi manajerial. (Lindblad, 2008: 161-162). Untuk dapat memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri serta meningkatkan devisa, pemerintah juga mulai mendirikan perusahaan minyak nasional seperti didirikannya Permina, Permigan, dan Permindo. Namun tetap saja perusahaan minyak nasional tidak dapat memenuhi kebutahan minyak Indonesia. Karena lebih dari 90 persen minyak mentah dihasilkan oleh Shell, Stanvac, dan Caltex yang sudah menanamkan jaringan yang kuat sejak awal abad 20. Sehingga proses yang disebut dengan indonesiasinisasi tidak memiliki dampak signifikan terhadap kemampuan bangsa Indonesia menguasai sektor industri migas. Ketidakpuasaan ini menjadi faktor utama bagi Soekarno untuk melakukan langkah yang lebih radikal: nasionalisasi perusahaan minyak asing. Setelah pemilu 1955, yang kemudian diikuti dengan kemenangan partai nasionalis, perusahaan-perusahaan minyak asing mulai melakukan pergantian nama. Seperti Baatafsche Petroleum Maatschappij (BPM) yang unit pengelolahan minyaknya berada di Balikpapan berganti nama menjadi Shell Indonesia. Tindakan ini dilakukan untuk meredam amarah golongan nasionalis serta buruh-buruh progresif yang membenci hal-hal yang masih berbau kolonial dengan menambahkan kata “Indonesia” dalam nama perusahaan. (Lindblad, 2008: 201), Perasaan anti Belanda terkait masalah Irian Barat juga meningkatkan tensi antara pemerintah dengan perusahaan-perusahaan milik Belanda yang masih beroperasi di Indonesia. Pada 1957, Presiden Soekarno berusaha menasionalisasi perusahaan-perusahaan negara maupun swasta asing. Khususnya perusahaan-perusahaan Belanda dengan jalan paksa. Tindak lanjut dari proses nasionalisasi tersebut akhirnya dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia. Undang-undang tersebut ditetapkan pada 31 Desember 1958. Tetapi berlaku surut sampai 3 Desember 1957. Undang-undang ini menjadi dasar pembenaran bagi buruh-buruh minyak untuk melancarkan aksi mogok ataupun aksi lainnya kepada perusahaan minyak asing untuk segera menyerahkan asetnya kepada Indonesia. Perpindahan buruh-buruh minyak yang tidak berafiliasi dengan SOBSI dari Perbum secara langsung membuat SOBSI dapat sepenuhnya mengontrol Perbum. Konsolidasi yang dilakukan semakin intens. SOBSI banyak mengirimkan kader-kader terbaik mereka di Perbum ke daerah-daerah seperti Balikpapan untuk menjaring anggota seluas-luasnya. Banyak buruh minyak di Balikpapan tertarik menjadi anggota Perbum. Karena beberapa alasan. Salah satunya, banyak buruh minyak di Balikpapan yang tertarik dengan gaya retorika para pemimpin Perbum daerah Balikpapan yang selalu mendengungkan teori-teori pertentangan kelas. Di mana Perbum akan selalu membela kepentingan buruh-buruh minyak di Balikpapan dari penindasan kaum kapitalis. Selain itu, Perbum daerah Balikpapan selalu mampu bersikap lebih progresif dibandingkan serikat-serikat buruh minyak lainnya dalam menuntut hak-hak buruh minyak. Seperti kenaikan upah, syarat-syarat kerja, dan jaminan kesejahteraan sosial lainnya. Pendekatan personal yang dilancarkan oleh kader-kader Perbum kepada buruh-buruh minyak di Balikpapan adalah dengan cara berdiskusi santai di toko-toko makanan atau minuman yang mereka dirikan. Menjelang Gestapu/G30S di 1965, Perbum berhasil memperoleh lebih dari 44 persen jumlah buruh minyak di Indonesia berkat propaganda intens yang mereka lakukan. Situasi politik luar negeri Indonesia yang saat itu sedang mengalami konfrontasi dengan Belanda mengenai masalah Irian Barat semakin meningkatkan aksi-aksi Perbum yang diorganisasi oleh SOBSI dalam menentang tindakan Belanda dan negara-negara imperialis lainnya. Perbum daerah Balikpapan juga melakukan aksi coret-coret di semua objek bangunan, termasuk rumah-rumah atau kendaraan milik Shell. Mereka menuliskan slogan-slogan anti imperialis asing seperti, “Ganyang Malaysia”, “Sita Modal Asing”, “Singkirkan Imperialisme”. Mereka juga melakukan aksi tidak bicara kepada orang asing atau staf-staf Shell yang berkebangsaan Inggris ataupun Belanda. Perbum juga mengimbau para pekerja asing untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi sehari-hari. Perbum mengimbau para buruh lainnya tidak menjawab percakapan pekerja asing apabila tidak menggunakan bahasa Indonesia. Pada akhir 1963, aksi yang dilakukan oleh Perbum wilayah Balikpapan semakin agresif. Sehingga menyebabkan penutupan sementara kantor produksi kilang minyak Shell di Balikpapan. Aksi tersebut mendapatkan dukungan dari seorang komandan militer wilayah Kalimantan Timur: Jenderal Soeharjo. Ia sangat bersimpati pada gerakan buruh. Pada waktu yang hampir bersamaan, Perbum yang didukung kekuatan militer di Balikpapan mengumumkan pelarangan penggunaan bahasa asing (Inggris dan Belanda). Bagi orang Indonesia terdapat risiko masuk penjara apabila tetap nekad menggunakan bahasa asing untuk berkomunikasi dengan rekan kerjanya yang orang asing (Taufiq Ismail dan Hammid Jabar, 1997: 163). Jenderal Soeharjo dan Perbum juga mendirikan sistem komisiar. Sistem ini membolehkan orang luar perusahaan yang ditunjuk Perbum untuk masuk dalam sistem kerja Shell. Mereka melakukan pengawasan serta memiliki hak untuk berkomunikasi kepada para pekerja dan pihak manajemen perusahaan. Intervensi tersebut membuat manajemen pusat Shell sangat khawatir bahwa sewaktu-waktu kegiatan produksi di kilang minyak Balikpapan akan berhenti. Untuk mencegah hal tersebut terjadi, manajemen pusat Shell akhirnya meminta pemerintah Indonesia untuk meninjau kembali situasi keamanan di Balikpapan yang menurut mereka tidak kondusif. Permintaan tersebut ditolak oleh Presiden Soekarno. Karena pada masa itu Indonesia sedang melakukan konfrontasi dengan Malaysia dan kesolidan militer di bawah pimpinan Jenderal Soeharjo untuk wilayah Kalimantan Timur masih dibutuhkan untuk menghadapi ancaman apabila timbul potensi perang dengan Malaysia. Manajemen pusat Shell akhirnya juga meminta bantuan kepada Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani. Kemudian ditanggapi dengan keluarnya surat perintah pemindahan Jenderal Soeharjo. Namun surat perintah pemindahan tersebut belum disetujui oleh Presiden Soekarno. Akhirnya manajemen pusat Shell dengan didampingi perwakilan dari Kedutaan Amerika dan Perancis memutuskan untuk mengadakan kunjungan resmi ke Balikpapan. Kunjungan tersebut bertujuan untuk membangun perundingan dengan Jenderal Soeharjo dan perwakilan Perbum. Perundingan itu mampu membantu mengurangi ketegangan. Namun aksi-aksi yang dilancarkan Perbum tetap berlangsung. Meskipun agresivitas aksi tersebut berkurang, tetapi tetap menggangu operasional Shell di Balikpapan. Hal ini terjadi setelah meletusnya G30S dan gerakan tersebut berhasil ditumpas oleh pemerintah dan sisa-sisa kekuatannya mulai dibersihkan. Walaupun G30S di Balikpapan tidak sedahsyat di Jawa, namun terjadi pembakaran rumah-rumah di Kampung Baru serta sabotase di beberapa instalasi perminyakan yang diduga dilakukan oleh oknum-oknum PKI. Dalam kesaksiannya, almarhum Sofyan Asnawi pernah mengatakan, Perbum berencana membakar kilang minyak dengan menyediakan mobil truk tangki pemadam kebakaran yang isi tangkinya diganti dengan bahan bakar minyak. Apabila terjadi kebakaran, maka kebakaran tersebut akan semakin meluas. Akibat disiram menggunakan minyak yang dikira sebagai air. Namun sabotase ini berhasil digagalkan oleh militer. Pada 27 Oktober 1965 dengan surat Nomor Kep/40/1965, Penguasa Perang Daerah (Paperda) Jaya menghentikan semua kegiatan SOBSI dan semua organisasi yang tergabung atau bernaung di dalamnya. Gelombang-gelombang protes dari serikat-serikat buruh minyak lain yang dahulu merupakan oposisi dari Perbum segera menuntut dilakukan pembersihan terhadap unsur-unsur Perbum di lingkungan kerja industri minyak Indonesia. Setelah PKI dibubarkan pada 12 Maret 1966, muncul instruksi presiden Nomor Instr.09/KOGAM/5/1966 berisi pembubaran PKI dan ormas-ormas yang memiliki ideologi yang sama atau bernaung dan berlindung di bawah PKI. Perbum dinyatakan termasuk di dalamnya. Selain itu, pemerintah menginstruksikan pembersihan aparatur negara dari sisa-sisa anasir PKI dan ormas-ormasnya dalam perusahaan minyak melalui Direktur Jenderal Migas dengan surat Nomor 237/D.D/Migas/1967. Kebijakan tersebut menyebabkan turunnya produktivitas perusahaan minyak negara. Karena jumlah karyawan yang berkurang akibat terlibat dengan Perbum. Kilang minyak Balikpapan tidak dapat beroperasi secara optimal hampir selama dua tahun akibat sebagian besar buruhnya berafiliasi dengan Perbum. Kebijakan pembersihan anasir-anasir Perbum seringkali tidak berjalan dengan proses peradilan yang jujur terhadap buruh minyak yang diduga menjadi anggota Perbum. Karena banyak buruh minyak yang dituduh sebagai anggota Perbum. Padahal hanya sekadar bersosialisasi dengan pengurus Perbum. Tanpa pernah terlibat dalam aksi-aksi yang dilancarkan organisasi tersebut. Namun mereka tetap saja mendapatkan hukuman layaknya pengurus Perbum yang terlibat dalam setiap aksinya. Pergerakan Perbum semakin progresif dengan menjalankan aksi boikot serta mendesak pemerintah untuk segera mengambilalih perusahaan minyak asing seperti Shell. Aksi-aksi pemogokan serta boikot yang dilancarkan Perbum semakin membuat kinerja Shell turun. Kondisi ini juga diperparah penurunan produksi minyak Shell di Indonesia. Shell terus-menerus mengalami kerugian dalam kegiatan pengoperasiannya di Indonesia. Meski begitu, secara finansial induk perusahaannya merupakan salah satu perusahaan minyak terbesar di dunia dan nasionalisasi aset di Indonesia tidak berpengaruh besar terhadap kondisi finansial Shell. G30S serta situasi politik yang tidak menentu di Indonesia membuat Shell terpaksa merelakan untuk menghentikan kegiatannya di Indonesia dengan menjual aset-asetnya untuk menghindari kerugian yang terus-menerus terjadi di masa datang. Tiga bulan setelah G30S, tepatnya pada 31 Desember 1965, akhirnya dilakukan penandatanganan penjualan serta serah terima aset-aset Shell Indonesia kepada pemerintahan Republik Indonesia. Pihak Shell Indonesia menunjuk Van Reeven sebagai delegasinya. Sementara dari pihak pemerintah Indonesia diwakili Ibnu Sutowo. Prosesi serah terima tersebut menandakan berakhirnya operasi Shell di Indonesia yang sudah lebih dari enam dekade beroperasi di Indonesia. Hal yang sangat menyakitkan ialah Perbum bubar sebelum menikmati keberhasilan perjuangan mereka melakukan nasionalisasi perusahaan minyak asing dan menjadikan Indonesia berdikari dalam industri migas. (*Staf Pengajar Prodi Pendidikan Sejarah Universitas Jember)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: