Pilih yang Pasti
SAYA sih setuju dengan pendapat membuka identitas pasien COVID-19. Alasanya sederhana. Memudahkan penelusuran jejak yang pernah berinteraksi dengan pasien positif atau pasien suspect corona. Masih ingat pasien pertama dan kedua positif di Indonesia? Yang kini sudah sembuh itu. Yang mulanya kontak dengan orang Jepang yang bermukim di Malaysia. Keduanya melapor setelah tahu temannya yang dari Jepang itu positif. Melapor atas dasar inisiatif sendiri. Bukan karena penelusuran. Bayangkan jika pasien pertama dan kedua itu tidak tahu rekannya yang Jepang itu positif. Tentu lebih banyak yang bisa ditulari. Pun begitu dengan pasien pertama di Kaltim. Seorang ibu dari klaster Bogor. Warga Samarinda. Ia mengkarantina sendiri setelah mendengar kabar rekannya yang mengikuti acara yang sama, positif COVID-19 di Solo. Beberapa hari kemudian, baru melapor dan diisolasi di Rumah Sakit AWS Samarinda. Dari situ kemudian ditelusuri siapa saja warga Kaltim yang ikut acara Seminar Tanpa Riba. Ketemu. Tiga orang di Balikpapan. Positif juga. Kini dua di antaranya sudah sembuh dan diperbolehkan pulang. Memang ada aturan yang tidak membolehkan. Membuka identitas pasien. Tapi ini pandemi. Sudah mendunia. Siapa saja bisa terkena. Dan karakter coronavirus disease ini cepat penyebarannya. Itu yang kini mau diputus. Agar pengidap tidak menulari yang lainnya. Stop disitu saja. Bagaimana terkait resistensi warga? Jika pasien itu diketahui publik? Jika akhirnya keluarga pasien mendapat perlakuan diskriminasi? Ini tugas pemerintah untuk menjebatani itu. Menjelaskan secara komprehensif. Memberikan rasa aman. Toh, sebagian warga kini sudah mulai paham. Seperti yang terjadi pada Wahib Herlambang. Pasien yang sudah sembuh di Balikpapan. Kepulangannya justru disambut warga. Bahkan selama Wahib diisolasi di RS Kanujoso Djatiwibowo, banyak yang mengantarkan makanan untuk keluarganya itu. Para tetangganya mendukung pemulihan Wahib. Kepulangannya disambut baik. Karenanya, Wahib selama masih diisolasi kerap membagikan video aktivitasnya. Ia berani terbuka. Bagi Wahib, mengidap corona bukanlah aib. Bukan kutukan. Dan bahkan Wahib tidak merasakan sakit saat diisolasi. Merasa sehat sekali. Bahkan berat badannya naik 1 Kg selama 16 hari. Yang lain pun mulai terbuka semua. Rubiati (50) juga akhirnya membuka diri. Kemudian pasien yang sudah sembuh di Bontang dan di Kukar juga membuka diri setelah mereka sembuh. Keduanya dari klaster KPU. Mereka terjangkit setelah mengikuti pelatihan KPU di Jakarta. Jadi, menurut saya, sebaiknya dibuka. Jika si A pengidap positif. Disampaikan siapa saja yang pernah kontak langsung dengan pengidap. Dengan begitu penelusurannya akan jauh lebih mudah. Polanya dibalik. Warga yang merasa kontak langsung bisa melaporkan ke petugas gugus tugas. Kalau belum merasakan gejala, bisa masuk karantina mandiri di rumah. Sebagai ODP. Minimal selama 14 hari. Artinya selama itu, si ODP sadar betul dan menjaga diri agar tidak menularkan ke orang lain, jika dirinya mengidap. Kan ada juga yang tanpa gejala. Tapi ternyata positif. Ya, seperti Wahib itu. Dia mengaku tak merasakan sakit, hanya hasil tes swab yang menyatakan dia positif. Dengan dibukanya identitas pasien positif, juga dapat mempercepat penanganan. Dalam kondisi saat ini, saya tidak khawatir jika tim Gugus Tugas menemukan banyak ODP atau PDP. Karena berarti lebih banyak pengidap atau yang masih teridentifikasi sudah terpantau. Justru sebaliknya. Ketika sedikit yang terpantau, dikhawatirkan banyak orang tanpa gejala yang berkeliaran. Semakin banyak yang teridentifikasi dan terpantau diharapkan bisa mempercepat proses penanganan. Dan proses pemutusan penularan wabah. Kasian. Banyak cerita pilu warga yang kesulitan mencari nafkah. Atau pendapatannya menurun drastis. Padahal dalam kondisi normal saja masih pas-pasan. Kian lama ketidakpastian akibat wabah, akan semakin memperburuk keadaan. Dampak buruknya, ya sudah bisa Anda ketahui... Bagi pelaku usaha, tentu kepastian itu penting. Ini saja, kurang dari dua bulan wabah itu masuk Kaltim, sudah terjadi PHK massal. Industri perhotelan terpuruk. Kian lama ketidakpastian berlangsung tentu Anda bisa mengetahui dampaknya... Jika memang pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diterapkan secara ketat. Seperti di Jakarta misalnya, jika itu dipercaya bisa mempercepat proses penanganan, bagi saya itu lebih baik. Atau karantina wilayah. Atau apa pun namanya. Lebih baik menunggu sebulan rehat, habis itu clear urusan wabah akan jauh lebih baik. Ketimbang menunggu berbulan-bulan tanpa ketidakpastian. Lebih baik sebulan perekonomian lesu, ketimbang berbulan-bulan. Dan bisa jadi tetap lesu juga. Bagaimana jika ada pertanyaan begini; Apakah karantina wilayah atau PSBB secara ketat juga bisa betul-betul menjadi solusi efektif? Mampu memutus mata rantai COVID-19? Kalau tidak percuma saja. Nah, jika begitu kembali kepada keyakinan. Tentu bukan asal yakin. Para ahli medis sudah jauh-jauh hari menyampaikan tentang pola penularan virus corona. Yang melalui droplats itu. Pembatasan kontak dianggap menjadi solusi konkret agar virus tidak menyebar. Tapi ini pendapat pribadi. Karena tentu pemerintah sudah memikirkan matang-matang langkah yang akan diambil. Pemerintah sudah seharunya mempertimbangkan banyak hal. Banyak kalangan. Ya untuk sementara ini, sambil menunggu langkah pemerintah kita upayakan untuk tetap #dirumahsaja. Bagaimana dengan Anda? (*/Pemimpin Redaksi Disway Kaltim)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: