DOKTER TIKA
INI mungkin belum banyak dikenal. Ahli teknologi laboratorium medik (ATLM). Biasa disebut analis kesehatan atau analis laboratorium. Dalam proses penanganan pasien COVID-19 di RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan (RSKD), tim ATLM yang menjadi ujung tombak. Membuktikan seorang pasien terinfeksi virus corona atau tidak. Dengan kata lain, positif atau negatif. Tugas dan kewenangan ATLM melakukan pengambilan swab. Spesimen lendir pada hidung dan tenggorokan pasien. Kemudian dikirim dan diuji di laboratorium Kementerian Kesehatan di Surabaya. Menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Metode tersebut merupakan baku emas dalam menyatakan seseorang positif atau negatif mengidap virus corona. Sesuai dengan rekomendasi organisasi kesehatan dunia WHO dan Kemenkes RI. Dokter Tika Adilistya, Sp.PK, spesialis patologi klinik di RSKD Balikpapan menceritakan pengalamannya. Dokter Tika itu koodinator tim ATLM di rumah sakit milik Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Dokter Tika satu dari tiga orang yang ditugaskan RSKD. Mengikuti pelatihan singkat di Kementerian Kesehatan di Jakarta. Pelatihan itu terkait dengan penatalaksanaan pasien COVID-19. Sepulang dari pelatihan, ia ditugaskan untuk mengkoordinasikan tim laboratorium tersebut. Dalam mengambil spesimen swab hidung dan tenggorokan. Posisinya sebagai koordinator, otomatis tak membuat dokter Tika terbebas dari mengenakan APD. Ia juga kebagian kontak langsung dengan pasien. Ia mengingat betul pengalamannya mengambil swab pada pasien COVID-19 pertama di Balikpapan- BPN-01 dan BPN-06. Kini pasien tersebut telah dinyatakan negatif dan menjalani proses penyembuhan. "Memakai baju astronot pertama kali, ketika saya harus melakukan swab terhadap satu orang PDP yang merupakan hasil contact tracing Dinas Kesehatan Kota Balikpapan yang terkait dengan klaster Bogor dan satu PDP dengan riwayat perjalanan dari Jakarta Selatan," kata dokter Tika, menceritakan. Kedatangan kedua PDP tersebut di Instalasi Rawat Darurat (IRD) RSKD yang mendadak, membuatnya kesulitan mencari tim ATLM untuk melakukan swab. Sebab, kata dia, tim laboratorium saat itu dalam posisi mengerjakan tugas rutin masing-masing. Akhirnya dokter Tika sendiri yang melakukan tugas itu. "Rasanya panas banget. Terus berat, karena memang tebal dan berlapis-lapis. Kita pakai baju dinas dulu, kemudian mengenakan gaun operasi. Baru yang terakhir dilapis lagi dengan baju astronot itu," ungkapnya kepada Disway Kaltim. Yang paling susah, kata dia, adalah mengamankan area kepala. Terutama melindungi bagian wajah dengan face shield dan masker N95 yang dilapis masker bedah. Posisi kaca mata google yang harus melekat kuat membuat bagian dalam google tersebut sering berembun, sehingga membatasi pandangan. Hal itu menjadi kesulitan tersendiri terutama saat mengambil sampel di bagian tenggorokan pasien. "Kalau yang di hidung mungkin masih bisa pakai feeling yah. Tapi kalau sampel tenggorokan, kita harus melihat betul, bahwa lidah pasien tidak jatuh ke belakang. Pasien harus menjulurkan lidahnya ke depan, sehingga kita bisa ambil sampel di lokasi yang tepat. Karena ketepatan pengambilan spesimen ini merupakan penentu akurasi hasil pemeriksaan nantinya," urai dia. Lalu, belakangan ia mengetahui bahwa kedua pasien itu positif. Timbul kekhawatiran dirinya akan tertular. Ditambah lagi, ia baru pulang dari Jakarta yang saat itu telah dinyatakan sebagai area transmisi lokal COVID-19. Ini menjadi ujian kedua bagi dokter muda itu. Pada akhirnya, dokter spesialis paru menetapkannya sebagai PDP (pasien dengan pengawasan). Meski begitu, ia tetap harus bekerja. Menjaga jarak atau social distancing dan selalu pakai masker. “Di rumah juga saya terpisah dari keluarga; mengisolasi diri," katanya. Berhubung dua orang rekannya sesama dokter yang ditugaskan ke Jakarta mengalami demam dan batuk pilek, maka giliran dokter Tika bersama dua rekannya itu yang di-swab. Untuk membuktikan apakah mereka positif atau tidak. "Nasib kami sama dengan pasien lain, menunggu hasil tanpa kejelasan kapan. Setiap ada hasil datang, kami deg-deg an. Waktu itu belum ada rapid test," ujarnya. Tak lama berselang, batuk pilek yang terjadi pada kedua rekannya itu bertambah berat, sehingga diputuskan agar kedua temannya tersebut benar-benar karantina di rumah dan tidak diperbolehkan bekerja agar tidak mengkhawatirkan rekan dokter yang lain. Namun dokter Tika juga kian khawatir. "Padahal pasien semakin banyak, sehingga tidak mungkin kita tidak bekerja," ucap dokter berambut panjang itu. Beruntungnya, kondisi itu tidak berlangsung lama. Setelah menunggu delapan hari. Hasil lab datang. Semuanya negatif. "Lega rasanya. Jadi bersemangat lagi," imbuhnya. Bayangkan saja, kata dia, pada saat berstatus PDP itu, teman-teman dokter sendiri menjaga jarak. Meskipun, itu memang wajar karena mereka (rekan seprofesinya itu) mengetahui dokter Tika baru pulang dari Jakarta. "Sempat dikucilkan juga, cuma kadang-kadang diolokin sih," katanya. PENGALAMAN DENGAN PASIEN Dokter Tika juga menceritakan pengalamannya berhadapan dengan pasien. Pada saat itu, timnya telah mengenakan APD lengkap. Bersiap melakukan swab ulang pada pasien yang telah dinyatakan positif untuk monitoring kesembuhan. Namun, setelah tiba di kamar pasien, si pasien menolak. Ia merasa tidak sakit. "Semacam denial, menolak kenyataan bahwa dia terinfeksi COVID," katanya. "Jadi karena dia marah-marah, akhirnya ya sudah, kita keluar. Akibatnya rugi APD itu,". Padahal, lanjutnya, untuk mengenakan APD saja setidaknya memerlukan waktu setengah jam. Belum lagi, kalau ada salah satu komponen APD yang tidak tersedia. Misalnya baju astronot sudah dikenakan, tapi masker N95 nya habis. Terpaksa harus mencari lagi. Telepon sana-sini lagi. Begitupun setelah melepas APD, semuanya, kata Tika, harus mandi lagi, keramas lagi. "Jadi kalau kita masuk (ruang isolasi) tiga kali sehari, ya kita mandinya juga tiga kali sehari itu," jelas dia. Cerita lainnya; tambah dokter Tika Adilistya, kadang pasien telepon marah-marah meminta kepastian sampai kapan diisolasi. Atau minta pindah kamar karena merasa kamar tersebut “berpenghuni”. "Yah wajar namanya manusia. Mungkin mereka sumpek di ruang isolasi, karena enggak bisa bebas. Psikis tertekan. Rindu keluarga," maklum dia. Padahal, katanya, perasaan tertekan, ingin kepastian, dan merindukan keluarga itu juga dirasakan oleh hampir seluruh petugas medis rumah sakit yang menangani COVID-19. "Suka tidak suka, mau tidak mau, kami semua ini ODP," imbuhnya. "Jadi kadang saya berpikir; kok pasien seperti itu yah, dengan kondisi wabah begini. Kita kan mau mengobati dia, merawat dia. Kalau sudah sembuh juga dengan senang hati kami akan memulangkan agar bisa berkumpul lagi dengan keluarganya," sesalnya. Padahal di ruang isolasi, pasien diperbolehkan membawa gadget. Mereka bisa berkomunikasi dengan keluarga agar tidak stres. "Ya pada kenyataannya memang tidak semua orang yang sakit itu bijak. Ada yang bisa menerima dengan ikhlas, ada yang merasa tidak sakit sehingga tidak diterima diisolasi seperti itu," paparnya. Meski begitu, kata dia, ada juga pasien yang sangat kooperatif kepada petugas medis. Bahkan sudah seperti keluarga sendiri. "Buktinya saat sudah dinyatakan sembuh, ada rasa kehilangan baik dari sisi pasien maupun si petugas, hehe…," pungkas Tika Adilistya. (das/dah)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: