Konsep Top Down dan Bottom Up dalam Peraturan Karantina Wilayah

Konsep Top Down dan Bottom Up dalam Peraturan Karantina Wilayah

OLEH: ADITYA PRASTIAN SUPRIYADI Setelah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar, pemerintah juga akan menerbitkan PP Karantina Wilayah (Kompas: 2020). PP tersebut akan menjadi amunisi baru pemerintah dalam mengatasi COVID-19 yang sedang menjadi momok bagi bangsa Indonesia. Ketiadaan PP sebagai pedoman teknis membuat pelaksanaan karantina wilayah di Indoneisa sulit dilaksanakan. Namun dalam waktu dekat, kepastian hukum pedoman teknis karantina di suatu  wilayah (lockdown) akan segera terwujud. Wacana pembuatan PP Karantina Wilayah tentu menjadi angin segar bagi pemerintah daerah dalam mengatasi COVID-19 di wilayahnya. Sebelumnya terjadi kondisi dilematis yang melanda berbagai kepala daerah untuk menutup akses keluar masuk wilayah. Karena belum jelasnya pelibatan pemerintah daerah dalam melakukan karantina berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.  Akan tetapi jika PP tersebut hadir, tentu menjadi berita baik bagi pemerintah daerah. Karena tersedianya dasar hukum sebagai landasan pelaksanaan karantina di wilayahnya. PP tidak bisa lepas dari UU. UU adalah aturan materil yang bersifat umum. Untuk melaksanaan aturan umum tersebut, diperlukan PP sebagai peraturan teknis. Seperti contoh dalam Pasal 5 ayat (2) UU 6/2018. Pasal tersebut mengatur bahwa pemerintah pusat dapat melibatkan pemerintah daerah untuk melakukan serangkaian kekarantinaan kesehatan. Salah satunya karantina wilayah. Kemudian cara pelibatan pemerintah daerah oleh pemerintah pusat itulah yang diatur lebih lanjut dalam PP. Seperti tata cara, petunjuk, kriteria, indikator dan lain-lain yang bersifat teknis pada pelaksanaan karantina wilayah. Apakah peraturan teknis karantina wilayah yang akan diterbitkan pemerintah ini harus bersifat top down atau bottom up? Jika peraturan teknis tersebut bersifat top down, maka keputusan karantina wilayah hanya bisa dilakukan oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak akan bisa melaksanakan karantina wilayah jika tidak ada instruksi pemerintah pusat. Akan tetapi jika peraturan teknis karantina wilayah bersifat bottom up, pemerintah mendelegasikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan karantina wilayahnya masing-masing. Artinya, pelaksanaan karantina wilayah bisa diterapkan pemerintah daerah. Tanpa menunggu instruksi pemerintah pusat berdasarkan delegasi kewenangan yang diatur dalam PP. Terlepas dari perbedaan sifat aturan di atas, perlu dipikirkan dengan matang agar bisa menjadi peraturan hukum yang baik. Karena hukum adalah petunjuk hidup (utrech). Pembuatan peraturan teknis yang baik akan menjadi petunjuk pelaksanaan karantina wilayah yang tepat. Akan tetapi jika peraturan tersebut dibuat tanpa pertimbangan matang, bisa berdampak pada petunjuk aturan yang tidak tepat pada pelaksanaan karantina wilayah dan bisa menjadi masalah baru di tengah pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia. Konsep top down atau bottom up yang bisa diterapkan pada PP memiliki kelebihan dan kekurangan. Aturan teknis bersifat top down akan mempermudah pemerintah pusat untuk mengontrol pelaksanaan karantina wilayah. Karena semua keputusan berada di tangannya. Namun kekuranganya pemerintah pusat akan sulit mempertimbangkan pelaksanaan karantina wilayah. Karena tidak mengetahui secara penuh kondisi daerah-daerah di Indonesia. Sehingga bisa berdampak pada pengambilan keputusan yang lambat. Keputusan pemerintah dalam mengatasi pandemi COVID-19 yang lambat tentu akan berdampak pada penanggulangan yang tidak maksimal. Aturan teknis yang bersifat bottom­ up dinilai akan mempermudah pelaksanaan karantina di suatu daerah jika dilakukan pemerintah daerah. Karena yang mengetahui kondisi daerah secara penuh adalah pemerintah daerah. Sehingga penetapan karantina wilayah bisa segera dilakukan oleh pemerintah daerah jika dibutuhkan di kala wabah COVID-19 ini sedang tidak terkendali. Pemerintah daerah pun bisa dengan cepat menekan penularannya ke wilayah lain. Namun kekurangannya, sinergitas pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan berkurang. Mengingat pelaksanaan karantina wilayah memiliki dampak yang besar. Jika sinergi berkurang, maka kontrol pelaksanaan karantina wilayah akan sulit dilakukan oleh pemerintah pusat. Keputusan karantina bisa saja terjadi atas pertimbangan yang tidak matang dan menimbulkan masalah baru. Sebab karantina wiayah bisa berdampak pada wilayah lain dari aspek sosial, ekonomi, dan lain-lain. Agar tidak terjadi perdebatan yang tidak ada ujungnya, lebih baik sifat top down dan bottom up dikolaborasikan dalam aturan teknis karantina wilayah. Tujuannya agar kekurangan dari sifat masing-masing konsepsi aturan tersebut bisa ditutupi dengan kelebihannya pula. Pembuatan aturan teknis dengan kolaborasi keduanya akan menghasilkan PP karantina wilayah yang bersifat inisiatif dan aktif. Inisiatif dalam arti pemerintah daerah dapat menilai pertimbangan untuk melakukan lockdown di wilayahnya. Aktif dalam arti pemerintah daerah dapat segera mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk menerapkan karantina di wilayahnya tanpa menunggu instruksi dari pemerintah pusat terlebih dahulu. Artinya, pemerintah pusat tetap dilibatkan sesuai amanah Pasal 5 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan: pengontrol utama. Kedudukan pemerintah pusat akan menjadi pengontrol pertimbangan-pertimbangan pemerintah daerah. Yang akan menerapkan karantina wilayah untuk mengatasi COVID-19 di wilayahnya. Pertimbangan tersebut akan diverifikasi serta dianalisis ketepatannya dari berbagai aspek. Jika pertimbangannya sudah tepat, pemerintah akan mendelegasikan kewenangannya kepada pemerintah daerah untuk menerapkan karantina wilayah. Jika belum tepat, bisa diganti dengan kebijakan lain. Tujuannya agar bisa meminimalisasi dampak buruk yang sulit diatasi jika karantina wilayah benar-benar diterapkan oleh pemerintah daerah. Harapannya, PP Karantina Wilayah yang akan terbit bisa mengakomodasi konsep yang sudah dijelaskan di atas. Pembuatan aturan teknis berdasarkan sifat top down dan bottom up tentu bisa meningkatkan kerja sama yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mengatasi COVID-19 melalui kebijakan karantina wilayah. Pemerintah pusat menetapkan kriteria syarat penerapan karantina wilayah dan pemerintah daerah yang mengeksekusi di wilayahya. Sehingga penetapan karantina wilayah bisa dilakukan dengan cepat dan tepat. Demi mengatasi COVID-19 serta bisa menekan potensi penyebarannya ke wilayah lain. Yang dapat menjadi masalah baru. (*Pemerhati Hukum dan Alumni Pascasarjana FH Universitas Brawijaya)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: