Bankaltimtara

Dianggap Sudah Tak Relevan, BPS Disarankan Perbarui Metode Pengukuran Tingkat Kemiskinan

Dianggap Sudah Tak Relevan, BPS Disarankan Perbarui Metode Pengukuran Tingkat Kemiskinan

Gedung BPS.-IST/DTK-

JAKARTA, NOMORSATUKALTIM - Badan Pusat Statistik (BPS) disarankan untuk memperbarui metode pengukuran tingkat kemiskinan karena danggap sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini.

Pasalnya, metode yang digunakan BPS sudah hampir 50 tahun, yakni BPS mulai mengukur tingkat kemiskinan sejak 1984 dengan data tahun 1976, sehingga usdah tidak relevan menjadi alat pengukuran kemiskinan saat ini. 

Hal ini diungkapkan Direktur Kebijakan Publik Center of Economics and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar seperti dilansir Antara.

“Metodologi kemiskinan yang dipakai oleh BPS itu menggunakan data 1976. Jadi, praktis selama 50 tahun ini tidak ada perubahan yang signifikan (pada metode pengukuran tingkat kemiskinan),” kata Media dikutip Antara, Rabu (28/5/2025).

BACA JUGA: Kemiskinan Kaltim ada di Pedesaan, Gubernur Harum Sebut Faktor Geografis dan Keterbatasan Infrastruktur

Menurutnya, BPS menggunakan jumlah pengeluaran dengan pendekatan Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM) dalam mengukur tingkat kemiskinan.

"Saat tahun 70-an, metode itu mampu menangkap realitas ekonomi masyarakat lantaran konsumsi masyarakat memang didominasi oleh kebutuhan makanan," jelasnya.

Namun, katanya, pendekatan tersebut dinilai tidak lagi mampu memahami realitas saat ini karena perkembangan ekonomi-sosial kontemporer yang makin kompleks dan multidimensional.

Dia memaparkan perubahan saat ini, seperti ada banyak konsumsi non-makanan yang dulu tidak ada, yang sebetulnya sangat esensial, seperti paket internet.

BACA JUGA: Wabub Paser Inginkan Data Riil Masyarakat Miskin: Kalau Perlu Tempel Stiker Mencolok

"Ini sejalan dengan Hukum Engel, ketika waktu terus berjalan, maka masyarakat juga cenderung bergeser pada pengeluaran non-makanan,” ungkapnya.

Selain itu, BPS juga fokus pada jumlah pengeluaran masyarakat dalam menghitung tingkat kemiskinan, bukan jumlah pendapatan.

Pendekatan ini dianggap sudah tidak lagi relevan, seiring dengan makin banyaknya opsi pembiayaan yang bisa digunakan sebagai modal pengeluaran.

Apalagi, saat ini banyak rumah tangga mengandalkan utang untuk konsumsi. Bahkan, ada yang mengeluarkan sampai Rp15 juta sebulan, meski pendapatan hanya Rp3 juta.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: