Bukan Kampung Miliuner Lagi, Beralih ke Sawit

Bukan Kampung Miliuner Lagi, Beralih ke Sawit

Suasana lahan perkebunan lada di Kampung Merancang Ilir.(Zuhrie) LIMA tahun lalu, jalan usaha tani Kampung Merancang Ilir, ramai dengan aktivitas tanam, dan panen lada. Bahkan, sepanjang jalan terlihat petani merendam lada dalam karung, di anak-anak sungai. Intensitas akativitas itu kini jauh berkurang. Predikat Kampung Miliuner, dulu melekat pada Kampung Merancang Ilir. Pendapatan petani, bisa mencapai ratusan juta, bahkan miliaran rupiah dalam setahun. Saat, harga lada mencapai lebih dari seratus ribu rupiah. Abdullah, salah satu petani lada di Kampung Merancang Ilir ,Kecamatan Gunung Tabur mengaku, kondisi terburuk terjadi ketika harga jual lada hitam dari petani ke tengkulak hanya Rp 29 ribu per kilogram pada tahun 2019. “ Itu menjadi yang terendah selama ini, kalaupun naik paling tingginya hanya Rp 45 ribu, tapi itu terjadi saat ada pembeli lain yang masuk selain pengepul yang ada,” ucapnya. Padahal menurut Abdulah, saat masih bekerja sebagai buruh salah satu pengusaha lada tahun 2012 sampai 2015, harga lada atau merica masih di kisaran Rp 160 ribu sampai Rp 180 ribu per kilogram. Tak ayal, Kampung Merancang Ilir selain menjadi lumbung lada, saat itu juga mendapat predikat sebagai kampung miliuner, karena nyaris seluruh warganya juga membuka lahan pertanian lada, ratusan hektare. “Begitu saya punya modal, saya beli tanah sendiri lalu tanam merica sendiri, justru secara perlahan harganya terus turun, jadi Rp 80 ribu, sampai terendah tahun kemarin Rp 29 ribu ,”tuturnya. “Kami kurang paham kenapa harganya anjlok, tetapi dari informasi para tengkulak, harga jualnya murah jadi penyebab,” sambungnya. Diakuinya, kondisi ini memaksa Abdullah beserta istri menahan penjualan hasil kebun lada miliknya, totalnya mencapai 30 karung atau sekitar 1,9 ton. Semua itu, merupakan hasil panen selama tahun 2019, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari menjual lada hitam miliknya sedikit demi sedikit. “Kalau sudah enggak ada uang untuk belanja dapur, kami jual sekarung. Sisanya disimpan dulu digudang nanti kalau habis lagi uang, jual lagi sedikit,” ujarnya. Lebih lanjut Abdullah menyebut, akibat harga yang kian tak pasti, banyak petani lada di Kampung Merancan Ilir beralih ke perkebunan kelapa sawit, hal ini menyebabkan komoditas lada tak lagi maksimal dikelola warga. Apalagi diakuinya, biaya perawatan yang cukup tinggi serta gaji pekerja harian lepas cukup tinggi, mencapai Rp 100 ribu, untuk satu orang menjadi tekanan para pemilik kebun di saat harga lada kian merosot. “Kedepan kami juga sepertinya akan mengikuti jejak petani lain beralih ke sawit, kalau kondisinya seperti ini terus. Kami petani kecil, beda kalau petani besar tetap stabil,” tandasnya.(*/zuh/app)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: