Capai Titik Terendah

Capai Titik Terendah

LADA kini tak berjaya lagi, harganya terus anjlok di Bumi Batiwakkal, bahkan di Kalimantan Timur, sekalipun. Desember 2019, mencapai titik terendahnya, dalam beberapa tahun terakhir. Disampaikan Kepala Seksi (Kasi) Pengolahan Pasca Panen dan Pemasaran, Dinas Perkebunan Berau, Sovian Rody, anjloknya harga lada sudah terjadi sejak tahun 2017 lalu, hingga Desember 2019. (lihat grafis) Lanjutnya, Di tahun 2019 lalu, harga paling tinggi hanya pada bulan Januari, yakni Rp 45.000 ribu per kilogram. Setiap bulan harga selalu turun. “Bahkan, harga terendah yang disampaikan petani, terjadi pada Desember (2019), hanya Rp 28.000 ribu saja per kilogramnya,” ungkapnya. Tidak dipungkiri, bahwa banyak petani mengeluh dengan terus turunnya harga lada. Akan tetapi, pihaknya juga tidak bisa berbuat banyak. Lantaran penentuan harga lada tidak ditetapkan oleh pasar dalam negeri, melainkan turun atau naiknya harga berdasarkan pasar internasional. Menurut Rody, saat ini harga lada internasional bisa dikatakan dikendalikan Vietnam. Yang mana, negara tersebut kini menjadi eksportir terbesar di banding Indonesia, dengan harga lebih murah. Sehingga, negara yang ingin membeli lada mayoritas beralih ke Vietnam. “Kita tidak bisa lagi menjual dengan harga mahal, harus menyesuaikan dengan harga yang ditawarkan Vietnam. Inilah yang membuat harga lada dalam negeri anjlok sepanjang tahun,” tuturnya. Meskipun dari kualitas, lada dalam negeri paling unggul, khususnya hasil dari Bangka Belitung (Babel). Bahkan lebih baik dari lada hasil produksi Vietnam. “Kualitas produksi Berau juga tidak kalah dengan Babel. Namun menjualnya tetap harus mengkuti harga pasar internasional. Jika pasar internasional naik, dalam negeri juga naik. Kalau turun kita juga turun,” jelasnya. Murahnya harga itu, terjadi merata di setiap kecamatan, meskipun perbedaannya berkisar antara Rp 2 hingga 3 ribu saja. Hal disebabkan dari jarak lokasi petani, dengan mempertimbangkan biaya transportasi bongkar muat. “Memang tidak akan sama antarwilayah satu, dengan wilayah lainnya. Apalagi ada ulah permainan tengkulak di sana,” katanya. Terkait murahnya harga tersebut, pihaknya berencana menjalin kerja sama dengan Asosiasi Petani Lada Indonesia (APLI) untuk menyiapkan pasar. Sehingga petani tidak lagi menjualnya ke pengumpul atau tengkulak, yang mengakibatkan harga menjadi tidak seragam. Lebih lanjut diasampaikannya, APLI akan membentuk perwakilan di setiap kampung yang merupakan sentra lada yang bertugas mengontrol harga. Kalaupun, nantinya ada yang menjual ke pengumpul sudah berdasarkan pengawasan dari petugas APLI, sehingga harganya tidak bisa dipermainkan lagi. “Ini akan kami terapkan, agar harga lada yang dijual ke petani tidak begitu merugikan mereka. Tentu kita semua berharap harga lada ini bisa kembali normal, agar petani kembali semangat mengembangkan tanaman lada,” pungkasnya. Berharap Pemerintah Turun Tangan Para petani lada di Kalimantan Timur berharap pemerintah daerah turun tangan. Harga lada yang menjadi salah satu komoditas yang banyak ditanam petani daerah ini, anjlok sejak tahun lalu. Harga jenis rempah yang sudah dikenal sejak zaman kolonial itu menyentuh Rp30 ribu per kilogram. Terendah dalam sepuluh tahun terakhir. Menurut Ketua Asosiasi Penyuluh Swadaya Kaltim, Edi Rosman, turunnya harga lada mencapai Rp 30 ribu per kilogram, Dia rasakan tahun lalu. Selama 2019, harga lada longsor perlahan. Mula-mula Rp 100 ribu menuju Rp 60 ribu, lalu Rp 40 ribu per kilogram. “Dan terakhir harga Rp 30 ribu per kilogram di tingkat pengepul. Penurunan bertahap terjadi sekitar setahunan ini. Tidak sekaligus,” katanya saat dihubungi. Sedangkan petani lain, Supardi, pernah merasakan harga Rp 200 ribu pada periode 2017-2018. Para petani menyiasati anjloknya harga lada dengan menyimpan sampai harga kembali stabil. “Kalaupun dijual, itu hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari,” imbuh Edi Rosman. Petani di Balikpapan, menyiasatinya dengan menanam sayuran di sela-sela lada. Strategi tumpang sari dilakukan petani untuk “bertahan hidup dan memangkas biaya perawatan yang tidak sedikit,” kata Supardi dalam kesempatan sebelumnya. Lada yang ditanam petani di Kaltim bisa berbuah sepanjang tahun dengan catatan: perawatan yang maksimal. Artinya, petani harus siap pupuk, sampai perawatan kebun. “Jika perawatan maksimal, panen raya akan berlangsung bulan Agustus dan September,” imbuh Edi Rosman yang sudah bertanam lada lebih dari 30 tahun. Dia bilang merosotnya harga jenis rempah, bukan saja Kaltim yang mengalami kesulitan. Seluruh petani di daerah penghasil lada merasakan. Kondisi ini, kata Edi Rosman sudah diprediksi. Hal ini melihat tren naik turun setiap 9 sampai dengan 10 tahunan. Akan tetapi, penurunan lada di tahun 2019 yang berlanjut ke 2020, menjadi yang terparah. “Saya perkirakan tahun depan mulai naik. Kemungkinan puncak harga tertinggi di 2022 seperti yang selama ini yang kami rasakan. Kami pun setiap bulannya mendapatkan harga lada dunia dari IPC (International Pepper Community),” ujar Edi Rusman yang pernah merasakan harga lada Rp 15 ribu perkilogram pada 1990. Berdasarkan data Dinas Perkebunan Kaltim, jumlah petani lada mencapai 7.845 Kepala Keluarga (KK). Sementara luas tanam mencapai 6.179 hektare dari total luas areal tanam 9.021 hektare. Produksi tahunan sebanyak 6.484 ton. Produktivitas petani di Kaltim cukup tinggi, yaitu 1.049 kilogram per hektare. Petani lada di Kutai Kartanegara menempati posisi paling atas dalam jumlah petani, produktivitas dan areal tanam. Tercatat 2.307 KK petani lada dengan produksi rata-rata antara 1-5 ton. Luas lahan mencapai 4.419 hektare dan total produksi sebanyak 3.984 ton. Lebih dari 50 persen produksi lada Kaltim disumbang calon ibu kota negara baru. Butuh Gudang Supaya petani bisa terus bertahan, Edi Rosman berharap pemerintah menyediakan gudang lada. Gudang itu berfungsi sebagai penampungan hasil petani saat harga jatuh. Sekaligus sebagai jaminan ketika petani membutuhkan modal. “Seperti Bangka yang membuat gudang penitipan. Mereka juga buat kartu ATM bekerja sama dengan bank daerah. Ketika butuh dana, petani bisa pakai uang dengan jaminan panenannya. Gudang itu buat mengamankan hasil bumi petani, sekaligus membantu kesulitan saat butuh modal,” kata pemilik dua hektare tanaman lada itu. Edi mengaku sudah pernah mengusulkan hal ini, namun belum mendapat respon pemerintah daerah. Kondisi ini juga diperparah ketiadaan eksportir lokal. Yang ada hanya pengepul dari petani, kemudian disetor ke pengepul besar. “Pemerintah sebenarnya sudah tahu kondisi ini, tapi memang belum ada solusi yang diberikan.” Meski begitu Edi Rusman enggan melempar kesalahan pada pemerintah. “Sebenarnya kalau mau, cukup dari kelompok tani membangun kebersamaan, lalu jual satu pintu,” imbuhnya. Ia memperkirakan penurunan harga lada akibat melimpahnya pasokan. Solusi lain yang dia tawarkan ke pemerintah adalah memberikan pelatihan bagi petani untuk membuat produk turunan. Pemberdayaan petani dan pelembagaan petani lada menjadi jalan keluar agar bisa keluar dari masalah berulang ini. Isran Noor: Belum Ada Keluhan Gubernur Kaltim, Isran Noor, mengaku belum mendengar keluhan petani lada atas merosotnya harga komoditas pertanian ini. Saat ditemui di Balikpapan, Gubernur bilang kondisi ini sama dengan batu bara dan karet. “Belum ada (laporan). Jarang masyarakat mengeluh soal itu. Itu sama halnya, misal, harga batu bara naik turun. Bahkan karet juga turun,” katanya. Meski begitu, pemerintah daerah melalui petugas di lapangan untuk meningkatkan kualitas produk. Kemudian memperbaiki sistem pemasaran dan distribusi. “Pemerintah akan bantu mereka. Ada informasi-informasi yang disampaikan oleh masyarakat. Kalau lada bisa disimpan lama.” Pemerintah, kata Isran Noor bisa saja ikut campur dalam persoalan harga sepajang kebijakannya bisa ditangani dan pasarnya. “Tapi kita lihat lagi ya..,” kata Isran Noor mengakhiri wawancara. (*/hen/fey/app)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: