Kenapa Disway Lahir
ALKISAH. Seorang ayah dan anak laki-lakinya hendak bermusafir. Mereka hanya memiliki seekor keledai untuk ditumpangi. Karena perjalanan cukup jauh, sang ayah mengajak anaknya untuk sama-sama menunggangi keledai itu.
Ketika melintasi desa pertama, keduanya mendengar pembicaraan warga desa. Kira-kira begini: “Tuh, lihat, masa sih keledai kecil begitu ditunggangi dua orang. Enggak ada pikirannya”. Mendengar obrolan itu, sang ayah mengajak anaknya turun. Memang keledai ukurannya lebih kecil ketimbang seekor kuda. Meski ringkikannya tak kalah nyaringnya. Bahkan lebih nyaring. “Dari pada kita jadi bahan obrolan mending kita turun saja. Kita jalan kaki saja. Keledai kita tuntun,” ajak sang ayah. Si anak pun menganggukkan kepala tanda setuju. Kemudian keduanya melanjutkan perjalanannya. Begitu sampai di desa kedua. Ternyata kedua musafir tersebut tak lepas dari omongan warga desa. “Itu maunya apa sih, punya keledai kok enggak ditunggangi,” kata warga di desa kedua itu. “Waduh, ada benarnya juga sih,” kata si ayah. Yang dipersoalkan di desa sebelumnya hanya bobot tumpangan. Kalau begitu, si ayah punya ide untuk gantian. Pertama, si ayah mempersilakan anaknya untuk naik punggung hewan berkaki empat itu. Biar si ayah yang tuntun keledai. Nanti saat capek, gantian anaknya yang menuntun keledai. Kali ini si ayah yakin, tidak mungkin ada obrolan miring dari warga desa berikutnya. Ternyata dugaannya masih keliru. Keduanya juga jadi bahan omongan yang tak mengenakkan. “Itu anaknya kurang ajar sekali, masa ayahnya disuruh tuntun keledai. Enggak sopan,” kata warga desa ketiga. Si ayah kaget, masih juga jadi bahan omongan warga. “Iya sudah. Kalau begitu biar ayah saja yang naik. Nanti saya yang tuntun,” ujar si anak. Ayah pun langsung setuju dan bergegas naik keledai tadi. Kini mereka yakin enggak bakal ada obrolan miring lagi di desa berikutnya. Tapi, lagi-lagi, nada sumbang itu tetap muncul. “Ini bapaknya enggak tahu diri. Masa dia enak-enakan naik keledai, sementara anaknya disuruh menuntun”. Akhirnya, ayah dan anak itu berhenti sejenak. Sambil merenungkan setiap omongan dari empat desa itu. Mereka bingung mau bagaimana. Begini salah, begitu juga salah. Selalu menjadi bahan obrolan warga desa. Karena masih jauh, keduanya pun sepakat untuk melanjutkan perjalanan. Dan mengabaikan suluruh omongan orang selama perjalanan. Intinya bagaimana bisa sampai tujuan. Karena kalau dengar bisikan kiri dan kanan tak kunjung sampai. Ini cerita lama yang saya dengar sejak SMP. Saya lupa siapa yang menceritakan. Dan dalam konteksnya apa. Tapi saya masih hafal gambaran ceritanya. Cerita itu menggambarkan dua hal. Pertama bahwa persepsi masyarakat itu beragam dalam melihat sebuah peristiwa. Kedua, sebagai panduan untuk melangkah. Jika kita hanya mendengar obrolan kiri dan kanan, maka kapan bisa sampai tujuan. Yang pertama, soal persepsi. Inilah antara lain yang menjadi alasan kenapa Disway Kaltim harus lahir. Salah satunya untuk memberikan persepsi baru kepada masyarakat. Memberikan pandangan yang berbeda. Seorang kawan bertanya. “Kenapa harus buat media, kan sudah banyak dengan berbagai platform?.” Saya sampaikan, semakin banyak media semakin bagus bagi masyarakat. Dengan catatan media-media itu benar-benar mengusung profesionalisme. Ada rambu-rambunya di situ. Lalu, saya tanya balik. Apakah Anda mau informasi dimonopoli oleh sebagian pihak. Kelompok tertentu. “Tentu tidak,” jawabnya. Justru, ketika kita menerima hanya dari satu sumber informasi, dan mengakar, seolah sudah menjadi dogma, efeknya kurang baik bagi perkembangan masyarakat. Bisa dilihat misalnya orang yang sering disebut-sebut radikal. Biasanya mereka hanya memiliki satu perspektif. Dogmatis. Hanya menerima dari sedikit sumber. Ketika mereka memahami banyak sudut pandang, biasa akan lebih bijak dan luwes. Disitulah pentingnya banyak media. Sebagai pembanding dan membangun multiperspektif. Dan disitulah pentingnya Disway Kaltim hadir. Untuk melengkapi pilar keempat dari demokrasi itu. Kita juga berupaya tidak mendikotomi wacana yang berkembang pada umumnya. Misalnya; nanti media cetak akan mati. Sekarang zamannya digital. Ok, narasi itu tetap dipelajari dan diantisipasi. Disway mencoba mengombinasikan semua unsur tersebut menjadi satu kesatuan. “Mahal. Tinggi biaya produksinya. Kenapa harus cetak?” Banyak sekali yang bertanya begitu. Saya sampaikan, bisnis media bukan hanya ingin mengeruk keuntungan besar semata. Kendati tentu butuh biaya untuk operasional. Tapi ada fungsi-fungsi lainnya, seperti fungsi sosial. Sabtu sore, saya bersama Direktur Utama Disway Kaltim Chrisna Endrawijaya dan Direktur Unit Bisnis Rachman Ainul Muttaqin berdiskusi apa tagline yang akan diangkat. Tagline sebelumnya belum sesuai dengan falsafah yang ingin dibangun Disway Kaltim. Sebagaimana Pak Dahlan Iskan dan Pak Zainal Muttaqin, pembina Disway Kaltim, yang selalu mengusung akal sehat, Disway Kaltim juga akan mensarikan itu untuk menginspirasi masyarakat. “Bagusnya pakai kata mendorong atau membangun?,” tanya Pak Che, panggilan akrab Dirut. “Membangun saja,” timpal pak Rachman. Saya pun sepakat. Karena kata “mendorong” seolah posisi kita lebih tinggi. Tapi kata “membangun” berarti bersama-sama. Maka saat itu pula diputuskan perubahan tagline tersebut menjadi; Membangun Inspirasi Akal Sehat. Kalimat tersebut juga menjadi panduan Disway Kaltim untuk melangkah dan menyampaikan informasi-informasi yang membangun akal sehat. Disway tidak mau ikut-ikutan dengan tagline yang mengklaim. Misalnya; terbesar, terhebat, terfavorit, tercantik dan ter-ter lainnya. Karena bisa jadi pada praktiknya tidak “ter”. Mudah-mudahan, semuanya bisa berjalan lancar dan bisa memberikan manfaat bagi masyarakat Kalimantan Timur, khususnya. #salamdisway Bagaimana dengan Anda? */Pemimpin Redaksi Disway KaltimCek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: