Sandera HAMAS Mengaku Diperlakukan Lembut

Sandera HAMAS Mengaku Diperlakukan Lembut

Yocheved Lifshitz dan Cooper, sandera yang dibebaskan Hamas.--AP

NOMORSATUKALTIM –  Warga Israel yang telah dibebaskan Hamas, Yocheved Lifshitz mengatakan selama menjadi sandera sejak (7/10/2023), mengaku diperlakukan lembut dari Hamas. Ia dibebaskan kemarin malam.

Lifshitz (85 tahun) satu dari dua wanita yang baru saja dibebaskan. Ia dibebaskan bersama Nurit Cooper. Keduanya dibebaskan Hamas selang tiga hari setelah seorang wanita Amerika dan putrinya dibebaskan.

Dengan demikian sudah empat warga Israel yang dibebaskan setelah pejuang Palestina menyerbu Israel di dekat Jalur Gaza.

Ia menggambarkan para penculiknya sebagai orang yang sangat ramah dan sangat santun. Lifshitz ditempatkan bersama dengan empat tawanan lainnya.

“Mereka tampaknya siap untuk ini, mereka mempersiapkannya sejak lama, mereka memiliki semua yang dibutuhkan pria dan wanita, termasuk sampo,” ungkapnya kepada wartawan, di luar rumah sakit Tel Aviv.

“Kami makan makanan yang sama dengan mereka, keju putih, keju leleh, mentimun. Itu adalah makanan sepanjang hari,” imbuh Lifshitz, kemarin, dilaporkan AP.

"Saya telah melalui ketakutan, kami tidak menyangka atau mengetahui bahwa kami akan mengalami situasi seperti ini," imbuhnya.

Lifshitz mengisahkan awal ia disandera Hamas. Saat penyerangan Hamas ke Israel, ia dinaikkan ke atas sepeda motor dan diantar ke Gaza.

"Ketika berada di atas sepeda motor, kepala saya berada di satu sisi dan seluruh tubuh saya di sisi lain. Para pemuda itu awalnya sempat bersikap keras kepada saya di tengah jalan. Tapi mereka tidak mematahkan tulang rusuk saya. Kami diperlakukan dengan baik," katanya.

"Mereka memperlakukan kami dengan hormat, memberi kami obat-obatan, memperhatikan kebersihan kami, bahkan membawa dokter untuk memeriksa kami. Mereka sangat ramah," beber Lifshitz.

Sesampainya di Gaza, ia mengatakan para penculiknya membawanya ke dalam terowongan yang diibaratkan seperti jaring laba-laba, dan memperlakukannya dengan baik.

“Mereka memperlakukan kami dengan lembut, dan menyediakan semua kebutuhan kami,” jawab Lifshitz, saat ditanya mengapa ia mengulurkan tangan untuk menjabat tangan pejuang Hamas, diunggah akun X Quds News Network.

Lifshitz mengatakan bahwa seorang dokter telah mengunjunginya dan memastikan bahwa ia dan para sandera lainnya menerima obat-obatan yang sama dengan yang mereka konsumsi di Israel.

Video pelepasan Lifshitz beredar viral di media sosial. Dari tayangan yang dilihat media ini pada Rabu (25/10/2023), ia dibawa ke suatu daerah di malam hari. Di sana, Lifshitz bersama sandera lainnya diberi minuman, dengan posisi duduk nyaman. Kemudian saat berpisah, ia menarik tangan dan meminta bersalaman dengan pejuang Hamas.

Putri Lifshitz, Sharone turut memberi kesaksian pada media. Sharone mengisahkan pejuang Hamas menyatakan mereka tidak menyakiti Lifshitz.

"Ketika pertama kali tiba, pejuang Hamas menyebut bahwa mereka adalah Muslim dan mereka tidak akan menyakiti para sandera," ujar Sharone.

Israel Geram atas Pengakuan Sandera

Para pejabat Israel dilaporkan kesal dengan pernyataan sandera dibebaskan Hamas. Dalam jumpa pers pada Selasa (24/10/2023), Yocheved Lifshitz (85 tahun) mengatakan, selama disandera Hamas telah memperlakukan dirinya dengan lembut dan sangat baik.

Seorang sumber mengatakan kepada kantor berita Israel, Kan News jika wawancara Lifshitz dengan media itu sebuah kesalahan. Sumber itu menambahkan, tidak ada pihak berwenang Israel yang melakukan pertemuan pendahuluan dengan Lifshitz sebelum jumpa pers. Karena itu, Lifshitz dianggap tidak memiliki persiapan untuk menanggapi pertanyaan wartawan.

Di sisi lain, sampai saat ini kondisi Gaza kian menakutkan. Sebanyak 5 ribu lebih warga Gaza meninggal dunia akibat dihantam rudal penjajah Israel. Sekitar 1.000 di antaranya anak-anak. Belasan ribu warga lainnya mengalami luka. Hampir 40 persen bangunan rumah rata dengan tanah.

Aktivis kemanusiaan Indonesia yang menetap di Gaza, Abdillah Onim, mengisahkan baru saat ini terjadi peperangan besar selama belasan tahun terakhir.

“Saya 13 tahun di Gaza, beberapa kali peperangan sudah saya alami, kami masih bisa beraktivitas biasa. Tapi perang di Oktober ini, baru pertama kali perang tidak mengenal aturan. Tidak bisa kemana-mana. Bahkan PBB dan negara lain tidak berdaya menekan penjajah Israel,” ungkapnya.

Kerusakan akibat serangan Israel membuat Gaza seakan kota mati. Gedung-gedung rata dengan tanah, bahkan tim medis juga dijadikan sasaran. Bahkan, masih banyak jasad yang terkurung di bawah reruntuhan.

Puluhan tim medis dari Kemenkes Palestina dan aktivis kesehatan lain di Gaza juga meninggal dunia. Puluhan unit ambulance hancur dirudal. Saat warga Gaza mengungsi ke sekolah, mereka mengungsi ke tempat pengungsi tapi menjadi sasaran juga.

Ia mengungkap para WNI di Gaza juga kehabisan stok makanan. Selama ini warga Gaza hidup dengan roti yang sudah dibeli sejak 10 hari lalu. Air minum dari air yang sudah sudah tercemar. 

“Saat ini 97-100 persen air di Gaza tidak layak konsumsi. Tapi karena ini faktor kritis dan terbatas, mereka terpaksa meminum air yang sudah tercemar. Saya dan anak istri makan tomat dan timun yang sudah kami sediakan beberapa hari lalu,” ujarnya. (*)

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: ap