Partai Karung

Partai Karung

Kemarin, Jumat 26 Mei 2023, kami asyik berbincang. Ngopi bertiga, bareng Pemred media ini, pak Setyono, yang biasa kami sapa Om Yos atau Om Yoyok. Juga, bersama sang Dirut, Devi Alamsyah.

Ngobrol ngalor ngidul. Dari keredaksian sampai isu kekinian. Macam-macam, hampir tiga jam. Diselingi makan dan lezatnya kopi hitam racikan. Di warung langganan. Yang menarik, saat membincang politik. Meski enggan menjadi politisi, tapi kalau soal politik, tentu akan menggelitik. Apalagi, passion saya memang di bidang geopolitik. Nasional dan global. Alasannya sederhana: apapun di dunia ini, tak bisa dilepaskan dari geopolitik. Mulai perang Rusia - Ukraina, pembantaian rakyat Gaza Palestina oleh zionis Israel, sampai naik turunnya harga kopi di warung-warung langganan kita, dipengaruhi kebijakan politik. Itulah alasan, wawasan politik perlu terus digali. Semata-mata agar kita tak mudah dibodohi, tak mudah diprovokasi, diseret narasi basi adu domba. Ibarat drama, politik lekat dengan intrik, beragam skenario. Yang selalu saja ada tokoh antagonis, protagonis, konflik. Maka terciptalah drama. Menarik emosi massa. Padahal ujungnya cuma satu: kekuasaan. Itu saja. Kata sang Dirut, politik Indonesia mundur ke belakang. Sudah semakin sulit atau bahkan nyaris tidak ada lagi partai ideologis. Tak sama dengan negara Adi Kuasa. Ia mencontohkan Amerika. Hanya dua partai: Republik dan Demokrat. Masing-masing membawa ideologi yang jelas. Contoh lain di Indonesia, kata sang Dirut, relatif hanya ditemui pada sosok Yusril Ihza Mahendra. Yang pernah ditawari beragam partai, besar-besar, partai penguasa. Tapi ditolaknya karena alasan beda ideologi. Yusril anak ideologis Masyumi. Tentu tidak sejalan dengan PDIP, misalnya. Titik temu ideologinya agak sulit. Karena itu, Yusril tetap membawa partainya. Meski buram, kecil. "Kalah menang tidak masalah. Tapi tetap mempertahankan ideologi." Begitu ujar bung Devi. Pertarungannya jelas: ideologi. Perjuangannya juga jelas. Saya jadi teringat yang kini terjadi di Turki. Erdogan dan rivalnya bukan saja bertarung suara dalam Pilpres. Tapi soal pertarungan ideologi. Erdogan membawa ideologi Islam. Rivalnya, Kemal Kilicdaroglu, membawa ideologi sekuler. Keduanya harus bertemu pada putaran kedua, Pilpres Turki, yang dihelat besok, 28 Mei 2023. Sejak Maret 1924, masa runtuhnya Turki Ottoman, negeri ini menjadi sekuler. Adzan dilarang, nilai Islam dibuang, yang diinisiasi Kemal Attaturk. Sejak itu, kehidupan berbangsa dan bernegara di Turki terjerumus dalam kubang sekulerisme. Hingga mulai berubah saat Erdogan berkuasa. Nilai-nilai Islami mulai terlihat kembali. Meski ada yang menilai kebablasan, sebab cenderung ke kanan. Dan kini, Kilicdaroglu datang. Menantang Erdogan. Kilicdaroglu ingin mengembalikan sekulerisme seperti di era Kemal. Saat hari tenang sebelum pencoblosan, Erdogan datang ke masjid. Kilicdaroglu ziarah ke makam Kemal At Taturk. Seakan mereka ingin memperjelas ideologinya. Di Indonesia, partai ideologis nyaris tak ada. Atau paling tidak hanya PBB, yang dikomandoi anak ideologis Masyumi, Yusril Ihza. PKS yang kerap diidentikan dengan kelompok Islam kanan, dilekatkan dengan Ikhwanul Muslimin, tapi sudah bergeser jadi terbuka. Mengganti logo, menerima kader non Muslim. Tujuannya jelas: membidik pasar. Kalau mempertahankan ideologi Islam, paling banter suaranya hanya di angka 8 persen. Padahal partai ini saat masih bernama Partai Keadilan, pendiriannya dibantu banyak tokoh Ikhwanul Muslimin Mesir dan Timur Tengah. Hal itu pernah diakui salah satu pendirinya, sebagaimana dilansir Tempo 10 Februari 2013. Kini, bukan saja terbuka. Sejak tahun 2004 bahkan kian bergeser pada nilai-nilai nasionalisme-sekuler. Hal ini terangkum dalam riset yang ditulis Galang Geraldy, dalam Jurnal Ilmu Politik Uinsgd, Vol.1 No. 2 yang dirilis tahun 2019. Begitupun PDIP, misalnya. Yang memiliki landasan historisitas politik yang kuat dengan nasionalisme-marhaen memang di dalam naskah AD-ART nya sangat eksplisit mengelaborasi ide-ide Soekarno tersebut. Namun seringkali secara riil, kebijakan politik PDIP, terutama di eksekutif nasional maupun lokal masih ada paradoks. Bahkan, kini cenderung mengadopsi nilai-nilai sekuler. Secara ringkas, saat ini terutama paska Reformasi, kita merasakan krisis ideologi dalam dinamika partai politik. Krisis ideologi ini menjadi hal yang sangat anomali. Padahal, demokrasi mensyaratkan adanya kebebasan dialektika ide-ide politik dan ruang publik yang simetris. Mau kiri atau kanan, yang penting jelas. Kalah menang tak masalah. Tapi yang terjadi saat ini pertarungan partai politik secara elektoral maupun di dalam sistem politik yang kompleks, cenderung hanya mengedepankan hal-hal yang sifatnya simbolik dan artifisial. Kritik antar elit, perpindahan kader antar partai dan mati lahirnya partai politik bukan semata-semata pertarungan politik yang ideologis-filosofis. Politik terdegradasi menjadi komodifkasi antar elit maupun elit dengan masyarakat. Begitu simpulan Galang. Jika melihat kondisi kekinian, ada benarnya. Ideologi partai seolah justru dijauhi. Salah satu buktinya, pembusukan soal politik identitas. Kalau partai tak punya identitas, lantas jenis kelaminnya apa? Tak ada yang lain, selain pasar suara dan kursi kekuasaan. Mereka bertempur dengan hanya dengan beragam drama. Bukan adu gagasan. Naifnya dalam drama pura-pura bermusuhan, menyeret masyarakat untuk ikut di dalamnya. Rakyat teradu domba, mereka mendulang suara. Saat berkuasa, lupa. Kalau permusuhan mereka hanya drama, tapi rakyat malah beneran. Simak saja 2014 dan 2019. Berapa banyak yang putus pertemanan, tali persaudaraan, bahkan sampai ada rumah tangga berantakan hanya karena capresnya beda pilihan. Sedangkan yang mereka bela, malah asyik berbagi kekuasaan haha. Tertawa sedih. Masgyul rasanya. Persatuan dirusak buzzer-buzzer bayaran. Sejak Reformasi, masyarakat ibarat dijejali isi yang diletakan dalam karung. Seolah disuruh memilih partai karung. Serba tidak jelas. Hanya wajahnya saja. Bungkusnya. Isinya terserah bandarnya. Ideologi tidak jelas, tidak berani menunjukan identitas, yang penting semua lari ke tengah. Membidik pasar besar. Hanya untuk mendulang suara. Kalau ideologinya saja tak mau ditampakan, bagaimana masyarakat mau melihat gagasannya? Tidak heran, pertarungan narasi bacapres di sosmed hanya seputar caci maki, fitnahan atau klaim keberhasilan. Rakyat pun dipaksa terseret dalam arus perpecahan. Menyedihkan, juga mengerikan. Edukasi politik saat ini diambil alih buzzer-buzzer yang saling serang. Bukan adu gagasan. Janji-janji pun tak ditepati. Seakan yang penting saat pencoblosan sudah dibayar amplop. Soal janji, cukup yang diamplop. Saat ini ideologi politisi seolah cuma dua. Pertama, bagaimana mendapatkan kursi. Kedua, kalau sudah dapat kursi bagaimana mempertahankannya. Kalau gagal, kembali ke ideologi pertama. Itu saja. Ya kan? Idelogi nasionalisme, religius, moderat hanya untuk jualan. Kadang ke kiri, kadang ke kanan, kadang ke tengah. Menyesuailan selera pasar. Mencari celah. Kaderisasi partai pun tidak jalan. Yang penting punya cuan banyak, jaringan kuat, atau dekat elit parpol maka mereka lah yang masuk dalam caleg prioritas. Bahkan kader baru yang loncat perahu atau partai, bisa dapat posisi empuk. Kader lama gampang digusur. Sampai kapan, tuan, puan? Shalaallahu alaa Muhammad *Rudi Agung, penikmat Geopolitik, Ghost Writer.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: