Modal Caleg

Modal Caleg

Hari ini, sudah H-1 batas penutupan pendaftaran bakal caleg. Tapi masih ada beberapa parpol yang belum menyerahkan dokumen bakal calon anggota Dewan.

Di Balikpapan, ini hal biasa. Tradisi politik di kota ini cenderung gemar membuat kejutan di detik-detik akhir batas pendaftaran. Mau pendaftaran bacalon di Pilkada atau di Pileg. Kerap bermain di waktu akhir. Pun dengan pendaftaran bacaleg. Sesuai tahapan, pendaftaran 1-14 Mei 2023. Tapi baru mulai ada yang mendaftar, di tanggal 8, yakni PKS. Partai ini sekaligus menjadi partai pertama yang mendaftarkan bacalegnya. Sampai hari ke-12, juga masih sedikit. Di antaranya, NasDem, PDIP, PAN, Hanura. Sisa dua hari batas waktu, masih banyak parpol yang belum mendaftar. Sesuai tradisi, jelang detik akhir, baru ramai. Hari ini dan esok barulah ramai-ramai mendaftar. Dari Golkar sampai Gelora. Unik. Pola yang terus berulang. Yang boleh jadi menunjukan karakter khusus Balikpapan. Terlepas dari batas pendaftaran, kita beralih ke calegnya. Rerata parpol mengajukan bacalegnya dengan wajah-wajah baru. Tak sedikit pula yang mendaftarkan para bacaleg muda. Istilah kekiniannya, bacaleg milienial. Yang tentu, masih minim jam terbang. Tapi entah kalau kapitalnya. Bacaleg milenial ini seakan tren baru yang digaungkan parpol. Kalau dulu, banyak parpol yang mengajukan bacaleg dari kalangan artis, musisi, komedian: kini beralih tren ke bacaleg milenial. Meski saat ini dari kalangan mereka masih ada yang maju. Sebut saja dari Once mantan vokalis Dewa 19 sampai komedian Denny Cagur. Mereka menjadi bacaleg DPR RI yang diajukan PDIP. Artis atau musisi, jelas sudah punya pengikut yang pasti. Tapi ternyata dalam politik, fans tidak menjamin. Begitupun popularitas. Siapa di negara ini yang tak kenal artis dan musisi. Meski demikian, matematika politik punya perhitungannya sendiri. Simak saja saja data KPU, di Pileg 2019, dari 91 caleg kalangan artis, sebanyak 77 caleg gagal meraih kursi ke Senayan. Bayangkan, dari 91 orang-orang populer, yang berhasil menduduki kursi politik hanya 14 orang. Dari sini bisa kita tarik hipotesa, popularitas bukan satu-satunya alat ukur keberhasilan caleg meraih kursi. Masih banyak instrumen lain yang diperlukan. Modal populer ternyata tidak cukup. Masih dibutuhkan kapasitas, gagasan, komunikasi politik, jaringan, massa, kepiawaian kampanye, mesin branding di darat dan udara. Dan yang pasti dan utama, cuan! Namun, dari semua itu bertumpu pada keberuntungan nasib. Nasab saja tidak cukup. Banyak contoh yang mengandalkan ketenaran orangtuanya, tapi ternyata gagal juga. Baik untuk merebut kursi Parlemen di Senayan, Karang Paci atau kursi di Jenderal Sudirman Balikpapan. Modal nasab masih kurang. Tapi sangat butuh modal keberuntungan nasib. Tentu saja, instrumen keberuntungan tidak bisa diprediksi. Apalagi dikalkulasi. Ini bak misteri. Yang bisa dihitung, hanya instrumen lainnya tadi, yang utama selain lucky, ya cuan. Beberapa kali saya ngopi dengan caleg Balikpapan dan Jakarta, yang di Pileg 2019 gagal. Di 2024, mereka tidak mau maju lagi. Alasannya apa? Cuannya tidak cukup. Klasik. Tapi realistis. Tanpa cuan, bunuh diri. Padahal secara akademik, kapasitas, kapabilitas, jaringan, jelas mumpuni. Sayangnya kalah di besaran cuan. Mereka pun mundur perlahan. Diakui atau tidak, inilah sistem yang kita jalani. Seringkali orang-orang yang visioner, ikhlas mengabdi, cerdas, kritis, dipaksa mundur karena ketiadaan cuan. Fakta ini jelas berkelindan dengan kegagalan parpol. Sebab diakui atau tidak, ini membuktikan, lemahnya proses kaderisasi di parpol. Berapa banyak pemain-pemain baru yang tetiba bisa menduduki kursi partai atau didaftarkan sebagai caleg nomor prioritas. Karena cuan. Sedangkan kader-kader lama, yang tua, yang loyal, harus rela membuyarkan mimpinya. Hanya karena kalah cuan. Fakta kan? Hasilnya terbukti, saat menduduki kursi, hanya segelintir dari caleg yang benar-benar kritis. Benar-benar memahami tupoksinya. Tidak sedikit yang enggan memberi statement pada awak media. Alasannya, bukan ketua. Padahal legislator berdiri sendiri. Mereka tak terikat hirarki fraksi. Yang penting memahami tupoksi. Beda sekali dengan suasana dulu, saat ngepos di DPR RI. Mereka justru berebut memberi statement pada media, membela konstituennya. Belakangan, agak berbeda dengan kultur di Balikpapan. Saat warga Balikpapan kecewa terhadap proyek DAS Ampal, menuntut membentuk pansus, tapi tak sedikit yang beringsut. Enggan bicara. Padahal dengan bicara di media, menunjukan kapasitasnya. Keberpihakannya ke warga. Serius membela kepentingan konstituennya. Kalau enggan bicara, bagaimana mau mengabulkan aspirasi konstituennya. Bagaimana nasib suara pemilihnya. Faktanya hanya segelintir yang lantang bicara. Bisa dihitung jari. Padahal itu momentum untuk manggung. Kampanye gratis. Menunjukan keberpihakan pada masyarakat yang kecewa atas tata laksana proyek. Kalau sekadar datang, duduk, pulang, untuk apa jadi wakil rakyat. Alangkah elegannya diserahkan pada caleg-caleg lainnya. Yang kalah cuan, tapi punya modal kapasitas, kritis, cerdas, loyal mengabdi, dan peka kondisi. Karena itu, sebelum memasuki jadwal pendaftaran DCT Oktober mendatang, perlu kiranya parpol-parpol lebih selektif mengajukan bacalegnya. Biarlah bacaleg yang diajukan saat ini untuk DCS saja. Yang artinya masih bisa diutak-atik lagi, diubah. Dan Oktober nanti, sajikan lah pada kami warga Balikpapan, bacaleg yang benar-benar visioner. Serius bekerja mengawasi jalannya pemerintahan, untuk kemajuan Balikpapan. Ajukanlah mereka yang benar-benar punya kapasitas, memahami masalah kota, kebutuhan warga. Berani meluruskan jalannya pemerintahan. Kritis bukan berarti membenci. Bukan pula asal menyalahkan pemerintahan. Tapi meluruskan untuk kebaikan. Ajukanlah caleg yang nyata kapasitasnya, kapabilitasnya, moralnya, memahami masalah kota, kebutuhan warga. Yang berani lantang bersuara untuk konstituennya. Tapi bukan yang sekadar bunyi, lalu senyap, usai bertransaksi di bawah meja. Bukan pula yang cuma bermodal cuan. Ah, itu hanya kelakar di warung lesehan. Tanpa cuan, mana bisa dapat kursi. Mimpi. Jadi, untuk kita para pemilih: kalau diberi, ambil saja cuan mereka. Ambil sebanyak-banyaknya. Tapi bukan untuk mencoblos mereka. Itu bisa terindikasi suap namanya. Maka ambil sebagai jembatan, bukan untuk tukar suara. Melainkan sebagai jembatan cuan yang perlu disisihkan, dibagikan ke anak yatim, fakir miskin, atau tetangga yang membutuhkan. Nah untuk pilih calegnya, selalu pelajari track record mereka yang punya rekam jejak membela warga. Yang kritis dan sering memberi solusi lewat media. Atau yang muda tapi tokcer pemikirannya. Setuju kan? Shalaallahu alaa Muhammad. *Rudi Agung, penikmat Geopolitik, Ghost Writer.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: