RUU Konservasi Dinilai Belum Perkuat Sektor Laut
Nomorsatukaltim.com – Yayasan Konservasi Laut menegaskan Rancangan Undang-undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dinilai masih belum memperkuat sektor laut dan pesisir. Klausul yang ada masih berdimensi darat. Untuk itu, YKL menyerukan agar RUU ini dapat memperkuat sektor kelautan perikanan, yang dinilai selama ini kurang mendapat atensi. Hal itu mereka sampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi IV DPR RI, belum lama ini. “Kami memberi masukan agar narasi terkait laut, pesisir dan pulau-pulau kecil perlu diperkuat,” ungkap Nirwan Dessibali, Direktur YKL Indonesia, dikutip pada Senin (26/4/2023). Ia mencontohkan di Pasal 5 Ayat 1 di RUU, menyebut konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan dalam dan di luar kawasan konservasi. Termasuk sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang berada di ruang di dalam bumi dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah. “Rekomendasi kami bahwa frasa ‘di ruang di dalam bumi dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah’ diubah menjadi ‘di ruang darat, laut, udara dari bumi sebagai satu kesatuan wilayah secara terpadu’. Penekanannya matra atau dimensi konservasi, maka selain darat juga terdapat laut, dan udara secara terpadu,” jelasnya. Sorotan lain di Pasal 43 ayat 2, ‘Penetapan dan pengukuhan Ekosistem penting di luar Kawasan Konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan setelah mendapat persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan dengan mempertimbangkan rekomendasi dari lembaga pemerintah di bidang penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau perguruan tinggi. Sorotan YKL di pasal RUU Konservasi ini karena hanya menekankan pada ‘sektor kehutanan’, tidak memasukkan sektor kelautan dan perikanan. “Kalimat yang hanya menunjukkan urusan pemerintahan di bidang kehutanan ini harus diluruskan, karena konservasi juga terkait kelautan dan perikanan. Di Kementerian Kelautan dan Perikanan sendiri diatur terkait Kawasan Konservasi Perairan,” tegasnya. Pasal 4 RUU juga jadi sorotan YKL Indonesia yang menyatakan bahwa ‘KSDAHE menjadi tanggung jawab dan kewajiban pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta masyarakat.’ “Kami menambahkan bahwa tanggung jawab konservasi selain oleh pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat juga menambahkan frasa ‘masyarakat bersama-sama pihak terkait lainnya’.” Menurutnya tanggung jawab dan program kegiatan konservasi juga berhak dilakukan para pemangku lain. Ia mencontohkan pelaku usaha, pengelola usaha, dunia industri swasta, lembaga swadaya masyarakat/NGO, kelompok pemerhati lingkungan, dan akademisi perguruan tinggi. “Banyak contoh LSM, KSM, dan perguruan tinggi yang melakukan aksi konservasi baik ekosistem, jenis/spesies, maupun genetik. Mustahil jika mengandalkan pemerintah sebagai aktor pelaku konservasi, tanpa peran serta pihak lain,” paparnya. Terkait pemulihan kawasan konservasi dan/atau ekosistem penting di luar kawasan konservasi terkait bencana yang diakibatkan peristiwa alami yang di Pasal 10 Ayat 5 dikatakan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Menurut Nirwan, usulan mereka terkait pasal ini bahwa ini upaya pemulihan bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah, tetapi ‘bersama-sama pihak terkait lainnya’. “Penekanannya adalah upaya pemulihan tidak bisa hanya semata-mata mengandalkan pemerintah pusat maupun daerah semata, tapi dengan kolaborasi dengan berbagai pihak. Dengan kolaborasi, kemitraan dan kerja sama para pihak konservasi akan dapat mencapai tujuan yang diharapkan,” saran Nirwan. (*/ Mongabay)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: