Mahkamah Konstitusi Tolak Perpanjangan Masa Jabatan Presiden
Nomorsatukaltim.com - Mahkamah Konstitusi, menolak perpanjangan masa jabatan presiden. Putusan itu disampaikan dalam sidang perkara Nomor 4/PUU-XXI/2023.
"Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara pengujian UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum," ujar Ketua Majelis Hakim Anwar Usman dalam pembacaan persidangan, dikutip pada Kamis (2/3/2023).
"Mengadili menyatakan menolak permohonan pemohon tidak dapat diterima," tegas Anwar Usman saat membacakan amar putusannya.
Tapi, ada dua hakim yang punya pandangan berbeda ihwal putusan ersebut.
"Pemohon merasa telah dirugikan hak konstitusionalnya dengan telah diberlakukannya norma Pasal a quo tentang adanya pembatasan pribadi jabatan Presiden hanya boleh mendaftar dan atau terpilih untuk 2 (dua) kali masa jabatan," tulis Humas MK, Selasa (28/2/2023).
Perpanjangan masa jabatan diajukan oleh pemohon, Herifuddin Daulay.
Pemohon bernama Herifuddin Daulay mengajukan uji materiil Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Daulay beranggapan orang yang kompeten untuk jabatan presiden hanya sedikit, sehingga pembatasan dapat mengakibatkan pemimpin yang terpilih orang yang tidak berkompeten.
Selanjutnya Pemohon menilai, terdapat kesalahan dalam teks Pasal 7 UUD 1945 tentang jabatan Presiden, baik kesalahan karena penulisan teks atau kesalahan dalam memahami teks.
Kesalahan secara implisit mengandung makna “bila” yaitu terkandung makna “Kondisional bersyarat”. "Kesalahan tersebut adalah karena teks tersebut mengambang dalam pengertiannya," ucap pemohon.
Dengan makna kondisional bersyarat tersebut maka diperlukan peraturan tambahan untuk menguatkan maksud dari norma dimaksud, sehingga secara keseluruhan makna utuh dari Pasal 7 UUD 1945 adalah hanya diutamakan untuk ditetapkan dua kali masa periode.
"Dan jika diinginkan, melalui pembiaran atau keputusan peradilan konstitusi yaitu oleh Mahkamah Konstitusi," dalih Pemohon.
Adapun peraturan tambahan berupa Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i pada UU Pemilu menurut Pemohon menjadi pokok dasar dari adanya pembatasan pribadi jabatan calon Presiden dan atau Wakil Presiden, untuk menjabat lebih dari dua kali masa jabatan baik secara berturut-turut maupun berselang.
Pemohon berpandangan, pembatasan jabatan presiden justru lebih besar mudharat ketimbang manfaatnya.
Sehingga, dalih Daulay, norma yang mengatur pembatasan jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang hanya dua kali masa jabatan harus dihapus.
Dalam petitumnya, pemohon meminta agar MK mengabulkan permohonan untuk menyatakan Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (*/ MK)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: