Kampung di Kaki Karst Ini Punya Perusahaan Listrik Sendiri

Kampung di Kaki Karst Ini Punya Perusahaan Listrik Sendiri

Berau, Nomorsatukaltim.com – Sebuah kampung di pedalaman Kalimantan Timur, tepatnya di kaki pegunungan karst  Kabupaten Berau, berhasil mengelola pembangkit listrik secara mandiri. Kampung berpenduduk 300 jiwa itu, bahkan tak membatasi penggunaan listrik warganya. Itulah Kampung Merabu. Nama Kampung Merabu di Kecamatan Kelay Kabupaten Berau lebih dikenal sebagai kawasan wisata yang menyajikan suguhan alam. Daerah yang berjarak 74 kilometer dari pusat ibu kota kabupaten, Tanjung Redeb itu, punya segudang tujuan wisata. Mulai dari gua prasejarah,--goa Beloyot dan goa-goa lainnya, puncak Keteppu untuk menyaksikan gugusan karst. Juga ada Danau Nyadeng yang menyimpan eksotisme kolam hijau di tengah belantara. Tak kalah menarik adalah Puri Kerima, ‘perpustakaan’ Kampung Merabu yang menyimpan koleksi fosil, kayu dan hasil penelitian dari organisasi The Nature Conservation (TNC). Bagaimana bisa kampung yang jauh dari akses infrastruktur, bisa mengelola pembangkit listrik sendiri? Cerita ini bermula di tahun 2012 ketika seorang pemuda 22 tahun terpilih menjadi Kepala Kampung Merabu. Pemuda itu, Franly Oley, seorang pendatang dari Sulawesi Utara yang belum lama menjadi warga Merabu. Kedatangan Franly yang awalnya sebagai tukang bangunan, berhasil membangun Kampung Merabu hingga dikenal luas para naturalis berbagai negara. “Waktu terpilih menjadi kepala kampung, Merabu masih remote area, terpelosok. Akses transportasi darat tak ada, listrik apalagi, air bersih juga tak punya. Sementara kampung itu punya potensi alam yang besar,” kata Franly di pertengahan Desember 2022. Franly mengaku terpilih sebagai kepala kampung karena kebetulan. Tidak ada yang berminat. “Sejak lama penjaringan kepala kampung tak ada yang daftar. Sampai Bu Esther istri mantan kepala kampung mendaftar. Beberapa teman menyorong nama saya hanya supaya ada pemilihan kepala kampung. Nggak tahunya (saya) menang,” ujarnya. Franly mengaku beruntung lantaran saat itu TNC sedang melakukan penelitian. Hingga akhirnya membuka wawasan Franly untuk mengembangkan sekaligus kawasan hutan sekitar Merabu. “Saya masih ingat persis waktu itu, kami jalan-jalan, lepas dari wilayah kampung Merabu. Kami keluar mobil dan melihat ke arah kampung Merabu yang ada dataran sedikit, bukit-bukit, sisanya wilayah karst. Dia tanya saya, coba kamu lihat kira-kira mau jadikan apa kampung kau itu. Dari situ pikiran saya terbuka,” kata Franly. Akhirnya Franly memutuskan untuk mengusulkan alih status Hutan Lindung menjadi Hutan Desa. Untuk memuluskan rencana itu, ia dibantu TNC menyusun RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) yang diusulkan kepada Pemkab Berau. Kampung Merabu sendiri memiliki luas wilayah 22 ribu hektare, 10 ribu di antaranya masih berstatus hutan lindung. Pada saat itu mulai dibahas skema perhutanan sosial oleh pemerintah. Ada beberapa skema perhutanan sosial, salah satunya yaitu hutan desa. “Jadi program pertama saya mengusulkan alih status hutan lindung ke hutan desa seluas 10 ribu hektare,” kata Franly. Singkat cerita, usulan itu dikabulkan pemerintah setelah melalui proses selama 2 tahun. Pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 28/Menhut-II/2014 tanggal 9 Januari 2014, tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Desa Merabu seluas 8.245 hektare. Kampung Merabu di kaki pegunungan karst menjadi kampung pertama yang memiliki hutan desa. Sebenarnya, kata Franly tidak ada yang berubah atas perlakuan status itu. “Hutan desa itu sebenarnya kami rencanakan untuk pengembangan ekonomi melalui pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu seperti madu dan rotan. Kami punya kewajiban patroli hutan dan mengamankan kawasan,” imbuhnya. Dengan alih status itu, warga tetap dilarang menebang pohon, termasuk dilarang menanam pohon sembarangan. Keberhasilan itu dianggap sebagai prestasi, lantaran kampung sekitar Merabu, justru mengusulkan peralihan menjadi HPL (Hak Pengelolaan Lahan) untuk ditanami kelapa sawit. “Di kabupaten Berau, kampung dianggap kaya karena batu bara atau sawit. Karena itu kami dianggap spesial. Sehingga tidak sulit bagi kami untuk mendapatkan bantuan bidang lingkungan. Dari bantuan itu kami kembangkan ekonomi, kami kembangkan wisata,” katanya. Salah satu bantuan datang pada 2016 Millenium Challenge Account Indonesia (MCAI), lembaga donor dari Amerika. Mereka membangunkan sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan kapasitas 300 kWp kilo watt peak). Padahal kebutuhan warga cuma 25 kWp. “Dibangunkan 300 kWp supaya bisa dipakai 20 tahun lebih,” ujar Franly yang menjabat Direktur Operasional ini. Proyek senilai Rp 300 miliar itu berwujud PLTS di atas lahan 1 hektar dengan 115 panel surya. Daya puncak yang dihasilkan mencapai 311 kWp. “Kami dikasih jaringan sampai dalam rumah, meteran token. Sehingga makainya kaya di kota juga. Kami tak pakai limiter sehingga bebas berapapun pakainya. Sistem prabayar,” jelasnya. PLTS itu dihibahkan ke kampung, sehingga memiliki izin wilayah usaha di kementerian. Kampung membentuk Badan Usaha Milik Kampung (BUMK) bernama PT Sinang Puri Energi yang menggenggam 51 persen saham PLTS. Sisanya milik  PT Akuo Eenergy yang merupakan kepanjangan tangah MCAI sebagai garansi operasional 20 tahun. “Hasil usaha keseluruhan dikelola Sinang Puri Energy. Semua hasil usaha untuk biaya produksi pemeliharaan, dan operasional,” kata peraih penghargaan Satu Indonesia Awards dari Astra ini. PLTS itu menggunakan teknologi mutakhir, sehingga  jarang rusak. Kalau ada masalah teknis, mereka selalu didampingi ahli dan kasih solusi. Kampung Merabu selain tercatat sebagai kampung pertama pemilik Hutan Desa, juga menjadi satu-satunya desa yang mengelola energi secara mandiri. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: