UMSK Naik, Perusahaan Tambang Menjerit
Disnakertrans rapat dengan Apindo terkait UMK dan UMSK, Senin (11/11). TANJUNG REDEB, DISWAY – Banyaknya perusahaan pertambangan mengeluhkan kenaikan UMSK, menjadi pembahasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) bersama Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Berau. Kegiatan itu dilaksanakan di salah satu ruang pertemuan, Senin (11/11). Kabid Hubungan Industrial Disnakertrans, Juli Mahendra, bahwa penetapan Upah Minimum Sektoral Kabupaten (UMSK) seperti pertambangan batu bara, maupun perkebunan kelapa sawit di Berau ditetapkan berdasarkan kesepakatan internal antara pihak perusahaan melalui Apindo Berau dengan pekerja serikat buruh yang ada di Kabupaten Berau. “Itu murni kesepakatan mereka. Jadi dalam menentukan UMSK tidak ada intervensi dari pemerintah. Dan pastinya, jumlah UMSK juga lebih tinggi dari UMK,” jelasnya. Ketika ditanya banyak perusahaan yang merasa keberatan dengan kenaikan UMSK tahun 2020 itu, ia mengatakan, hal itu tidak bisa diurungkan lagi. Sebab hal itu, berdasarkan tahapan perundingan antara kedua belah pihak. Kalaupun kata dia, ada perusahaan yang tidak sanggup membayar pekerja sesuai standar UMSK yang sudah ditetapkan Pemprov Kaltim, nanti pihak perusahaan masih dapat melakukan upaya lain. “Pihak perusahaan itu bisa melakukan penangguhan pembayaran upah, dan bisa disampaikan atau dimohonkan pada bidang pengawasan Disnakertrans Provinsi. Tapi kalau berbicara soal keharusan, kita tetap wajib melaksanakan acuan yang ditetapkan gubernur,” terangnya. Sementara itu, Ketua Apindo Berau, Alhamid mengatakan, dengan kenaikan UMSK dinilainya memberatkan banyak pengusaha batu bara yang ada di Kabupaten Berau. Apalagi, di tengah kondisi harga batu bara yang masih terpuruk sepanjang tahun 2019. Hanya saja, pihaknya tidak bisa berbuat banyak selain mengikuti ketentuan tersebut. “Jika tidak sepakat, pasti akan ada pemogokan kerja. Ini juga membuat kondisi perusahaan akan sangat dirugikan,” terangnya. Ini lah kata dia, yang menjadi keluhan dari banyak pengusaha pertambangan. Ia khawatir, apabila hal ini kemudian dipaksakan malah akan menjadi beban perusahaan di belakang hari. “Apakah mungkin perusahaan akan mampu bertahan, sementara harga batu bara dunia sekarang sedang bermasalah untuk memenuhi UMSK tahun 2020 mendatang. Jika harga batu bara normal, mungkin tidak masalah. Ini berbanding terbalik. Harga turun, UMSK naik,” bebernya. Pihaknya khawatir, dengan kenaikan UMSK itu diterapkan di tahun mendatang, akan berdampak terhadap pengurangan tenaga kerja, atau bahkan pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi pekerja. Sebab kata dia, tidak mungkin perusahaan terus mempekerjakan ribuan karyawan di tengah persoalan tersebut. Apalagi saat ini, China selaku importir batu bara terbesar di dunia, terus menekan impor batu bara akibat perang dagang dengan Amerika. Kondisi itu, juga berdampak pada menurunnya permintaan batu bara dari Indonesia, khususnya Kabupaten Berau. Jika terjadi demikian, mau tidak mau, perusahaan atau kontraktor juga harus menyesuaikan dengan Sumber Daya Manusia (SDM), serta unit operasional dengan kebutuhan produksi sesuai permintaan pasar, sambil menunggu harga kembali normal. “Tidak mungkin memaksakan unit banyak beroperasi, karena itu memakan biaya operasional yang pasti besar. Tidak imbang dengan target yang sedikit. Mau tidak mau, pasti terjadi pengurangan tenaga kerja besar-besaran,” jelasnya. Hal itu dijelaskannya, sudah banyak terbukti di beberapa perusahaan batu bara, bahkan ada yang mengalami kerugian akibat menurunnya harga batu bara. Tidak mungkin perusahaan mau menanggung biaya kelebihan tenaga kerja. Sebab menurutnya, jika perusahaan harus dituntut membayar upah tinggi, sementara bisnis sedang terpuruk, perusahaan harus mengeluarkan biaya operasional yang tinggi. Ditambah pemasukan perusahaan minim. “Perusahaan benar-benar dalam posisi tidak menguntungkan. Tentu tidak ada perusahaan yang mau rugi, semua mau untung. Harapannya ke depan harga batu bara kembali normal,” pungkasnya. (*ZZA/APP)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: