Dampak Kelangkaan Solar, Pelaku Usaha Logistik Alami Kerugian hingga Inflasi

Dampak Kelangkaan Solar, Pelaku Usaha Logistik Alami Kerugian hingga Inflasi

Balikpapan, nomorsatukaltim.com – Kelangkaan solar menimbulkan banyak dampak, mulai dari kerugian yang dialami para pelaku jasa pengurusan transportasi atau logistik provider, hingga mengancam inflasi yang disebabkan oleh terhambatnya rantai pasokan barang menuju pasar. Salahsatu Perwakilan Dewan Pengurus Wilayah Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Kaltim Rifka Hidayat menyebut kelangkaan BBM jenis solar bersubsidi, yang memang salah satu peruntukannya untuk mensuplai BBM bagi kendaraan-kendaraan yang bertugas atau mempunyai tupoksi untuk melaksanakan proses receiving - delivery atau distribusi sebagai proses dari rantai pasok, tentunya sangat menganggu aktivitas yang dilakukan badan usaha berizin Jasa Pengurusan Transportasi (JPT). “Izin jasa pengurusan transportasi ini ada sekitar 22 macam jenis aktivitas usaha. Salah satunya adalah jasa receiving dan delivery dari satu poin ke poin lainnya yang dibundling proses dokumentasi yang dilakukan oleh pihak provider,” ujar Rifka, kepada nomorsatukaltim.com – Disway National Network (DNN), Kamis 31 Maret 2022. Menurutnya kelangkaan solar tidak hanya memengaruhi aktivitas di darat saja, namun jika terus berlarut-larut maka proses pengeluaran atau pemasukan barang dari dan ke pelabuhan juga akan terganggu. Secara umum, kata dia, kapasitas kontainer di Pelabuhan Peti Kemas PT Kaltim Kariangau Terminal (KKT) terbatas, sehingga proses logistik di sana juga tidak akan berjalan secara lancar, dan dikhawatirkan tidak bisa menampung lebih banyak, kalau akumulasi kontainer di dalam pelabuhan semakin banyak. “Sehingga nanti juga akan memengaruhi kegiatan pelayan yang akan masuk ke Balikpapan dan Samarinda,” kata dosen Politeknik Ilmu Pelayaran Balikpapan itu. Keterlambatan pergerakan armada karena kelangkaan solar juga tentunya berpengaruh terhadap kenaikan biaya. Di mana hasil diskusi bersama rekan-rekannya di DPW ALFI Kaltim sudah memprediksi bakal ada penambahan biaya yang harus ditanggung penyedia jasa angkutan trasportasi sebagai beban modal operasional. Akhirnya, kata dia, hal itu menjadi pilihan bagi jasa pengurusan transportasi untuk memenuhi komitmennya. “Artinya kalau dia antre solar, risikonya barang akan terlambat sampai dua hari atau tiga hari. Sementara dia dituntut dengan komitmen kerja dengan para pengguna jasa atau pelanggan, terutama untuk bahan-bahan pokok dan consumer goods, itukan harus ready terus di pasaran,” terangnya. Pada akhirnya para pelaku usaha pasti akan mengambil pilihan untuk menggunakan BBM solar yang tidak bersubsidi atau jenis Dexlite. “Sementara harganya berbeda, sekitar Rp 13 ribu per liter, jadi selisih atau disparitas harga itu yang akan dihitung. Nanti akan dikonversikan pada User Charge, pada penggunaan jasa transpotrasi daratnya,” katanya. Menurut pria lulusan Universitas Brawijaya (UB) Malang itu, masalah kelangkaan solar sudah menjadi persoalan multidimensi. Namun jika dilihat secara umum kelangkaan solar masih terkait dengan supply dan demand. Sementara wilayah seperti Balikpapan, Samarinda, Kutai Kertanegara dan Kaltim secara keseluruhan, katanya, sedang berproses mempersiapkan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Di mana di dalamnya membutuhkan mobilisasi, baik barang dan manusia. Tentunya itu berpengaruh pada level konsumsi bahan bakar. “Tapi itu sebenarnya sudah harus bisa diantisipasi melalui beberapa langkah dari pemerintah kota untuk berkenan menjumpai atau berkoordinasi dengan pihak terkait untuk memastikan bahwa suplai tetap terjaga. Dalam hal ini Pertamina maupun BPH Migas.” Menurutnya langkah yang diambil Wali Kota Balikpapan Rahmad Mas’ud untuk mempercepat operasional SPBU di Kilometer 13, Balikpapan Utara, merupakan kebijakan yang baik. Ia berharap hal itu dapat mengcover kebutuhan solar di Balikpapan. Dengan bertambahnya SPBU, maka kuota solar juga akan bertambah. “Sebenarnya penambahan kuota itu tidak untuk mencari tambahan untung, namun ini pass on saja dari selisih pembayaran solar bersubsidi menuju Dexlite,” terangnya. Selain itu penambahan kuota BBM jenis solar bersubsidi, juga mempunyai risiko untuk memancing munculnya para spekulan atau oknum yang ingin memanfaatkan disparitas antara solar bersubsidi dan solar industri. “Sementara solar subsidi ditambah terus, maka akan merangsang orang untuk melakukan penyimpangan dan penyelewengan,” katanya. Sehingga Ia berharap agar pemangku kepentingan memperketat pengawasan di SPBU untuk meminimalisir munculnya masalah baru, yakni penimbunan solar. Ada beberapa macam cara untuk pengawasan, katanya. Pertama dengan menerapkan kartu yang diperjelas dengan nomor seri untuk memudahkan monitoring. “Jadi setiap truk itu bisa dilihat, sudah berapa kali antre solar dalam sehari. Kemudian ada kuotanya, jadi secara umum bisa dikontrol melalui itu,” katanya. Selain itu Pemkot Balikpapan juga bisa menghadirkan petugas dari instansi terkait seperti Satpol PP atau Dinas Perhubungan (Dishub) yang dapat mengawasi setiap jenis kendaraan, serta memperhatikan nomor polisi kendaraan yang mengisi solar di SPBU. Pemerintah juga bisa melibatkan aparat TNI/Polri, sehingga proses pengisian BBM dapat dipastikan berjalan lancar. “Dan melihat apakah ada modifikasi pada bagian tangka BBM, nah itu contoh-contoh di tingkat pengawasan yang dapat meminimalkan penyelewengan solar bersubsidi yang juga berdampak pada pemakaian solar yang tidak pada peruntukannya,” katanya. Menurutnya dampak dari kelangkaan solar sudah sedemikian besarnya, sehingga beberapa elemen masyarakat seperti mahasiswa dan para pelaku usaha dan pekerja di bidang logistik menggelar beberapa kali unjuk rasa, seperti aksi mogok kerja para sopir truk di dekat Pelabuhan Peti Kemas PT Kaltim Kariangau Terminal (KKT) dan dilanjutkan dengan aksi di depan Kantor Pemkot Balikpapan. Hal itu menunjukkan bahwa sudah ada akumulasi kerugian di bidang logistik dan membutuhkan solusi yang cepat. “Artinya kendaraan itu kan ada hitungan investasi perbulannya dipencatatan para perusahaan. Apa bila dalam sepekan kendaraanya antre solar 2 sampai 3 hari, artinya sepertiga atau hampir separuh utilisasinya menjadi tergerus atau terpotong. Sehingga itu berdampak pada kerugian. Baik dari aspek utilisasi dan komitmen pada pengguna jasa,” urainya. Selain itu dampaknya juga terasa bagi penyediaan barang di suatu wilayah. Di mana seharusnya barang sudah disalurkan ke pasar, toko atau outlet, menjadi terhambat. Lama-lama, hal ini akan berpengaruh terhadap roda perekonomian masyarakat. Yakni daya beli masyarakat ikut terhambat lantaran tidak ada barang dipasaran. “Akhirnya berdampak pada level konsumsi dari masyarakat. Padahal bukan karena masalah daya beli, tapi karena barangnya tidak tepat waktu datangnya.” Bahkan bila dampak kelangkaan solar berlangsung lebih lama, maka akan berpengaruh terhadap inflasi. “Karena pelaku usaha jasa transportasi yang mengangkut kebutuhan pokok dan consumer goods harus memilih. Apa solusi dari pemerintah seperti penggunaan kartu kuota, namun untuk jangka pendek dia juga pasti menggunakan solar Dexlite yang lebih mahal. Berarti belanja modalnya mengalami peningkatan dan harus dicover dengan user charge atau tambahan tarif yang dibebankan kepada pengguna jasa. Kalau tidak, para pelaku usaha jasa transportasi dipastikan rugi. Sudah (rugi) menunggu, (belanja) solar lebih mahal,” imbuhnya. (ryn/zul)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: