Transisi Energi dan Pentingnya Kesejahteraan Rakyat
Balikpapan, nomorsatukaltim.com - Sektor energi tengah menuju transisi. Dari energi fosil menuju energi terbarukan. Wacana yang sebetulnya sudah lama dikemukakan. Setelah sekian lama tiga sumber daya berbahan karbon-batu bara, minyak dan gas bumi, menjadi sumber daya energi dunia dan menggerakkan kegiatan ekonomi, transportasi dan industrialisasi di Eropa dan Amerika Serikat sejak revolusi industri. Bahkan Perang Dunia serta kebangkitan dan pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang di Asia, Afrika dan Amerika Latin pun terjadi karena adanya perdagangan, pendanaan dan pemanfaatan atas tiga sumber energi fosil tersebut. Paksaan transisi energi didasari fenomena pemanasan global. Pemanasan global dimaknai sebagai momok dan petaka bagi masyarakat dan lingkungannya. Kegiatan manusia di bidang industri dan transportasi modern yang digerakkan oleh pembakaran energi fosil menghasilkan emisi gas-gas karbon buangan industri dan kendaraan bermotor yang menumpuk di udara selama ratusan tahun. Sehingga menghalangi proses radiasi sinar matahari yang dipantulkan bumi. Akumulasi karbon pencemar dari fosil di atmosfer berupa gas rumah kaca (GRK), seperti karbon dioksida (CO2) dan gas methana (CH4) itulah yang menyebabkan terjadinya pemanasan global yang berakibat pada perubahan iklim. Perubahan yang membawa dampak negatif bagi lingkungan manusia, flora dan fauna. Di antaranya, timbulnya bencana kekeringan, kebakaran hutan, banjir, tanah longsor, merosotnya produksi pangan, paceklik, hama penyakit, kelaparan dan berbagai dampak sosial ekonomi dan lingkungan lainnya. Negara-negara di dunia kemudian merespons isu fenomena global ini. Dengan berbagai kebijakan bersama. Yang kemudian menjadi komitmen untuk diwujudkan bersama pula. Satu di antaranya, Paris Agremeent. Atau dikenal Perjanjian Paris. Sebuah persetujuan dalam Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa. Yang mengawal reduksi emisi karbon dioksida efektif yang mulai berlaku pada 2020. Kesepakatan global yang terbilang monumental untuk menghadapi perubahan iklim ini, dilaksanakan di Paris, Prancis, 2015 silam. Komitmen negara-negara dinyatakan melalui Nationally Determined Contribution (NDC) untuk periode 2020-2030. Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam hal ini mengawal reduksi atau pengangguran emisi karbon dioksida. Dalam hal ini, tujuan Perjanjian Paris, menjaga kenaikan temperatur global abad ini di bawah 2 derajat celcius. Dan mendorong upaya untuk membatasi kenaikan suhu lebih jauh ke 1,5 derajat celsius di atas tingkat pra-industri. Perjanjian Paris yang ditandatangani 196 negara peserta Konferensi PBB ke-21 tentang Perubahan Iklim, salah satunya, Presiden Joko Widodo, menyimpulkan bahwa sumber penyebab utama pemanasan global adalah pembakaran energi fosil. Untuk itu, sekitar dua per tiga cadangan bahan bakar fosil (migas dan batu bara) yang ada di dalam perut bumi saat ini tidak boleh lagi digali, dikuras dan dibakar. Sumber energi fosil itu harus tetap berada di dalam bumi. Kesepakatan ini didukung oleh keputusan Bank Dunia akhir 2017 lalu. Yang menghentikan dukungan finansialnya terhadap industri ekstraksi migas. Sebelum itu, sejak 2010, Bank Dunia sudah menghentikan pembiayaan buat pembangkit listrik berbahan batu bara. Upaya mengakhiri eksplorasi dan penggunaan energi fosil untuk pelaksanaan Perjanjian Paris secara efektif mulai 2019. Sebagai alternatif dan solusi pemenuhan energi tanpa yang bersumber dari fosil, dunia melirik energi terbarukan. Dalam dalam konteks global, transisi energi merupakan sebuah keniscayaan. Kondisi di Indonesia Ya. Ada benarnya. Dalam konteks global, transisi energi merupakan sebuah keniscayaan. Lalu, bagaimana di Indonesia? Dorongan global terhadap pengurangan emisi gas buang memaksa sektor energi harus berada dalam transisi. Dari sumber energi fosil, menuju energi terbarukan. Indonesia, menjadi bagian dan berada dalam arus besar perubahan ini. Meski sebetulnya, tak mudah bagi Indonesia sepenuhnya meninggalkan energi fosil. Yang telah lama menggerakkan dan memberi kontribusi pada perekonomian dan pendapatan negara. Ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil begitu besar. Cengkraman energi bersumber dari fosil begitu kuat dan mengakar. Meski pemerintah perlahan mencoba keluar dari zona itu. Di sektor migas misalnya, itu seiring dengan berkurangnya peran migas dalam APBN. Ya, dari sisi kontribusi migas terhadap perekonomian nasional, perannya sebagai sumber penerimaan dalam APBN telah mengalami pergeseran. Berbeda dengan saat awal masa pembangunan. Migas dewasa ini tidak lagi menjadi penyumbang utama penerimaan negara. Dalam lima tahun sebelum 2018, kontribusi migas secara langsung terhadap penerimaan negara dalam APBN cenderung dan terus menurun. Seiring dengan turunnya harga minyak. Tahun 2016 dan 2017 misalnya. Penerimaan dari migas dalam APBN merupakan yang terkecil dibanding tahun-tahun sebelumnya. Yaitu 5,2 persen pada 2016 dan 5,7 persen pada 2017. Jauh di bawah APBN 2012-2014 dengan rata-rata sekitar 20 persen. Pada edisi jurnal Prisma volume 37, tahun 2018 disebutkan, pergeseran peran migas dalam APBN dan kontribusinya terhadap penerimaan negara secara langsung yang semakin mengecil tersebut disebabkan dua hal. Pertama, karena sektor-sektor perekonomian lainnya tumbuh dan berkembang sedemikian rupa pada gilirannya menghasilkan penerimaan negara dalam bentuk pembayaran pajak. Dalam konteks itu, sektor migas dengan kontribusi yang tinggi terhadap penerimaan negara pada awal periode pembangunan menjadi penggerak ekonomi dalam arti luas. Kedua, karena kinerja sektor migas sendiri yang selama hampir dua dekade terakhir terus menunjukkan tren penurunan. Di sektor hulu migas, produksi yang terus menurun dibarengi dengan iklim investasi hulu migas nasional yang secara keseluruhan tampak kurang kondusif dan tak menarik. Khususnya bagi kegiatan eksplorasi. Sementara di sektor hilir, hingga saat ini Indonesia belum terbebas dari masalah subsidi BBM dan LPG. Sejak 2015, seiring penurunan harga minyak mentah dunia, subsidi BBM dan LPG 3 kilogram jauh lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Namun dengan menguatnya kembali harga minyak dunia, beban subsidi pun akan turut meningkat. Namun bukan berarti sektor migas ditinggalkan sepenuhnya. Pengupayaan eksplorasi dan eksploitasi energi berbahan fosil ini terus dilakukan hingga saat ini. Sebab, harus diakui, Indonesia masih bergantung salah satunya pada migas, dalam hal pemenuhan energi nasional. Target 1 juta barel minyak pada 2030 terus diupayakan. Meski sejumlah tantangan menghadang. Seperti dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2022, pemerintah mematok target lifting 703.000 barel per hari minyak dan 1,03 juta barel gas setara minyak per hari. Seiring dengan target pemerintah mencapai 1 juta barel pada 2030. Target 2022, nyatanya masih rendah jika dibandingkan dengan target lifting minyak yang tertuang dalam dokumen Buku II Nota Keuangan Beserta RAPBN 2022, yakni kisaran 680.000-705.000 barel per hari. Dalam acara webinar bertemakan Masa Depan Industri Hulu Migas dalam Road Map Energi garapan Forum Kehumasan Industri Hulu Migas (FKIHM) Jabanusa, menyebutkan, tren konsumsi energi di masa depan akan semakin meningkat. Begitu yang dialami negara-negara berkembang. Termasuk Indonesia. Merujuk pada rencana umum energi nasional (RUEN), konsumsi minyak bumi Indonesia diproyeksikan akan naik drastis. Mencapai 139 persen di tahun 2050, dari konsumsi rata-rata 1,6 juta barel per hari menjadi 3,6 juta barel per hari. Demikian pula dengan konsumsi gas. Diproyeksikan meningkat lebih tinggi dibanding minyak. Sementara untuk transisi ke energi baru terbarukan. Meski belum maksimal dan terkesan lambat. Namun perlahan tapi pasti. Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT) tengah digodok pemerintah bersama DPR. Seiring dengan penebalan wacana menuju transisi. Dalam diskusi Ikatan Ahli Perminyakan Indonesia (IATMI) Seksi Mahasiswa Universitas Trisakti, bertemakan Indonesia’s Renewable Energy Potential in The Agenda Sustainable Development Goals, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha dalam kapasitas sebagai narasumber memaparkan perkembangan dan target capaian pengoptimalan potensi EBT. Kontribusi EBT tahun 2020 pada bauran energi nasional mencapai 11,20 persen. Pengembangan variable renewable energy (VRE), seperti energi surya dan angin perlu ditingkatkan agar target EBT tahun 2025 mencapai 23 persen dan 32 persen di tahun 2050. Menurut Satya Widya, potensi EBT di Indonesia besar. Dan dapat menjadi modal ketahanan energi nasional. Yang Utama dari Isu Transisi Pijakan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, termasuk sektor energi, adalah pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu penekanannya, kekayaan alam digunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat. Perlu digarisbawahi, untuk kemakmuran rakyat. Sehingga, seyogianya, pengelolaan berikut hasilnya, harus berorientasi pada hal itu. Namun sayangnya, ini seringkali terlupakan. Sehingga kemiskinan masih tetap menjadi bayang-bayang menakutkan di daerah kaya sumber daya alam. Dan ini yang jadi persoalan. Di sektor migas misalnya. Secara logika, tingkat perekonomian masyarakat di daerah penghasil migas seharusnya berada pada tarif sejahtera. Namun, faktanya angka kemiskinan di beberapa daerah penghasil migas masih tinggi. Dari situs resmi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), ada 18 provinsi penghasil migas. Dikutip dari Kompas.com, dari 18 provinsi itu, 8 di antaranya memiliki presentasi angka kemiskinan di atas rata-rata angka kemiskinan nasional, yaitu 10,86 persen-data Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2016. Kedelapan daerah tersebut adalah Nanggroe Aceh Darussalam 16,43 persen, Sumatera Selatan 13,39 persen, Lampung 13,86 persen, Jawa Tengah 13,19 persen. Kemudian Jawa Timur 11,85 persen, Sulawesi Tengah 12,77 persen, Maluku 19,26 persen dan Papua Barat 24,88 persen. Data BPS tahun 2019, presentase angka kemiskinan delapan daerah itu masih sama kondisinya. Masih berada di atas rata-rata angka kemiskinan nasional. Yakni 9,41 persen. Aceh 15,01 persen, Sumatera Selatan 12,56 persen, Lampung 12,30 persen, Jawa Tengah 10,58 persen, Jawa Timur 10,20 persen, Sulawesi Tengah 13.18 persen, Maluku 17,65 persen dan Papua Barat 12,51 persen. Angka-angka tersebut, wujud dari salah satu tantangan pengelolaan sumber daya alam bahan baku energi nasional. Dalam hal kemiskinan, daerah-daerah tersebut haruslah menjadi contoh. Bahwa di daerah penghasil energi, bukan berarti tak ada kemiskinan. Bahkan jumlah kemiskinannya lebih tinggi dari angka rata-rata kemiskinan nasional. Utamanya, bagaimana hasil eksploitasi sumber daya alam dapat digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Bukankah itu dasar atas eksploitasi kekayaan alam Indonesia. Itu dari sisi kemiskinan. Kemudian soal akses masyarakat terhadap energi. Listrik misalnya. Hingga saat ini, masih ada daerah yang belum teraliri listrik. Memang, program elektrifikasi pemerintah bergerak signifikan. Namun juga harus disayangkan. Masih ada 433 desa belum teraliri listrik. Padahal, eksploitasi migas, batu bara yang jadi bahan baku pembangkit listrik telah berlangsung sejak lama. Sehingga, ini yang perlu jadi perhatian. Sekaligus penekanan dalam proses transisi energi. Bahwa akses kesejahteraan dan energi bagi rakyat, adalah mutlak untuk diwujudkan. Segala kekurangan di masa-masa energi migas dan batu bara seperti yang data-data yang dipaparkan di atas, jangan sampai terjadi di masa energi baru dan terbarukan. Pun meski begitu, pada saat ini, di masa migas dan batu bara ini, hasil eksploitasi dalam bentuk dana perimbangan haruslah digunakan dalam orientasi pemberantasan kemiskinan. Akses masyarakat terhadap energi, misalnya akses listrik, juga harus diwujudkan seratus persen. Begitu juga dalam masa transisi dan pasca-transisi nantinya. Kesejahteraan rakyat dan akses masyarakat terhadap energi haruslah menjadi yang utama. */Koordinator Nasional Forum Energi Nasional Indonesia (FENI)/Alumnus STT Migas Balikpapan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: