Dukungan Insentif, Investasi Hulu Migas Kian Cerah

Dukungan Insentif,  Investasi Hulu Migas Kian Cerah

Memasuki dua tahun pemerintaan Joko Widodo - Ma'aruf Amin, muncul kabar menggembirakan di sektor hulu migas. Menteri BUMN Erick Thohir menyebut adanya cadangan minyak dan gas (migas) baru sebesar 204,7 juta barel. Selain bisa menambah cadangan migas nasional, temuan ini juga menambah ‘gula-gula’ investasi. BALIKPAPAN, nomorsatukaltim.com - Temuan cadangan migas itu menjadi penanda kegiatan hulu migas Indonesia makin menjanjikan. Tahun ini saja misalnya. Sampai Kuartal III/ 2021, SKK Migas mencatat adanya cadangan migas dari lapangan Singa Laut yang dikerjakan Operator Premier Oil Tuna. Lapangan itu berada di Perbatasan Indonesia - Vietnam. Kemudian ada Lapangan MAHA-2 yang dikerjakan Eni West Ganal di lepas pantai Kalimantan Timur (Kaltim). Penemuan besar pengeboran eksplorasi lainnya ada di Lapangan Hidayah-1 yang dikerjakan Petronas Carigali North Madura. "Itu yang sudah dites dan hasilnya konklusif," ujar Sekretaris Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Taslim Z Yunus, baru-baru ini. Adapun sumber daya yang ditemukan mencapai kurang lebih 179 MMBOE dengan capaian Success Ratio pengeboran 75 persen. Yakni 12 sumur selesai dan 9 penemuan baru. Cadangan migas baru yang disampaikan Menteri BUMN Erick Thohir, menurut Taslim Yunus, bisa mendukung target produksi migas 1 juta barel pada 2030 mendatang. "Itu bisa saja dalam beberapa waktu kita bisa tes di struktur itu (temuan di sumur baru). Kemudian kalau fasilitasnya ada, infrastrukturnya ada, bisa juga mendukung target 2030," imbuh Taslim. Untuk merealisasikan temuan cadangan yang sangat besar, menurut Taslim, pemerintah terus mendukung iklim investasi sektor hulu migas lebih menarik. Tahun ini, SKK Migas memberikan penundaan pencadangan biaya operasi atau biasa disebut Abandonment Site Restoration (ASR). "Jadi dilatarbelakangi kasus pandemi COVID-19 sehingga SKK Migas mencoba memberikan penundaan ASR," urainya. Kedua berupa penundaan dan penghapusan PPN LNG. Seperti penyerahan barang kena pajak bersifat strategis yang dibebankan kepada pengenaan PPN. "Kemudian yang ketiga pembebasan biaya pemanfaatan barang milik negara yang selama ini memang menyewa kepada Kementerian Keuangan," jelasnya. Insentif keempat yakni penundaan atau pengurangan hingga 100 persen pajak-pajak tidak langsung. Insentif kelima memberikan depresiasi dipercepat, kemudian juga perbaikan split untuk KKKS dan DMO full price. Sementara insentif keenam yakni, gas dapat dijual dengan harga market untuk semua skema di atas Take or Pay (TOP). Keseluruhan insentif itu sudah disetujui pemerintah. Di sisi lain SKK Migas berharap pemerintah juga bisa memberikan tambahan tiga insentif lagi, yaitu menghapuskan biaya pemanfaatan Kilang LNG Badak sekitar USD 0,22 MMBTU. Kemudian pembebasan Branch Profit Tax apabila diinvestasikan kembali profit itu ke Indonesia. "Ini telah tertuang dalam lampiran pidato Presiden pada 16 Agustus 2021 kemarin," ungkapnya. Insentif tambahan ketiga yang diajukan SKK Migas, yakni meminta dukungan bagi kementerian yang membina industri pendukung hulu migas. Seperti baja, rig, jasa dan sebagainya, bagi industri penunjang hulu migas. "Ini tiga yang kita tunggu untuk disetujui, tapi enam insentif yang lain sudah disetujui," imbuhnya. Menurutnya, bentuk insentif itu adalah hasil kerja SKK Migas yang selalu melakukan benchmarking dengan bekerja sama negara-negara tetangga dan negara penghasil migas lainnya. Selain itu SKK Migas sering melakukan diskusi dengan KKKS, termasuk sharing data dan pengalaman KKKS saat melakukan kegiatan hulu migas di negara penghasil migas lainnya. SKK Migas juga melakukan benchmarking secara mandiri. "Dengan enam insentif ditambah tiga (usulan) insentif lainnya, sebenarnya (respon) operator masih kurang. Karena ada insentif ketujuh yaitu agar biaya penggunaan kilang kepada operator dibebaskan, karena selama ini kilang juga bagian dari investasi mereka. Sebagaimana kilang LNG Badak," ungkapnya. "Hal itu sama dengan insentif Branch Profit Tax (BPT), sebab biasanya selama profit itu diinvestasikan lagi ke Indonesia atau dimanapun mereka berada, itu biasanya dibebaskan juga. Cuma di dalam PSC, kontraknya tidak disebutkan. BPT ini bersifat final. Ini menjadi salah satu kendala. Ini sebetulnya vocal poin-nya ada di Kementerian Keuangan, mudah-mudahan bisa diselesaikan," tambahnya. Namun yang tak kalah pentingnya, ujar Taslim, yakni penyelesaian revisi UU Migas 2001 yang kini sedang dibahas DPR RI lebih jauh memberikan dampak terhadap kemudahan-kemudahan pencapaian investasi industri hulu migas. Karena hal itu terkait dengan kenyamanan para investor yang didukung oleh kepastian hukum. "Jadi kalau lembaga seperti SKK Migas ini sudah diatur berdasarkan undang-undang yang baru, Indonesia akan lebih kuat dan mereka (investor) lebih nyaman untuk berinvestasi. Di samping itu dalam keputusan MK adalah kontrak dilakukan antara business to business bukan government to businesss," urainya. Bagi SKK Migas, lanjutnya, seluruh kegiatan hulu migas dari A sampai Z harus berada di bawah satu atap, bukannya terdesentralisasi di beberapa Kementerian. Sementara saat ini, desentralisasi hulu migas terbanyak ada di Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Keuangan dan kewenangan pemerintah daerah dalam hal ini di bawah Kementerian Dalam Negeri. Sehingga pengurusan perizinan dan lain-lain yang menyangkut kebutuhan kinerja hulu migas mengalami perlambatan. "Dari situ saja sudah banyak izin-izin yang harus dipenuhi. Ini kalau bisa disentralisasi di satu atap," tukasnya. Ia menegaskan, seluruh insentif yang coba ditawarkan SKK Migas untuk mengundang para investor lebih mengena kepada para investor yang baru mau bergabung. Sementara operator atau KKKS yang sudah melakukan kegiatannya di Indonesia, untuk sementara sudah cukup dengan enam macam insentif yang sudah disetujui pemerintah.

Dari Timur Sampai Barat

Duta Besar (Dubes) RI untuk Singapura, Suryopratomo menyebut Indonesia bisa belajar dari negara tetangga dalam mengelola industri hulu migasnya. Salah satunya Singapura. Menurutnya, Singapura sangat memahami kebutuhan energi di negara-negara ASEAN sangat tinggi. Mereka memanfaatkan peluang itu dengan membuka diri terhadap investasi dan mengembangkan sektor kilang. Di mana pada saat itu negara penghasil migas lainnya belum melirik sektor tersebut secara optimal. "Singapura mengambil kesempatan itu. Siapa yang melakukan investasi sebenarnya second sister juga. Kalau kita lihat di Tuas, itu ada kilang pengolahan migas milik Exxon, Shell, dan perusahaan migas besar lainnya," jelasnya. Sementara Indonesia, disebutnya baru masuk ke sektor kilang pada medio 1980 atau 1990 yang dimulai dari pembangunan kilang di Balongan. Saat ini sebagian pekerjaan pengolahan migas sudah dilakukan Pertamina, sehingga Singapura menyadari nilai tambah dan volume penjualannya semakin menurun. "Kalau saya lihat Singapura juga mulai berubah mengikuti tren dunia, bahwa ke depan jangan-jangan mereka dan semua negara harus menggunakan energi terbarukan," urainya. Singapura juga dinilainya sudah mempersiapkan skenario itu.  Misalnya ada anggapan bahwa sampai 2050 atau 2060, semua negara harus menjual produknya dengan menggunakan energi terbarukan. Secara perlahan, Singapura mulai shifting energi terbarukan melalui solar cell. Suryopratomo mengaku baru saja diundang untuk menghadiri peresmian penggunaan EBT yang diresmikan langsung oleh Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong. Disebutnya, Singapura memiliki 17 kawasan reservoir. Tetapi, lanjutnya, upaya penggunaan solar cell bukan menggantikan penggunaaan energi terdahulu. EBT masih dianggap sebagai sesuatu yang akan didorong, namun tidak terjadi seketika. Sebab hal itu masih bersinggungan dengan teknologi, reasonable, dan pertimbangan-pertimbangan lainnya sebelum EBT benar-benar dianggap mampu menggantikan energi fosil. "Masih banyak hal untuk menuju ke sana. Sebab itu saya setuju dengan penyampaian Pak Taslim. Ini harus menjadi kesadaran kita bersama (mendorong kinerja hulu migas). Kurva naik (produktivitas) industri migas hanya sebentar, satu atau dua tahun dia akan turun, sehingga (agar stabil) perlu didorong dengan eksplorasi pengeboran yang masif," imbuhnya. Sementara untuk melakukan eksplorasi di hulu migas, disebutnya berisiko tinggi dan mahal. Sehingga dibutuhkan insentif bagi investor agar yakin dan mau melakukan pengeboran di Indonesia. "Karena hanya dengan eksplorasi, kurva yang turun tadi bisa naik. Target 1 juta barel per hari itu tidak hanya bisa di dapat dari satu atau dua sumur, tetapi harus ada jutaan sumur," ungkapnya. Inilah yang selama ini menjadi tantangan SKK Migas. Selama berpuluh tahun berusaha meyakinkan semua orang dan dunia bahwa industri hulu migas di Indonesia benar-benar menarik bagi iklim investasi agar investor mau melakukan eksplorasi. Tapi pekerjaan rumah SKK Migas yang sebenarnya saat ini, kata Suryopratomo, adalah membuat agar pelaksanaan industri hulu migas berada di bawah satu atap. "Presiden sudah mengatakan bahwa untuk mengurus perizinan industri migas di Indonesia itu butuh (melalui) 279 meja. Pak Taslim tadi sudah mengatakan, ngapain sih, di-skip saja begitu banyak kementerian. Ditaruh saja satu lembaga. Toh, ujungnya aliran pendapatan masuk ke negara dan bisa diedarkan lagi melalui kementerian," urainya. Hal ini, kata pria yang disapa Tommy, untuk mengeksplorasi temuan-temuan cadangan migas baru, terutama di Indonesia bagian timur masih sangat besar. Ia meyakini, kawasan timur Indonesia bakal berkontribusi besar terhadap penerimaan negara di masa yang akan datang. Sehingga menurutnya wajar bila data-data potensi temuan cekungan baru cadangan migas terutama untuk wilayah Indonesia Timur sangat mendukung. Sementara untuk wilayah Indonesia bagian Barat, juga dipastikan masih menyimpan kekayaan sumber daya berupa minyak dan gas bumi yang melimpah. "Saya pernah dulu bersama Pertamina, kami di atas (wilayah) Lamongan menemukan cekungan. Artinya Indonesia sangat kaya tapi sekali lagi memang yang kita butuhkan adalah keterampilan, keahlian dan tidak kalah pentingnya adalah modal," katanya. Dengan tantangan itu, maka Indonesia perlu mengatur kerja-kerja sektor hulu migas serta berusaha mendatangkan investasi mendukung target capaian produksi sampai 2030. Di sisi lain, Indonesia saat ini juga sedang berkonsentrasi pada COP26 atau konferensi perubahan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-26 di Glasgow. Kemudian berkembang pula wacana bahwa seluruh negara akan berorientasi meninggalkan energi fosil. Tetapi ia mencatat hal penting. Yakni apa yang terjadi di China, Inggris dan Amerika menunjukkan bahwa transisi energi bukanlah perkara yang gampang. "Sehingga ketergantungan pada fosil energy bisa berlangsung sampai 2030 bahkan 2060 menjadi sangat menentukan. Di sanalah Indonesia bisa memainkan peran," tukasnya. Menurutnya lompatan besar negara-negara maju pada masa transisi energi menggunakan Energi Baru terbarukan (EBT) atau renewable energy, ternyata menimbulkan disrupsi yang sangat besar sekali. Negara besar seperti China dan negara-negara di Eropa sampai-sampai mengalami krisis energi dan kembali berharap dari gas. Sementara cadangan gasnya tidak ada. Di sisi lain, Indonesia disebut sudah memiliki roadmap EBT sampai 2025 yakni penggunaan EBT sampai sekitar 30 persen. "Tetapi perlu diingat demand akan naik. Persentase energi fosil mungkin kecil, tetapi secara agregat volumenya tetap besar. Nah di sanalah peran SKK Migas dan Pertamina untuk tetap melakukan eksplorasi," urainya. Menurutnya pelajaran dari pengalaman negara maju itulah yang mesti dipahami oleh Indonesia, bahwa transisi energi dari energi fosil menuju energi hijau perlu dilakukan secara cermat. Ia mendukung agar SKK Migas dan Pertamina terus melakukan eksplorasi. "Kontribusi energi fosil tetap masih sangat besar. Dan untuk saat ini harganya masih yang paling reasonable," katanya. Pendapat Suryopramono diperkuat Pengamat Energi Mamit Setyawan yang meyakini peluang investasi migas masih sangat luas. Apalagi Indonesia masih memiliki banyak cekungan yang masih belum dieksplorasi. Berdasarkan data dari SKK Migas, setidaknya ada 12 cekungan yang masih memiliki potensi cadangan migas yang bisa memberikan kontribusi terhadap penerimaan negara. Belum lagi potensi cadangan migas dari Indonesia Timur, yang masih sangat menjanjikan. Berdasarkan data pula, Mamit menilai Indonesia masih memiliki cadangan yang sangat besar, antara lain minyak bumi 2,4 miliar barel per hari, sementara gas bumi mencapai 43 triliun kubik per hari. "Ini sangat menarik bagi iklim investasi di Indonesia. Tinggal bagaimana kebijakan fiskal Indonesia dalam rangka menarik investasi itu," katanya. Salah satu yang ia soroti yakni perlunya pemerintah menyelesaikan revisi UU Migas 2001 yang pembahasanya masih berlangsung di DPR RI. Hal itu penting untuk memberikan kepastian hukum bagi para investor, terutama terkait penguatan lembaga hulu migas nasional. "Jangan sampai terjadi lagi kejadian-kejadian yang memperlemah lembaga, sehingga investasi kita tidak menarik, di samping dari sisi kebijakan fiskal," urainya. Ia menilai target produksi migas 2030 merupakan effort yang sangat besar dari SKK Migas dan KKKS yang harus terus didukung semua pihak. Meski di sisi lain, saat ini lifting migas sendiri mengalami penurunan produksi yang dipengaruhi berbagai faktor. Adapun Pertamina yang saat ini menguasai 60 persen produksi migas juga pasti merasakan tantangan besar untuk mencapai target tersebut. "Bagi saya industri hulu migas belum memasuki tahap sunset (perkembangan menurun). Memang EBT adalah suatu keniscayaan, tapi berkali-kali saya sampaikan bahwa kita harus mengukur kemampuan bangsa Indonesia yang pendapatan per kapita belum mampu membeli energi dengan harga yang mahal," katanya.

Insentif Membuat PHM Produktif

General Manager Pertamina Hulu Mahakam Agus Amperianto menyampaikan apresiasinya terhadap pemerintah dan SKK Migas, yang telah ikut menjaga keekonomian Blok Mahakam melalui keringanan pada fiscal term. Bentuk keringanan itu, kata dia, seperti insentif terhadap pajak. Sehingga PHM bisa melanjutkan program kerja demi mencapai produktivitas sesuai target yang telah ditentukan. Menurutnya PHM mempunyai tantangan yang lebih besar dibandingkan dengan operator sebelumnya, yakni Total E&P Indonesia. PHM ditugaskan mengelola lapangan yang sudah mature, atau lapangan yang sudah beroperasi selama 47 tahun. Sehingga untuk mempertahankaan laju produksi harus didukung dengan kegiatan eksplorasi pengeboran yang masif. "Karena cadangan per sumurnya juga sudah semakin sedikit, sehingga kita semakin terbatas melakukan kegiatan-kegiatan pengeboran di sumur yang masih memiliki tingkat keekonomian yang memadai," ujarnya. Ia menyebut dukungan fiscal term melalui kebijakan insentif kepada PHM akan membantu pihaknya melakukan kegiatan yang masif pada 2022 dengan menargetkan 96 pengeboran sumur pengembangan dan 2 sumur eksplorasi. "Kami yakin dengan kualitas sumber daya yang memiliki mindset terbuka, kompetensi yang tinggi, sistem manajemen yang baik, akan bisa mengatasi permasalahan operasional maupun teknis yang muncul," urainya. Adapun rencana proyeksi 2021, prognosa capaian gas PHM mencapai rata-rata 515 MMSCFD, sementara produksi minyak sekitar 23.800 Barel Oil Per Day (BOPD). Sementara insentif yang didapat PHM antara lain, First Tranche Petroleum (FTP) dari 25 persen. Lalu pembebasan pajak-pajak termasuk pembebasan penggunan alat-alat milik negara. Insentif Investment Credit 17 persen, akselerasi Capital Depreciation sampai dengan 4 tahun secara kontrak sampai 2037 mendatang. "Itu yang sudah PHM dapat dari paket insentif yang membuat PHM lebih sustained. Artinya sebenarnya insentif itu tidak mengurangi pendapatan dari pemerintah tetapi justru meningkatkan government intake dari kontrak yang kami jalankan," ujarnya. Adapun dampak insentif yang sudah diterima PHM untuk periode aktivitas 2021-2037, kata dia, terkait dengan proyeksi sekitar 861 BCF yang bisa PHM recovery. Artinya menurut perhitungan PHM, ada sekitar USD 61 juta yang termasuk dalam additional APEC dan OPEC. "Lalu ada tambahan USD 1,5 juta government tax di situ. Belum termasuk US$ 2,4 juta dari nasional ekspor, apapun itu (produk) ekspornya," terangnya. Belum lagi terkait dengan lapangan pekerjaan dan jumlah tenaga kerja yang bisa dipekerjakan di PHM juga menjadi salah satu dampak dari insentif yang sudah diberikan pemerintah. *RYN/ENY/YOS    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: