Raksasa Tambang Kaltim Ajukan Perpanjangan Konsesi
BALIKPAPAN, nomorsatukaltim.com – Sejumlah perusahaan tambang raksasa di Kalimantan Timur mengajukan perpanjangan konsesi lahan ke pemerintah . Hal ini diketahui ketika Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim menggugat keterbukaan informasi publik melawan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Perusahaan yang sedang mengajukan perpanjangan ialah PT Kendilo Coal Indonesia yang berakhir 13 September 2021 yang menguasasi konsesi seluas 1.869 hektare. Kemudian PT Kaltim Prima Coal yang menggarap lahan 84.938 hektare di Kutai Timur. Perjanjian KPC akan berakhir 31 Desember 2021 atau telah menggarap selama 38 tahun. Kemudian PT Multi Harapan Utama yang menguasai lahan 39.972 hektare akan berakhir 1 April 2022 (36 Tahun). PT Adaro Indonesia di lahan seluas 31.379 hektare akan berakhir 1 Oktober 2022 (39 Tahun). Lalu PT Kideco Jaya Agung yang mengelola 47.500 hektare di Kabupaten Paser akan berakhir 13 Maret 2023 (41 tahun). Selanjutnya ada PT Berau Coal yang mengelola lahan 108.009 hektare akan berakhir 26 April 2025 (42 tahun). Keenam perusahaan batubara ini di dalam UU Minerba dan UU Ciptaker mendapatkan sejumlah fasilitas mulai dari dijaminnya perpanjangan otomatis menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) hingga 2 X 10 tahun. Regulasi ini juga memberi insentif berupa tidak ada kewajiban pengurangan lahan konsesi dan insentif royalti nol persen (0%) bagi perusahaan batubara yang membangun fasilitas hilirisasi batubara. Catatan Jatam Nasional menyebut luas lahan yang dikuasai oleh lima perusahaan ini mencapai 313.667 hektar atau setara dengan 5 kali luas DKI Jakarta. Demikian dilansir Disway Kaltim, Rabu (28/9/2021). “Perpanjangan tanpa pengawasan dan partisipasi publik akan membahayakan keselamatan rakyat dan lingkungan hidup, apalagi batubara adalah biang kerok utama dari pemanasan iklim global. Begitu juga proyek gasifikasi batubara yang saat ini dibangun PT KPC bahkan diklaim sebagai energi baru dan terbarukan yang justru sekadar legitimasi bagi energi fosil dan berbahaya seperti batubara untuk terus langgeng di Indonesia dan makin mengundang bencana ekologis dan krisis iklim,” ujar Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jatam Nasional. Dalam gugatannya, Jatam menilai Menteri ESDM tidak transparan dalam melakukan evaluasi kinerja lima perusahaan tambang batu bara yang akan habis kontraknya. Gugatan sengketa informasi ini didaftarkan melalui akta register sengketa nomor 025/REG PSI/XI/2020 pada Senin 9 November 2020 tahun lalu. Adapun objek gugatan yakni permintaan salinan dokumen yakni kontrak karya 5 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) di Kalimantan yang masa izin dan kontraknya akan berakhir mulai 2021 hingga 2025 Lalu catatan perkembangan diskusi pemerintah tentang evaluasi perpanjangan izin dan kontrak. Rekaman dan atau Notulensi rapat pemerintah tentang proses evaluasi terhadap izin yang mengajukan perpanjangan izin dan kontrak Kemudian, daftar nama, profesi dan jabatan, pihak-pihak serta Lembaga mana saja yang terlibat dan diundang dalam evaluasi perpanjangan dalam mengevaluasi kontrak PKP2B yang akan berakhir Sebelumnya telah disahkannya revisi Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) dan Undang-undang Cipta Kerja (Ciptaker) dalam waktu yang sangat singkat. Jatam menilai, perusahaan tambang batu bara yang akan habis masa kontraknya telah mengajukan perpanjangan izin dan berdasarkan UU Minerna dan UU Ciptaker. Pada November 2020 lalu, PT Arutmin diberikan perpanjangan otomatis, tanpa pengawasan dan partisipasi publik. Dokumen salinan kontrak atau perjanjian, dokumen catatan evaluasi, notulensi hingga informasi siapa saja yang telah diundang dan dilibatkan termasuk dalam kategori data publik dan terbuka untuk diakses. Hal itu sesuai dengan Pasal 64 dan 87D di dalam UU Minerba No 3 Tahun 2020 bahwa pemerintah dan pemerintah daerah. Dua institusi ini, sesuai dengan kewenangannya berkewajiban mengumumkan rencana kegiatan usaha pertambangan di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) kepada masyarakat secara terbuka termasuk pusat data dan informasi pertambangan. Bahkan wajib menyajikan informasi pertambangan secara akurat, mutakhir, dan dapat diakses dengan mudah dan cepat oleh pemegang perizinan berusaha dan masyarakat. Peraturan pemerintah Nomor 96 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Batubara pada pasal 119 ayat 1 hingga ayat 10 diatur persyaratan pemberian izin pertambangan khususnya sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian. Menurut UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Pasal 65 ayat (2), setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sejumlah yurisprudensi juga menunjukan bahwa data-data itu bisa diakses publik dan terbuka seperti Putusan No. 001/VII/KIP-PS-A/2010 antara LPAW vs. Blora Patragas Hulu terkait dengan dokumen perjanjian kerja antara PT Blora Patragas Hulu dengan PT Anugrah Bangun Sarana Jaya dalam pengelolaan 2,1% saham participating interest Blok Cepu yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Blora; Juga putusan No. 197/VI/KIP-PS-M-A/2011 antara YP2IP vs. Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait dengan kontrak Freeport, PT Kaltim Prima Coal, PT Newmont Mining Corporation. “Karena itu kami dari Jatam Kaltim merasa memiliki legal standing atau posisi dan dasar hukum karena seperti yang tercantum pada pasal 10 UU Minerba Nomor 3 tahun 2020 di jelaskan mengenai peran dan partisipasi masyarakat dalam wilayah pertambangan,” ujar Pradarma Rupang, Dinamisator Jatam Kaltim dalam pernyataannya. “Di situ dinyatakan bahwa penyusunan dan penetapan wilayah tambang harus diselenggarakan secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab bahkan terpadu dengan mengacu pada pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat terdampak, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, hak asasi manusia, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan; dan dengan memperhatikan aspirasi daerah” “Dari data-data yang kami minta tersebut dapat diketahui apakah pemerintah sudah melibatkan partisipasi masyarakat terdampak,siapa saja yang dilibatkan dan diundang dan bagaimana prosesnya serta apakah sudah memperhatikan aspirasi daerah,” Data-data dan proses perpanjangan kontrak perizinan perusahaan pertambangan batubara yang akan berakhir mestinya dibuka pada publik sebagaimana amanat dalam Konstitusi Pasal 28C dan 28F Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) serta Pasal 14 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang secara eksplisit ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP 14/2008). Keputusan publik ini mencakup kontrak pengelolaan kekayaan alam Indonesia, dalam hal ini pertambangan Mineral dan Batubara, karena kontrak tersebut memiliki dimensi publik, sehingga masuk dalam kategori keputusan publik yang seharusnya dibuka dan melibatkan partisipasi publik secara luas. Sejauh ini belum ada pernyataan resmi perusahaan yang namanya dicantumkan dalam gugatan keterbukaan informasi oleh Jatam. *YOS
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: