Suntik Mati Sekolah Swasta Ala Menteri Pendidikan

Suntik Mati Sekolah Swasta Ala Menteri Pendidikan

Berbagai organisasi masyarakat yang bergerak di bidang pendidikan menuntut pemerintah menghapus Permendikbud 6/2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Reguler. Aturan itu disebut-sebut sebagai cara pemerintah ‘menyuntik mati’ sekolah swasta.

Nomorsatukaltim.com - Aliansi Penyelenggara Pendidikan menuntut pembatalan Permendikbud 6/2021 yang dinilai merugikan penyelenggara sekolah swasta. Aliansi terdiri dari Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) PP Muhammadiyah, LP Ma'atif PBNU, PB PGRI, Taman Siswa dan Majelis Nasional Pendidikan Katolik, menilai kebijakan tersebut mendiskriminasi hak pendidikan anak Indonesia, dan melanggar amanat konstitusi negara. Pada pasal 3 ayat (2) huruf d, misalnya, mengatur sekolah penerima dana BOS reguler diberikan hanya kepada sekolah yang memiliki jumlah peserta didik paling sedikit 60 peserta didik selama tiga tahun terakhir. Jika pasal ini diterapkan, maka para pelajar di daerah terluar, tertinggal dan terdepan, akan kesulitan mengakses Pendidikan. Pertama, karena tidak semua daerah 3T punya sekolah negeri. Kedua, tidak semua anak di daerah 3T bisa mengakses sekolah. "Padahal undang-undang menyatakan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya," ujar Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Prof. Dr. Unifah Rosyidi, Jumat (3/9). Menurutnya, PGRI sebagai salah satu institusi penyelenggara pendidikan di Indonesia sudah bekerja keras membantu mencerdaskan anak bangsa, dengan mendirikan sekolah-sekolah di berbagai daerah. Sehingga pihaknya tahu persis bagaimana pengelolaan pendidikan di daerah, terutama daerah terpencil yang sejatinya tidak hanya berusaha memberikan pemerataan pendidikan tapi juga membawa misi sosial. Saat ini, pemerintah gencar membangun Unit Sekolah Baru (USB) Negeri, sehingga serapan peserta didik bagi sekolah swasta mulai mengalami penurunan. Tapi kondisi tersebut bukan berarti menunjukkan bahwa kebutuhan sekolah swasta berkurang. Lantaran ada banyak kasus anak-anak sekolah tidak bisa diterima di sekolah negeri sehingga akhirnya ditampung di sekolah swasta. Terutama sejak adanya sistem zonasi yang masih perlu diperbaiki di masa depan. "Sekolah di daerah itu ada banyak yang jumlah peserta didiknya di bawah 60 orang. Tapi sekolah swasta di daerah itu tetap harus ada, karena untuk membackup kurangnya sekolah negeri," urainya. Ia berharap pemerintah bisa menghasilkan regulasi yang lebih mendukung upaya penyelenggara pendidikan. Bukannya menggerogoti sekolah-sekolah kecil dengan menghapuskan pendanaan dari BOS reguler. "Di saat negeri ini dilanda pandemi, seharusnya sekolah-sekolah kecil itu lebih diperhatikan," katanya. Majelis Nasional Pendidikan Katolik Dr. Vinsensius Darmin Mbula sependapat dengan apa yang disampaikan Unifah. Menurutnya, kondisi pandemi sangat berpengaruh terhadap ekonomi masyarakat. Terutama juga terkait dengan biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk mengakses pendidikan. Sehingga, sumber pendanaan untuk pendidikan, sesuai amanah konstitusi, tidak hanya bisa mengandalkan dari masyarakat tanpa kehadiran pemerintah. Sehingga ia mendukung upaya Aliansi Penyelenggara Pendidikan untuk menolak Permendikbud 6/2021. "Saya kira ini (Permendikbud) seperti lonceng kematian bagi sekolah-sekolah swasta," ujarnya. Pemerhati Pendidikan, Doni Koesoema A menilai Permendikbud Nomor 6 Tahun 2021 tentang perhitungan jumlah siswa untuk dana BOS Reguler bakal mengancam eksistensi sekolah-sekolah kecil di daerah terpencil yang selama ini dijalankan para penyelenggara pendidikan. “Di tengah situasi Pandemi dan banyak anak-anak Indonesia yang sulit memperoleh akses pendidikan, seharusnya pemerintah lebih memerhatikan perlindungan pada hak pendidikan setiap warga negara di manapun mereka berada," katanya. Kebijakan pemberian dana BOS 2021, menunjukkan bahwa Pemerintah mengabaikan peranan penyelenggaran pendidikan swasta, tidak melindungi hak-hak pendidikan anak Indonesia, dan melanggar keadilan sosial. Lebih jauh, ia menilai penentuan daerah 3T  juga bermasalah. Ia mencontohkan kasus di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Ada sekolah yang tidak mendapat dana BOS. Padahal menurut pimpinan yayasan, sekolah mereka menerima anak-anak yang tidak diterima di sekolah negeri. "Ada juga di Pekalongan, Magelang, ini menunjukkan di kota juga banyak persentase anak muridnya di bawah 60 orang," tukasnya. Menurutnya pemerintah seharusnya membuat kebijakan dengan perspektif positif, sementara Permendikbud 6/2021 menunjukkan pejabat pemerintah melihat dari sisi negatif terhadap sekolah swasta. "Pemerintah harus adil. Pemerintah harus punya perspektif positif," imbuhnya. Aliansi Organisasi Penyelenggara Pendidikan melayangkan pernyataan sikap yang ditandatangani oleh Majelis Dikdasmen PP Muhmamadiyah Dr. Sungkowo Mudjiamano, M.Si, LP Ma’arif PBNU Z. Arifin Junaidi, PB PGRI Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd, Taman Siswa Ki. Prof. Drs. H. Pardimin, M.Pd, Ph.D, dan Majelis Nasional Pendidikan Katolik Dr. Vinsensius Darmin Mbula, OFM. Organisasi Penyelenggara Pendidikan juga mendesak Mendikbudristek menghapus ketentuan Permendikbud Nomor 6 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan BOS Reguler khususnya Pasal 3 ayat (2) huruf d, tentang sekolah penerima dana BOS reguler. Serta mempertegas kebijakan Pendidikan Nasional yang berlandaskan filosofi kebudayaan Indonesia dan menjauhkan praktik diskriminasi serta sesuai dengan ketentuan utama Pendidikan Nasional, Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945, dan UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2). *RYN/YOS

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: