Suci, Korban Tsunami Palu di Kutim Butuh Uluran Tangan

Suci, Korban Tsunami Palu di Kutim Butuh Uluran Tangan

Kejadian tsunami Palu, 2018 lalu menyisakan pilu. Termasuk bagi warga Kutai Timur (Kutim). Sarmiah (41), warga Sangatta Selatan harus menerima kabar buruk. Karena anaknya kini tak bisa berjalan.

nomorsatukaltim.com- Sarmiah pindah dari Palu ke Kutim pada 2008 lalu. Namun anaknya, Suci Rahmadani (13), tinggal bersama sang nenek. Pasca bencana tersebut, Suci dan neneknya akhirnya menyusul pindah ke Kutim. Namun kondisi Suci tidak sepenuhnya normal lagi. Gadis kecil itu tak bisa berjalan akibat kakinya yang tidak dapat berfungsi lagi. Karena saat gempa mengguncang, kaki Suci harus tertimpa lemari saat berlari menyelamatkan diri. Gadis itu coba mengingat-ingat kembali kejadian itu. Kepada Disway Kaltim dan nomorsatukaltim.com, ia mengaku tak banyak yang bisa dirinya ceritakan. Sore itu, dia bersama nenek dan seorang kakaknya berada di dalam rumah. Namun seisi rumah dibuat kaget, karena guncangan keras berkekuatan 7,4 magnitudo. Pusat gempa berasal dari kedalaman 10 km. Hingga membuat gempa, tsunami dan likuifaksi di ibu kota Sulawesi Tengah itu. Sore saat tragedi  itu, umur Suci masih 10 tahun. Ketika guncangan semakin keras, dia bersama nenek dan kakaknya coba keluar rumah. Namun nahas, sebuah lemari kayu jatuh menimpa kaki Suci saat dirinya berlari. Dibantu oleh nenek dan kakaknya, akhirnya dia bisa diselamatkan. Hanya saja, dirinya baru mendapatkan pertolongan tiga hari setelahnya. Itu pun berkat bantuan tim penyelamat. Hingga akhirnya dibawa ke rumah sakit. Operasi terhadap kakinya sempat dilakukan, hanya saja tidak berhasil menyembuhkan kakinya. “Tidak ingat lagi, hanya sakit saja waktu itu ingatnya,” tutur Suci. Kini kakinya tak bisa diluruskan. Pada kedua bagian betisnya justru berbentuk pipih dan sedikit melengkung. Sehingga kedua kakinya harus berada dalam posisi bersila. Alhasil. gadis berambut lurus ini tak bisa berjalan memakai kakinya. Untuk berjalan atau berpindah posisi, Suci harus ditopang tangannya dan menggeser pantatnya. Sembari posisi kaki tetap bersila, atau memakai kursi roda. Itu pun harus dibantu oleh orang untuk menaikinya. Kendati demikian, dia masih memiliki semangat hidup yang tinggi. Cita-citanya menjadi guru pun tak pernah padam. Dia pun masih ingin melanjutkan sekolahnya yang terhenti semenjak bencana tsunami tersebut. “Mau jadi guru karena bisa mengajari anak-anak. Saya juga mau lanjut sekolah, biar banyak teman di sini,” ujarnya. Sang ibu, Sarmiah juga ingin agar anaknya kembali normal. Dapat berjalan layaknya anak lainnya. Namun apa daya, dirinya tak mampu untuk membiayai pengobatan anaknya. Bahkan semenjak datang ke Sangatta dia tak pernah membawa Suci ke dokter atau fisioterapi. “Tidak punya biaya. Kalau pun ada bantuan, besarnya tidak seberapa,” ucap Sarmiah. Wajar saja, Sarmiah hanya tinggal di rumah kontrakan di samping SD 002 Sangatta Selatan. Sembari berjualan makanan dan minuman. Hasilnya tentu tidak seberapa, hanya cukup membiayai hidup sehari-hari. “Ya hanya berkisar Rp 60 ribu sampai Rp 100 ribu. Belum lagi harus disisipkan untuk membayar kontrak rumah,” ungkapnya. Sementara suaminya kini tak lagi bekerja. Karena penyeberangan ponton sudah tidak aktif lagi. Akibat rampungnya Jembatan Masabang yang menghubungkan Sangatta Selatan dan Utara. “Sekarang coba mencari pekerjaan lain, tapi belum dapat,” imbuhnya. Bantuan dan perhatian dari berbagai pihak jadi yang paling ditunggu oleh Sarmiah saat ini. Karena ia belum mengetahui pasti apa yang terjadi terhadap kaki anaknya. Sebab selama di Kutim, belum pernah dilakukan pemeriksaan. “Hasil rekam medis pasca operasi juga tertinggal di Palu. Mau dibawa ke dokter saya tidak ada biaya. Jadi saya tidak tahu sama sekali,” katanya. (bct/zul)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: