Abdul Rais: Hapus Pasal Advokat Curang!

Abdul Rais: Hapus Pasal Advokat Curang!

BALIKPAPAN, nomorsatukaltim.com – Advokat senior Abdul Rais meminta pemerintah dan DPR RI mencermati rencana perubahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Pembahan RKUHP telah masuk program legislasi nasional (prolegnas) prioritas pada Juli 2021. Salah satu pasal dalam RKUHP berpotensi mendelegitimasi salah satu profesi penegak hukum, yakni advokat.

DPR RI berencana melakukan sosialisasi sampai bulan September. Dengan demikian, parlemen bakal membahas perubahan KUHP itu pada Oktober-November tahun ini. Terkait revisi KUHP, sejumlah advokat tanah air mengkritik keras salah satu pasal yang mengalami perubahan atau penambahan. Yaitu Pasal 282 RKUHP yang berbunyi, “Advokat dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V bagi Advokat yang dalam menjalankan pekerjaannya secara curang.” Penjelasan pasal itu memuat keterangan sebagai berikut: “Curang yang dimaksud adalah mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan klien, padahal mengetahui atau sepatutnya menduga bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan kepentingan pihak kliennya.” “Selain itu juga memengaruhi panitera, panitera pengganti, juru sita, saksi, jurubahasa, penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam perkara, dengan atau tanpa imbalan.” Bagi kalangan advokat, frasa “advokat curang” dalam pasal itu cenderung tendensius, bias dan prejudice. Advokat senior Abdul Rais menilai regulasi terkait advokat dalam beracara sudah diatur di masing-masing aturan. Seperti KUHP, Tipikor dan Kode Etik Advokat. "Harusnya tidak perlu ada lagi aturan-aturan yang mengatur profesi advokat itu. Kami ini sudah banyak diatur," ujar mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum Balikpapan itu. Ia menyoroti penjelasan di dalam pasal 282 RKUHP yang khusus ditujukan kepada advokat.  “Sangat tidak masuk akal,” katanya. Abdul Rais menilai seorang advokat dipilih oleh klien untuk dijadikan kuasa hukum dalam perkaranya. “Kami ini kan dipilih, bukan memilih. Jadi kalau dikatakan advokat curang, itu konotasinya seolah-olah profesi kami  ini enggak bener dan asal-asalan," jelasnya. Rais pun mendukung pernyataan salah satu advokat senior di ibu kota yang juga Ketua Umum DPN PERADI, Otto Hasibuan. Dalam wawancara yang diterbitkan Media Justitia, Otto Hasibuan menyampaikan beberapa poin yang kurang tepat berkenaan dengan Pasal 282 RKUHP. Pasal terkait advokat sudah diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), sehingga menjadi sebuah repetisi dan dirasa tidak perlu ada. Kemudian substansi Pasal 282 RKUHP hanya menyoroti kesalahan atau potensi kesalahan advokat yang sebetulnya sudah diatur jelas dalam kode etik advokat. Perbuatan curang tidak hanya dapat dilakukan oleh advokat, tetapi juga penegak hukum lain atau bahkan oleh klien, terhadap advokat. "Advokat itu justru tugasnya memengaruhi hakim, panitera dan segala sesuatu hal yang terkait dengan hukum dalam arti yang positif, yakni dengan meyakinkan hakim terhadap dalil-dalil hukum dan pendapat-pendapat hukum. Di dalam pasal ini hanya disebutkan kata-kata ‘memengaruhi panitera, memengaruhi hakim’. Nah, bagaimana yang dimaksud dengan memengaruhi hakim? Ini nanti bisa menjadi bias yang mempersulit pembuktian, serta merugikan profesi advokat," ujarnya lagi. "Saya dukung pernyataan Pak Otto Hasibuan, kan dia ada menjelaskan poin-poin yang sebenarnya sudah ada nanun masih dibuat juga. Kan kesannya seperti tumpang tindih aturan," tambah Rais. Perbuatan curang atau melanggar kode etik akan mendapat sanksi berat dan bahkan berpotensi untuk dipecat. Pasal 282 RKUHP terkesan diskriminatif, prejudice dan tendensius, karena hanya ditujukan kepada advokat. Lebih lanjut, Rais menjelaskan mengenai akibat dari penerapan pasal tersebut terhadap hubungan advokat dan klien yang kemudian mengancam profesi advokat. Pada beberapa kondisi, advokat diberi kuasa oleh klien untuk berunding dengan pihak lawan yang tidak selalu berakhir menguntungkan klien. Apabila hasilnya merugikan, namun telah disepakati oleh klien, dalam kacamata hakim dan hukum, kondisi ini tetap dapat dinyatakan sebagai kondisi yang merugikan klien. Dengan demikian, advokat tidak bisa melaksanakan tugas dengan baik dan profesi advokat menjadi terancam. Hal tersebut juga akan berimbas pada terhambatnya advokat dalam menegakkan hukum. Terlebih lagi saat ini tengah digembar-gemborkan terkait restorative justice (upaya untuk mendamaikan para pihak). "Padahal tanpa pasal itu sendiri, advokat tidak mungkin merugikan kliennya apabila sudah diberikan kuasa. Hubungan antara advokat dan klien adalah kepercayaan. Makanya dikatakan bahwa profesi advokat adalah profesi yang noble," kata Otto Hasibuan. PERADI sendiri menyadari dalam praktek ada advokat yang berlaku curang terhadap klien dan perlu mendapatkan sanksi. Tetapi tidak tepat apabila dikenakan dengan Pasal 282 RKUHP tersebut. "Selama ini kalau ada orang yang melanggar, akan ditindak tegas oleh Dewan Kehormatan melalui penjatuhan sanksi dan bahkan ada yang dipecat.” tambah Abdul Rais. Keberadaan Pasal 282 tidak tepat untuk dimasukkan pada RKUHP karena akan sangat merugikan advokat dan para pencari keadilan. Dengan adanya pasal ini, advokat berpotensi untuk menolak menemani klien dalam perundingan akibat khawatir akan dituduh sebagai “advokat curang". *BOM/YOS

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: