Cobaan Karina

Cobaan Karina

Lebih murah yang dimaksud adalah sekitar Rp 150 juta sekali stem cell. Harus tujuh kali pula ke Jepang. “Saya kuat-kuatkan. Saya akhirnya benar-benar kolaps. Mental dan finansial,” ujar Karina.

Satu-satunya yang menjadi obat dukanyi adalah: sang ibu sembuh. Kini berusia 75 tahun. Masih aktif ke klinik, sebagai dokter ahli kulit.

Di Jepang itulah sang ibu juga menjalani stem cell T-Cell dan NK Cell. “Sampai sekarang sudah enam tahun. Ibu sehat sekali,” ujar Karina.

Karina begitu senang ibundanyi sembuh. Lalu muncul tekad Karina untuk membawa teknologi stem cell T-Cell dan NK-Cell itu ke Indonesia.
Tekad itu tidak bisa menemukan jalan keluar. Mahal sekali. Kondisi finansial Karina lagi kolaps.

Saat itulah datang tokoh penting ke lab Karina: Sandiaga Uno. Wajah Karina kuyu. Sandi mencoba mengorek kenapa Karina begitu sedih. Karina hanya diam.
Akhirnya tekad Karina untuk membawa teknologi T-Cell dan NK-Cell mengalahkan keengganannyi. Sandi pun mau meminjami dana. Sampai Karina mendapat pinjaman bank.

“Begitu dapat pinjaman, utang ke Pak Sandi langsung saya lunasi,” ujar Karina.
Kesedihannyi mulai hilang. Dia pun bisa melakukan penelitian di situ. Dia rampungkan disertasi S-3 di UI itu. Dengan topik stem cell. Telat sekali. Batas akhir DO-nya tinggal tiga bulan.

Karina lulus. Dengan IPK tinggi –tapi tidak mendapat predikat cum laude. Tertunda-tundanya ujian S-3 itu yang membuat dia gagal cum laude. “Yang penting lulus. Dan ibu sembuh,” kata Karina. Karina bahagia. Ayah-ibunya melihat dia dinobatkan jadi doktor. Sang ayah, 78 tahun, kini juga masih aktif sebagai konsultan air minum.

Karina itu dokter. Spesialis bedah plastik. Doktor bidang stem cell. Pelopor aaPRP. Cantik. Rambut keriting. Mau apa lagi?
Dia ingin aaPRP jadi protokol nasional penanganan Covid-19.  Jenis-jenis duka terberat sudah dia lewati. Ketakutannyi sudah habis. Tinggal yang tersisa: keberaniannyi. (*)

sumber: disway.id

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: