Cobaan Karina
BELUM tentu ”aaPRP” – nya Dr dr Karina bisa jadi protokol nasional untuk penanganan Covid-19 di Indonesia.
Mestinya saya tidak boleh pesimistis begitu. Kan bukan watak saya. Tapi Karina pasti akan dipersoalkan oleh komite etik Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Karina itu dokter ahli bedah plastik. “Tahu apa Karina soal penyakit dalam, termasuk Covid.”
Kata-kata seperti itu sudah mulai mendera Karina belakangan ini. Bertubi-tubi. Pun sampai ke hujatan. Sejak Karina menerapkan terapi aaPRP untuk pasien Covid.
“Anda sudah dipanggil komite etik?” tanya saya.
“Nanti malam,” jawab Karina, kemarin siang. Dia tidak merasa panik.
Karina akan jalan terus. Dia sudah melaksanakan uji coba tahap pertama: 10 orang. Tahun lalu. Dilanjutkan uji coba tahap dua: 20 orang dengan kontrol 10 orang. Maksudnya: ada 30 pasien; yang 20 diberi aaPRP, yang 10 tanpa aaPRP.
Semuanya sudah berhasil dilakukan. Semua pasien uji coba adalah mereka yang sudah kelas berat. Yang sudah pakai alat bantu pernapasan. Hasil baik itulah yang dia tulis untuk delapan jurnal internasional –yang tiga sudah dipublikasikan. Termasuk kemampuannya dalam menurunkan D-Dimer.
Hasil baik itu bisa diikuti di jurnal internasional –lihat saja di link yang ditemukan di komentar pembaca Disway kemarin.
Jumlah pasien uji coba yang sedikit itu, kata Karina, sesuai dengan izin etik dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Tentu saya juga menonton video-video yang terkait dr Karina. Di satu video saya terpana. Kok Karina secara spontan, bisa mengucapkan kalimat Naudzubillah min Dzalik. Dengan fasih dan lancar.
Saya pun ingat tidak semua siswa SMAK Santa Ursula Jakarta beragama Katolik. Demikian juga di SMAK Kanisius Jakarta –tempat suami Karina sekolah.
“Saya mewarisi tradisi baik di Santa Ursula. Dapat pasangan hidup dari Kanisius, hahaha,” ujar Karina bercanda.
Saya senang melihat Karina sudah bisa tertawa. Manis. Berarti duka di hatinyi sudah benar-benar berlalu. Setidaknya dia sudah lebih tenang menghadapi sidang komite etik malam harinya.
Puncak dukanyi terjadi ketika Karina dikejar batas akhir untuk memperoleh gelar doktor. Ujian doktor itu tertunda-tunda terus. Penyebabnya: ibunda Karina sakit kanker. Kanker usus.
Lebih sulit lagi: sang ibu –dokter spesialis kulit– tidak mau dikemo. Sebagai dokter sang ibu khawatir pada efek samping kemoterapi.
Itu persis seperti saya. Saya juga tidak mau dikemo –ketika terkena kanker hati stadium 4 lebih 16 tahun lalu. Sebenarnya saya sudah dikemo. Di sebuah RS di Singapura. Sakit sekali. Tidak kuat. Saya minta dihentikan. Saya pilih biarkan saja mati. Saya sudah rela.
Tapi Karina tidak rela ibunyi meninggal dunia. Sang ibu, waktu itu 69 tahun, kian lemah.
Usus sang ibu sudah berhasil dipotong. Sepanjang sekitar 60 cm. Di Jakarta.
Memang usus yang tersisa berhasil disambung. Sukses. Tapi protokol kanker masih mengharuskan sang ibu menjalani kemo. Teoretis, bibit-bibit kanker mungkin saja masih ada di sekitar itu. Atau di tempat lain. Itu harus dikemo. Agar tidak berbiak lagi.
Tapi sang ibu menolak untuk dikemo. Karina harus cari jalan lain. Karina ingat kunjungannyi ke Korea Selatan. Waktu itu bersama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Saat Ahok masih menjabat Plt Gubernur DKI Jakarta.
Di Korea itulah Karina bertemu seorang profesor ahli stem cell. Waktu itu rombongan Ahok memang mengunjungi satu rumah sakit terkenal di bidang stem cell. Bahkan Ahok minta agar Karina membawa teknologi itu ke Indonesia.
Karina pernah mencatat nama profesor itu. Dia hubungi sang profesor, untuk melakukan stem cell bagi sang ibu.
“Bawa saja ke Jepang. Lebih murah,” ujar sang profesor lantas memberikan arahan ke mana di Jepang itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: