Alamak! Oplas Juga Kena Pajak
Jakarta, nomorsatukaltim.com – Pemerintahan Joko Widodo terus berburu objek pajak demi menambal keuangan negara. Setelah sembako premium dan objek lainnya, giliran operasi plastic untuk kecantikan yang akan dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN).
Pemerintah menganggap kegiatan itu hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu yang mampu saja, sehingga adil untuk dipungut pajak. "Contoh saja, biaya operasi plastik untuk kecantikan yang hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu akan dikenakan PPN," ungkap Kementerian Keuangan dalam laporan APBN KiTa edisi Juni 2021, dilansir CNNIndonesia.com pada Kamis (24/6). Rencana ini merupakan tindak lanjut dari penghapusan pengecualian PPN atas sejumlah barang dan jasa, salah satunya jasa kesehatan. Dengan begitu, selanjutnya jasa ini bakal dipajaki. Tapi, Kemenkeu menggarisbawahi bahwa pengenaan pajak bagi jasa kesehatan tidak akan dipukul rata. Sebab, pungutan pajak hanya akan menyasar jasa kesehatan selain kebutuhan dasar. Hal ini juga berlaku bagi rencana pengenaan PPN ke barang kebutuhan pokok (sembako) dan jasa pendidikan. "Bentuk konkret meningkatkan keadilan adalah dengan tidak mengenakan PPN atas sembako yang dijual di pasar tradisional, jasa pendidikan yang mengemban misi sosial kemanusiaan (nonkomersial), dan jasa kesehatan yang dibayar melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)," terang Kemenkeu. Kemenkeu turut memastikan pengenaan pajak tidak akan dikenakan bagi hasil pertanian dari petani dalam negeri. Namun, menyasar hasil pertanian impor. "Tentunya tarif PPN atas barang dan jasa tersebut di atas lebih rendah daripada tarif umum PPN," tulis Kemenkeu. Lebih lanjut, rencana penghapusan pengecualian PPN selanjutnya akan ditindaklanjuti dengan merancang tarif PPN secara multitarif. Dengan begitu, tarif pajak tidak tunggal seperti saat ini sebesar 10 persen, tapi bervariasi. Rencana PPN multitarif ini merujuk pada kebijakan yang sudah dilakukan banyak negara di dunia, di mana rata-rata tarif standar PPN di dunia di atas 20 persen. Sementara rata-rata tarif terendahnya di atas 8 persen. Austria misalnya, menerapkan tarif standar 20 persen dan tarif rendah 13 persen. Sedangkan Turki menerapkan masing-masing 18 persen dan 8 persen. "Pengenaan tarif lebih rendah untuk barang dan jasa tertentu yang dibutuhkan masyarakat berpenghasilan rendah. Ini memberikan rasa keadilan dengan pengenaan tarif yang lebih tinggi untuk barang mewah atau sangat mewah," tandasnya. * sumber: CNN IndonesiaCek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: