Hadang COVID-19, Pilih Vaksin atau Obat?

Hadang COVID-19, Pilih Vaksin atau Obat?

Kepopuleran vaksin untuk mengatasi COVID-19 nyaris menutup diskursus soal obat. Padahal berbagai peristiwa di dunia menunjukkan kemampuan vaksin tak mampu membendung penyebaran wabah.

Balikpapan, nomorsatukaltim.com - Jutaan vaksin COVID-19 sudah disuntikkan kepada masyarakat dunia. Di Indonesia, sampai kemarin 17,29 juta jiwa menerima vaksinasi. Meski begitu, Satgas COVID-19 nasional masih mencatat ribuan orang terinfeksi setiap hari. Bahkan, ratusan di antaranya meninggal dunia. Di Kudus, Jawa Tengah misalnya, 60 desa masuk zona merah akibat gelombang kedua virus asal Wuhan, Tiongkok itu. Pemerintahpun mengambil langkah darurat untuk mengatasi kejadian itu. Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko mengirimkan 2.500 dosis Ivermectin, ke tiga desa, kemarin. "Keadaan darurat ini seperti rumah yang terbakar baru depannya saja. Jangan sampai kita tunggu api melahap seluruh rumah baru kita berbuat sesuatu karena akan sangat terlambat,” kata Moeldoko dalam keterangan tertulis sebagai Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).  Ia mengemukakan alasannya terkait pemberian Ivermectin kepada masyarakat Kudus. Di Indonesia, Ivermectin mulai diproduksi PT Harsen Laboratories. Dalam pernyataan yang dirilis beritasatu.com, Senin (7/6), Sofia Koswara, Vice President PT Harsen Laboratories mengklaim obat itu berhasil menurunkan jumlah kematian hingga 25% di India. Memangkas jumlah orang yang terinfeksi hingga 80%. “Hanya tiga pekan setelah menambahkan Ivermectin di New Delhi, kasus terinfeksi yang memuncak 28.395 orang pada 20 April lalu turun secara drastis menjadi 6.430 orang pada 15 Mei. Kematian juga turun sekitar 25 persen pada bulan yang sama,” kata Sofia. “Sebetulnya kami juga sudah membagikan Ivermectin ini kepada ribuan orang di Indonesia sejak September tahun lalu. Hasilnya sangat bagus,” tutur Sofia. Sofia membagikan Ivermectin karena melihat keberhasilan di berbagai negara ketika itu. Ivermectin berhasil di 16 negara lain seperti Slovakia, Meksiko, dan Peru. Budhi Antariksa mengatakan Ivermectin merupakan obat minum dan memiliki potensi menghambat pembelahan atau anti replikasi virus, serta memiliki kemampuan sebagai anti peradangan. Budhi Antariksa ialah ahli paru dari Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI) yang memimpin uji klinis Ivermectin dengan Balitbangkes, Kemenkes di RS Persahabatan dan RS Sulianti.

Mencegah atau Mengobati

Dalam situasi saat ini, baik mana, mencegah atau emngobati? Tiga dokter yang memiliki pengalaman berpraktik di bidang medis dan pelayanan kesehatan di Samarinda, mengutarakan pendapat yang nyaris seragam terkait hal ini. drg. Nina Endang Rahayu, M.Kes, mantan Kepala Dinas Kesehatan Samarinda 2009-2017 meyakini bahwa dalam upaya pengentasan pandemi COVID-19 ini, para peneliti belum akan berkonsentrasi menemukan obat yang spesifik dapat menyembuhkan infeksi virus tersebut. Ia berpendapat, bahwa dalam setiap penanganan virus, ilmu medis tidak mengenal penggunaan obat untuk membasmi virus. Melainkan hanya berupaya meningkatkan kekebalan tubuh manusia, agar dapat secara alami mengendalikan proses replikasi virus di dalam tubuh. "Obatnya COVID-19, ya vaksin, karena virus tidak ada obatnya," tegas Nina Endang Rahayu ditemui disela aktivitasnya di Samarinda. Lebih jauh dia menjelaskan, dalam hal penanganan virus yang mewabah, upaya terbaik yang dapat dilakukan adalah pencegahan. Yakni meningkatkan daya tahan tubuh masyarakat secara luas sebelum terjangkit oleh sesuatu yang bersifat mikroorganisme tak kasat mata yang memiliki kemampuan menular dan berkembang secara cepat itu. "Artinya yang belum terinfeksi diberi vaksin," imbuh mantan Direktur RSUD I.A.Moeis Samarinda. Menurutnya, selama ini memang hampir tidak ada upaya penemuan obat dari sebuah virus yang tengah beredar. Nina menyamakan konteks ini dengan pandemi-pandemi virus sebelumnya, seperti flu dan influenza. Upaya yang dilakukan hanya peningkatan daya tahan tubuh. Itulah kenapa yang dikembangkan adalah vaksin bukan obat. "Kalaupun ada pengobatannya, itu hanya pengobatan terhadap gejala yang ditimbulkan oleh infeksi virus tersebut," ungkap perempuan yang kini menjabat Asisten II Setkot Samarinda. Di samping itu, ia mengatakan, setiap orang yang terinfeksi COVID-19 selama ini cenderung memunculkan gejala yang berbeda-beda. Misalnya seperti sesak napas, linu tulang, dan sebagainya. Gejala-gejala itulah yang kemudian diobati. Gejala yang disebabkan virus COVID-19 pun berbeda-beda pada setiap orang dalam hal tingkat keparahannya. Mulai dari orang-orang terinfeksi yang tidak dapat merasakan gejalannya, sampai yang merasakan dalam tingkatan sedang hingga berat. Akan tetapi, gejala yang semula dinilai tergolong ringan, dapat segera berkembang dan penderita masuk pada kondisi pemburukan secara tiba-tiba. Utamanya pada orang-orang dengan daya tahan tubuh rendah. Di sisi lain, menurutnya, sudah banyak riset menemukan bahwa COVID-19 telah meninggalkan bekas atau flek-flek paru organ paru manusia. Yang dalam istilah medis hal itu disebut jejas. Selain itu, para praktisi medis kini menemukan bahwa COVID-19 dapat menyebabkan pengentalan atau gelembung-gelembung dalam darah. Yang disebut D-dimer. D-dimer, sebut dia, pun berbeda di masing-masing orang yang terserang virus corona. Bahkan tidak selalu orang yang terjangkit COVID-19 meninggalkan D-dimer. "Tergantung dia kuat apa tidak. Kalau dia kuat maka besar kemungkinan virus belum sempat menimbulkan D-dimer, virus telah hilang," paparnya. Tetapi hal itu semua, ujarnya, dapat diobati, kendati membutuhkan rentang waktu yang panjang untuk menemukan terapi obat yang tepat. "Jadi artinya covid ini terbukti meninggalkan jejas. Maka peneliti akan meneliti obat untuk menyembuhkan jejas tersebut," katanya memberi contoh. Dia juga menerangkan, meski ada penelitian, selama ini, sejak beberapa kali pandemi virus melanda dunia, belum pernah ada penelitian yang berhasil diselesaikan untuk menciptakan obat yang spesifik untuk menyembuhkan virus tersebut ketika menjangkiti manusia. Meskipun, tambahnya, ada obat yang dalam praktiknya disebut antivirus. Tetapi antivirus tersebut hanya bersifat universal. Yang artinya, berfungsi menangkal virus yang menjangkiti manusia secara umum. Dari situ, dia menyimpulkan, bahwa untuk menghadapi pandemi ini, senjata utamanya adalah peningkatan daya tahan tubuh atau antibodi. Jika terjadi, pengobatan yang dilakukan hanya terhadap gejala yang ditimbulkan. Agar supaya tidak terjadi perburukan. "Untuk meningkatkan antibodi, caranya ya gaya hidup sehat, PHBS, istirahat cukup, pikiran positif. Itu akan meningkatkan hormon kebahagiaan. Hormon kebahagiaan meningkat maka daya tahan tubuh juga akan meningkat. Maka yang terpenting adalah harus bahagia," pungkas perempuan kelahiran Sragen 1962. Mantan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kaltim, Andi Muhammad Ishak pun mengungkapkan demikian; Proses penemuan obat terutama virus sangat panjang dengan biaya yang besar. Kendati ada peluang untuk itu. Sementara itu, tambahnya, beberapa penyakit akibat virus sampai saat ini belum dapat ditemukan obatnya, semisal influenza. "Apalagi COVID-19 yang relatif sangat baru," ujar Andi M.Ishak. Kenapa harus mengutamakan vaksin? Untuk menjawab itu,  Andi M.Ishak berbicara mengenai sebuah prinsip. Bahwa konsep mencegah dinilai jauh lebih baik dari pada mengobati. Sehingga menurutnya, kalau bisa dicegah, maka itulah yang akan ditempuh. "Selain lebih efektif juga efisien, jika mencegah dengan vaksin," imbuhnya. Pendapat terhadap diskursus ini juga diutarakan Setyo Budi Basuki, yang saat ini menjabat Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur. Ia berujar, bahwa COVID-19 adalah penyakit yang disebabkan oleh virus. Sementara menurut pemahaman dia, virus adalah sesuatu yang tidak ada obatnya. Maka, katanya, bila orang yang terjangkit virus dalam kondisi sehat, seseorang tersebut hanya akan sembuh dengan sendirinya. Basuki mengatakan, upaya yang sangat tepat adalah bagaimana meningkatkan kekebalan, secara alami dengan menerapkan pola hidup bersih dan sehat (PHBS). Walaupun kekebalan yang terbentuk tidak spesifik. Dalam vaksin, kekebalan yang dihasilkan adalah model kekebalan buatan, yang spesifik dapat menangkal kekuatan virus tertentu dari menimbulkan gejala penyakit. Prinsipnya, kata dia lagi, obatnya adalah meningkatkan daya tahan tubuh. "Bukan obat untuk membunuh virusnya," kata Basuki kepada media ini. "Covid itu mirip flu," ungkap dia. "Jadi, tinggal mana yang lebih penting, pencegahan atau pengobatan," tandasnya.

Vitamin dan Olah Raga

Berdasarkan pengalaman penyintas COVID-19, selama menjalani masa isolasi di fasilitas perawatan darurat, pasien hanya diberi vitamin, makanan padat gizi, jadwal olahraga rutin dan asupan-asupan motivasi untuk selalu berpikir positif. "Waktu perawatan di wisma itu, obat yang diberikan baru sebatas obat yang mengurangi gejala penyakit yang timbul. Misalnya ada keluhan sesak nafas, diberi obat sesak nafas. Sesuai keluhan," kata Muhammad Rafi’i, Minggu (6/5). Vitamin yang diterima, kata dia, khusus vitamin D dan C dalam bentuk tablet. Yang diberikan sepaket dengan obat anti virus, dalam bentuk kapsul. Dijadwalkan dua kali sehari. Pada pukul 07.00 pagi dan 19.00 menjelang malam. Vitamin D dan C terus diberikan dua kali sehari selama ia menjalani isolasi hampir dua pekan itu. Sementara kapsul anti virus, katanya, hanya diberikan hingga hari ke tujuh ia berada di Wisma Atlet. "Karena kebetulan keluhan saya cuma hilang penciuman dan hilang rasa, jadi cuma diberi vitamin dan anti virus tadi aja," ujarnya. Selain diberi asupan vitamin dan antivirus, pria kelahiran Tenggarong ini juga diwajibkan rutin berolahraga dan berjemur di bawah terik matahari pagi selama dalam proses karantina. Ia juga diminta untuk selalu berpikir positif. Dan diberi makanan berjadwal dengan takaran gizi seimbang. "Kegiatan pagi olahraga kecil dan sarapan, kadang senam bersama, atau jogging santai secara mandiri. Jam 10 pagi disuruh berjemur paling tidak 15 menit," tutur dia. Hal yang sama, dilakukan pada sore hari. Dimulai sekitar pukul 16.00 menjelang petang. Agenda rutin itu menurut dia, bersifat wajib. Dengan tujuan, seperti yang disampaikan para petugas isolasi, adalah untuk meningkatkan imun atau kekebalan tubuh. "Makan sehari tiga kali, dengan takaran gizi yang sudah diatur sama tenaga kesehatan. Menunya persis makanan di rumah sakit," ungkapnya. Dengan treatment seperti itu, pekerja media inipun akhirnya dinyatakan sembuh dari Corona.  (*)   Pewarta: Darul Asmawan 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: