Menyambangi Saffana dan Semua yang Serba Tak Terduga

Menyambangi Saffana dan Semua yang Serba Tak Terduga

Sederhananya, Saffana adalah festival flora, fauna, dan makanan. Dibuat untuk memfasilitasi komunitas dan industri flora dan fauna mencari ‘nafkah’. Yang sudah 2 Ramadan ini minim pendapatan. Akibat pandemi yang tak terduga. Dibuat dengan konsep minimalis, ternyata hasilnya di luar dugaan.

Samarinda, nomorsatukaltim.com - Saya menyambangi Saffana yang merupakan akronim dari Samarinda Flora Fauna & Food Festival itu di hari kesepuluh. Di hari terakhir. Ketika sinar matahari Samarinda sudah mulai menyengat kulit eksotik saya di pukul 11.30 Wita. Jujur, ekspektasi saya tidaklah terlalu besar. Ini Samarinda, dan agenda yang akan saya datangi ini adalah festival. Dua hal itu memiliki relevansi besar. Kalau tidak tahu … Ikam hanyar kah di Samarinda? Tapi sejak pertama festival itu dipromosikan, saya memang sudah berniat betul mendatanginya. Untuk sebuah alasan sederhana, mendukung gerakan kepariwisataan Samarinda, dan juga Kaltim. Itu saja. Maka jika pun nantinya akan kecewa dengan apa yang ada di dalam festival itu, saya tidak akan kecewa-kecewa amat. Untuk alasan ‘kontribusi’ itu. Menjelang masuk area Saffana yang terletak di Jalan PM Noor, Samarinda. Deretan roda 4 tampak berjejer di tepi jalan. “Wah, ramai juga ya,” batin saya. Memasuki area parkir, saya semakin terkejut karena memang beneran banyak yang datang. Makin bertanya-tanya, kenapa bisa seramai ini? Memang di dalam ada apa, sih? Sebelum pertanyaan-pertanyaan itu terjawab. Saya sudah disambut udara segar kawasan tersebut. Matahari memang sedang menyengat tajam, tapi yang mampu menembus pepohonan di situ hanya sinarnya saja. Maka kesan pertamanya adalah … adem. Petualangan kecil di Saffana lalu berawal di loket masuk. Di sana, saya antre di barisan berbeda. Langsung cek suhu, yang alatnya langsung menyemburkan cairan disinfektan. Lalu menunggu teman di samping gerbang utama. Jadi saya ke situ rombongan, dan sistemnya, satu rombongan satu pembeli tiket. Untuk mengurai kerumunan. Urusan tiket kelar, kami lalu masuk ke Zona VIP. Di zona pertama ini, ada 3 bagian lagi. Pertama pengunjung langsung disuguhi tenant bunga-bunga ‘mahal’. Saya tidak berbohong, melihat anggrek beraneka rupa itu bermekaran, mata saya langsung segar saja. Ada sih rasa ingin memiliki salah satunya, tapi karena saya dan istri tidak punya riwayat menjadi pemelihara tanaman yang baik. Jadilah berlalu saja. Tak jauh, tampak beberapa orang sedang mengantre (lagi). Rupanya, itu adalah para orang tua yang ingin membawa buah hati mereka bercengkrama dengan beberapa hewan di kawasan, yang sebut saja super mini zoo. Di dalam situ, pengunjung bisa berfoto ataupun berbincang walau tak berjawab dengan beberapa burung kakak tua, kura-kura, dan beberapa hewan peliharaan unik lainnya. Beranjak ke tempat terakhir di Zona VIP. Kembali pengunjung disuguhi oleh tenant flora unik. Berbagai macam bunga yang tak berbunga. Ya, sejenis aglonema dan kolega. Lalu ada juga perintilan untuk menopang perawatan tumbuhan-tumbuhan itu di rumah. Mulai dari pot, media tanam, hingga tongkat penyangga yang terbuat dari sabut kelapa. Di sebelah kanannya ada tumbuhan berbuah macam jambu air, jeruk nipis dan lainnya. Selepas area itu, masuklah ke zona kedua. Berada di bawah tenda raksasa. Barisan tenant dibelah dua, kanan dan kiri. Di situ, pengunjung bisa melihat pertunjukan flora mini nan unik. Dari kaktus, hingga bebungaan lainnya. Juga hewan-hewan dari bangsa marmut hingga ular, ada di situ. Walau berada di bawah tenda, suasananya tetap adem. Karena terpasang kipas angin besar yang mengonversi air jadi embun tipis-tipis itu. Ada beberapa kipas angin. Sehingga udara tetap segar. Cukup lama saya berada di area itu. Karena bawa anak, yang rasa penasarannya tinggi sekali dengan hewan-hewan yang selama ini hanya mereka lihat di poster-poster ‘mengenali hewan’. Sembari menjelaskan ini dan itunya. Dengan pengetahuan ala kadarnya tentunya. Kalau mentok, bisa bertanya pada si empunya tenant. Mengakhiri kunjungan, kami lalu melipir ke zona terakhir, Food Festival. Sebelum masuk ke area itu, pengunjung telah dinanti tempat cuci tangan dan semacam pembatas untuk memandu ke area penganan. Beberapa rupa makanan, dari yang ringan sampai yang berat ada. Dari aneka sosis, cumi, hingga soto dan bakso. Semua ada. Minuman beraneka warna dan rasa juga terpajang menarik minat. Coba tebak apa yang saya pilih? Tidak ada, hehe. Ya, gimana, tengah hari di bulan Ramadan. Tampaknya saya salah jam untuk bisa menikmati semua suguhan yang ada. Di belakang tenant makanan dan sebelum pintu keluar. Ada kandang kuda. Ada dua kuda di sana, dengan dua orang jokinya juga. Pengunjung bisa menaiki kuda dan berkeliling kandang mini. Lalu berfoto. Saya sempatkan ke sana, selain salah satu jokinya adalah teman saya. Juka karena anak lelaki saya pengen betul naik kuda. “Bapak, Ibu, sesi riding akan dibuka lagi jam setengah dua ya. Sekarang mau istirahat dulu. Bagi yang tidak sempat, bisa mengunjungi Rumah Ulin Arya di Bayur di lain waktu,” kata Krisdiyanto. Joki kuda yang saya sebut sebagai kawan tadi. Beberapa ibu-ibu kecewa, karena tidak kebagian. Saya pun begitu, bukan salah mereka. Karena memang raut dua joki itu lelah sekali. Bibirnya kering. Entah karena sedang berpuasa atau pura-pura puasa. Tapi berbekal sedikit rayuan, sebenarnya memelas sih. Kris tidak tega, dan mempersilakan saya masuk. Sekitar 30 detik. Sekadar menaikkan anak ke atas kuda, jepret-jepret, keluar. Anak saya sempat protes kenapa kudanya tidak jalan. “Kudanya capek, mau istirahat dulu,” jawab saya sekenanya. Coba memberi pemahaman pada bocah 4 tahun itu. Berbincang sebentar dengan rombongan, kami pun bergegas keluar. Sebelum ke parkiran, saya ajak mereka berfoto di depan gerbang utama. Yang terbuat dari ranting kering dan tanaman menjulur –Janggut Musa-. Biar kayak orang-orang saja. Foto di situ. Kesimpulannya adalah, sepulang dari Saffana. Istri dan anak saya senang. Kawan-kawan rombongan senang. Saya, jangan ditanya. Ekspektasi saya patah. Saya mendapatkan experience yang saya butuhkan ketika mengunjungi sebuah pertunjukan. Intinya menyenangkan, sulit digambarkan. Ini festival kecil, menurut saya. Tapi dengan konsep yang rapi. Saya mendapat pengalaman yang hebat. Pada unggahan Facebook, saya sempat berkelakar, Saffana lebih dari Festival Mahakam. Maksud saya, Festival Mahakam memang lebih besar gaungnya. Namun soal pengalaman, saya lebih menikmatinya di Saffana. Bahkan hanya dengan modal Rp 10 ribu untuk tiket saja. Karena parkir gratis. Sebuah pengalaman tak terduga. Semoga Saffana menjadi festival tahunan.

Cerita di Balik Saffana

JADI memang Saffana ini berangkat dari situasi pandemi COVID-19. Wabah virus yang tak diduga-duga itu, membuat banyak lini usaha lemas. Termasuk industri tanaman dan hewan. Baik untuk mereka yang menjual tanaman-tanaman unik. Ataupun pemilik fauna spesialis pertunjukan. Melihat fenomena itu, Direktur Rumah Ulin Arya, Sheila Achmad coba merangkai ide-ide yang sempat ia pikirkan sejak setahun lalu. Membuat pameran tanaman dan hewan. Tujuan utamanya adalah profit. Sheila tak mau berbasa-basi soal itu. Karena ya itu tadi, selama masa pandemi. Usaha pertunjukan flora dan fauna minim pendapatan. Beberapa kali ide membuat festival tumbuhan dan hewan. Namun selalu tertunda karena satu dan lain hal. Lantas, dengan Rumah Ulin Arya yang mengalami penurunan kunjungan karena pandemi. Dan puncaknya diprediksi terjadi pada bulan Ramadan. Sheila pun sejak dua bulan lalu bertekat mengadakan festival ini di bulan puasa. Dia bilang, coba mencari THR untuk komunitas flora dan fauna. Itu tujuan utamanya. “Tujuan awal Saffana, selain dari dulu kepengin ada hiburan yang bisa dinikmati semua kalangan. Komunitas tanaman dan satwa di Samarinda lagi susah. Jadi pengin roda ekonomi berjalan walau kecil,” jelas Sheila. Kenapa disebut hiburan untuk semua kalangan? Karena tiketnya hanya Rp 10 ribu saja. Sangat terjangkau. Sheila, di awal penyusunan konsep Saffana. Sempat terbesit bahwa festivalnya ini tidak akan ramai pengunjung. Sekarang masih pandemi, bulan puasa pula. Tapi toh, ketakutan itu hanya bisa terjawab ketika sudah melakukan aksi. Berbekal niat dan kreativitas, Saffana digaungkan. Untuk mempromosikan festival ini, Sheila yang didaulat sebagai pemimpin proyek. Banyak mengandalkan media sosial, melakukan broadcast ke pelanggan Rumah Ulin Arya, dan bantuan dari beberapa selebgram lokal. “Ternyata di luar dugaan, pengunjung membeludak. Memang paling terasa itu dampak dari selebgram itu.” “Tentu senang ya, pengunjung banyak. Tapi cemas juga. Khawatir kena tegur Tim Satgas COVID-19.” “Makanya terpaksa kami batasi. Setiap zona maksimal 300 orang. Kalau sekiranya sudah penuh, pagar kami tutup.” “Sempat beberapa kali ketika kami tutup pagar, lalu mempersilakan calon pengunjung untuk berlalu saja. Tapi mereka tidak mau. Mereka mau masuk. Lumayan bikin cemas.” “Tapi kami tetap komitmen menjaga protokol kesehatan. Selain melibatkan Tim Satgas, kami (Rumah Ulin Arya) juga mengerahkan cukup banyak kru untuk selalu berkeliling. Meminta pengunjung selalu mengenakan maskernya,” jelas Sheila dalam perbincangan 16 menit lewat saluran telepon pada nomorsatukaltim.com. Disinggung kenapa diadakan pada bulan Ramadan. Sheila menerangkan bahwa memang ide membuat festival ini dadakan sekali. Dan memanfaatkan momentum sepinya wahana Rumah Ulin Arya pada bulan puasa. Mengenai Food Festival yang jadi kurang maksimal karena digelar pada bulan Ramadan. Yang membuat pengunjung sungkan makan di tengah orang-orang yang berpuasa. Sheila bilang bahwa walau tidak terlalu laku di siang hari, makanan laris manis saat petang datang. “Setiap hari itu saya terima laporan kalau makanan selalu ludes, Mas. Mungkin kalau Mas datang malam, kesannya akan berbeda. Karena lampunya bikin tambah menarik.” “Banyak pengunjung yang malah buka bersama di sana. Jadi penjualan makanan minuman tetap tinggi,” jelasnya lagi. Lalu bagaimana dengan tenant tumbuhan? Sheila dengan bangga bilang, “Saya tak mau sebut merk. Tapi beberapa ada yang dapat di atas Rp 30 juta!” Secara keseluruhan, perputaran uang di Saffana sungguh menggembirakan. Maka tujuan awal untuk wahana mencari cuan untuk pengusaha tumbuhan, hewan, dan tanaman pun disimpulkan dengan … sukses. Hal tak terduga lainnya yang datang adalah, mayoritas pengunjung memberi testimoni yang bagus. Mereka puas dengan Saffana. “Bahkan Pak Rusmadi (Wawali Samarinda) saja sampai datang tiga kali, lho,” Sheila bangga. “Pokoknya saya terima kasih sekali untuk masyarakat Samarinda. Ini benar-benar di luar dugaan kami. Bahwa ternyata antusiasmenya setinggi ini,” katanya. Lalu apakah Saffana akan menjadi festival tahunan? Sheila awalnya masih malu-malu menerangkan rencananya. Namun jika tidak aral melintang, dia bilang Saffana dengan konsep berbeda akan dibuat lagi untuk tahun-tahun selanjutnya. “Pak Rusmadi malah minta jangan jadi agenda tahunan. Kalau bisa 6 bulan atau 3 bulan sekali, Mas. Kami masih pikirkan dulu,” terang Sheila. “Insyaallah kalau tidak ada halangan, mau dibuat lagi bulan Maret tahun depan. Dengan konsep yang lebih matang dan tidak dadakan. Karena kemarin saja, banyak kawan-kawan flora dan fauna dari Jawa yang mau ikut tapi tidak sempat.” “Padahal mereka punya ragam flora dan fauna yang lebih unik. Sayang estimasi waktu ekspedisi dan karantina tidak sempat. Semoga ke depan bisa berkolaborasi dengan mereka.” “Pokoknya yang akan datang itu, konsepnya lebih gila dan lebih seru!” Sheila mengakhiri obrolan. (*/jurnalis disway kaltim-nomorsatukaltim.com/eny)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: