Analisis IHSG Pekan Ini, Cenderung Sell on Strength Kalau…
Balikpapan, nomorsatukaltim.com – Pada pekan ini, pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih akan dipengaruhi sentimen global. Khususnya dari Amerika Serikat.
Seperti kembali naiknya pasar Wall Street akibat baiknya kinerja laba korporasi. Serta terkendalinya yield obligasi Amerika Serikat menjadi sentimen positif pasar. Pekan ini pelaku pasar akan mencermati rencana pajak Biden, pernyataan chairman The Fed, serta naiknya kasus COVID-19 di berbagai negara. Dengan begitu, IHSG berpeluang konsolidasi menguat pekan ini dengan support di level 5,962 sampai 5,883. Dan resistance di level 6,045 sampai 6,115. “Cenderung sell on strength (SOS) bila terjadi penguatan di atas 6,100,” kata Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee kepada Disway Kaltim pada Minggu, (25/4). Berikut sentimen yang memengaruhi pergerakan IHSG pada pekan ke-4 April 2021. Pertama, Presiden Joe Biden dikabarkan berencana mengusulkan pajak capital gain yang lebih tinggi bagi orang kaya. Bloomberg News melaporkan bahwa Biden merencanakan kenaikan pajak capital gain hingga 43,4 persen untuk orang berpenghasilan lebih dari USD 1 juta. Proposal akan menaikkan tingkat pajak penghasilan marginal 39,6 persen dari 37 persen. Proposal tersebut menargetkan pendanaan sekitar USD 1 triliun untuk child care, pendidikan pra-TK dan cuti berbayar untuk pekerja. RUU pajak diperkirakan menghadapi tantangan dari banyak orang di Wall Street. Dan diperkirakan peningkatan pajak capital gain lebih rendah. UBS menyatakan hanya 25 persen pemilik akun investor domestik di pasar saham AS yang terkena pajak. Selebihnya capital gain bukan subyek pajak karena pemilik akun pensiunan, dana abadi dan akun investor asing. Sehingga dampak secara umum terhadap harga saham akan terbatas sekalipun tarif pajak capital gain lebih tinggi. Kedua, pekan ini pelaku pasar menanti pertemuan The Fed berikutnya 28 April. Chairman The Fed, Jerome Powell kemungkinan akan mengulangi pesan bahwa pembicaraan tentang tapering masih terlalu dini. Tetapi investor mencermati setiap komentar tentang kemungkinan mengurangi pelonggaran moneter di masa depan. Kebijakan moneter yang longgar akan memberi tekanan pada imbal hasil US Treasury dan membatasi kenaikan dolar terhadap sebagian besar mata uang. Imbal hasil US Treasury 10-tahun juga melemah di tengah berita bahwa Biden akan mengusulkan kenaikan pajak bagi warga Amerika Serikat yang berpenghasilan tinggi. Kebijakan moneter yang longgar ditambah yield US Treasury 10-tahun menjadi sentimen positif bagi pasar saham. Ketiga, pasar saham Amerika Serikat terbantu karena sebagian besar emiten di Wall Street membukukan kinerja yang lebih dari perkiraan. Rilis kinerja laba emiten menjadi pusat perhatian pada pekan depan karena ada 40 persen emiten dengan kapitalisasi besar dalam Indeks S&P 500 merilis kinerjanya. Beberapa emiten teknologi papan atas Microsoft, Alphabet Inc, Apple Inc dan Facebook Inc. Laba kuartal pertama diperkirakan meningkat 31,9 persen dari tahun lalu dan merupakan level tertinggi sejak kuartal keempat. Menurut Hans, hasil kinerja emiten yang kuat disambut positif investor sehingga belum melakukan profit taking di emiiten dengan hasil kinerja terbaik. “Saat ini valuasi saham sudah tinggi dan hampir mencapai rekor tertinggi S&P 500 dan Dow,” ujarnya. Keempat, ekonomi global akan pulih dari dampak pandemi dengan kecepatan yang tidak pernah terjadi sejak tahun 1970-an. Jajak pendapat Reuters terhadap lebih dari 500 ekonom meyakini momentum yang kuat di tengah sebagian besar perekonomian utama dunia. Optimisme pemulihan ini sebagian besar dipimpin oleh penyebaran vaksin COVID-19 secara luas, likuiditas besar-besaran dari berbagai bank sentral, dukungan fiskal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Amerika Serikat sedang menyiapkan lebih banyak lagi stimulus dan adaptasi berkelanjutan dari kegiatan ekonomi untuk mengatasi mobilitas yang lemah. Ekonomi global diprediksi tumbuh rata-rata 5,9 persen tahun ini, tercepat sejak tahun 1970-an. Prediksi tersebut lebih tinggi dibanding ekspektasi pada Januari lalu sebesar 5,3 persen. Dan naik tajam dibandingkan dengan ekspektasi pada tahun lalu ketika pandemi mulai terjadi. Kelima, di tengah proses vaksinasi ternyata Daily New Cases COVID-19 di dunia justru bergerak ke level tertinggi. India tercatat sebagai negara dengan rekor kasus harian tertinggi dunia dengan 332.503 kasus. Sehingga total kasus menjadi 16.257.309 kasus. Meningkatnya COVID-19 di India dibarengi sejak ribuan orang mandi massal di Sungai Gangga, yang merupakan festival keagamaan terbesar di dunia. Menurut laporan, orang-orang dalam jumlah besar berdesak-desakan di tepi sungai. Organisasi kesehatan dunia WHO memperingatkan bahwa kasus baru COVID-19 di dunia bergerak menuju level tertinggi yang pernah terjadi. Seiring dengan peringatan kasus COVID-19 terlihat saham-saham yang diuntungkan dengan adanya pembukaan ekonomi kembali mengalami pelemahan. “Pelaku pasar takut pada gelombang ketiga di beberapa negara dan menjadi penghambat kenaikan indeks,” ucap Hans Kwee. Keenam, pemerintah dan perusahaan di negara berkembang menarik pinjaman dari pasar luar negeri dengan mencatatkan rekor baru di kuartal I-2021. Risikonya meningkat karena beberapa negara mengalami kebangkitan kembali kasus COVID-19 dan memaksa negara tersebut melakukan lockdown yang ketat. Penarikan pinjaman melalui eurobonds (surat utang yang diterbitkan di luar negeri) dalam mata uang dolar, euro, dan yen mencapai puncak Maret 2021, dengan penggalangan dana mencapai USD 191 miliar. Beberapa negara berkembang harus berjuang melawan kebangkitan kasus infeksi virus COVID-19. Dan naiknya imbal hasil obligasi sejak awal 2021. “Hal ini membuat risiko aset EM menjadi meningkat. IMF menaikkan perkiraan untuk pertumbuhan global tahun 2021 dan tahun 2022, tetapi memperingatkan adanya "perbedaan pemulihan", dengan sebagian besar pemulihan negara berkembang tidak sebaik negara maju, dan dalam beberapa kasus lebih buruk dari perkiraan sebelumnya,” sebut Hans. Selanjutnya, sentimen yang juga akan memengaruhi pergerakan IHSG yaitu dari dalam negeri. Lembaga Pemeringkat Rating and Investment Information, Inc. (R&I) mempertahankan peringkat Sovereign Credit Rating Republik Indonesia pada BBB+/outlook stabil (Investment Grade). Kata Hans, hal ini menunjukkan keyakinan internasional atas terjaganya stabilitas makroekonomi dan prospek ekonomi jangka menengah Indonesia di tengah pandemi COVID-19. Yang didukung oleh kredibilitas kebijakan dan sinergi bauran kebijakan yang kuat antara pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia. Di mana ekonomi Indonesia diperkirakan kembali tumbuh ke level sebelum pandemi COVID-19 dalam satu hingga dua tahun ke depan. Rasio utang pemerintah Indonesia termasuk terendah dibandingkan negara berkembang lainnya. November 2020 mengesahkan Omnibus Law Cipta Kerja untuk mendorong investasi dan penciptaan lapangan kerja. Hans menambahkan, untuk menarik investasi asing dalam pembiayaan proyek khususnya infrastruktur, pemerintah telah membentuk Sovereign Wealth Fund dan secara intensif mengalokasikan anggaran untuk pembangunan infrastruktur. “Indonesia masih akan menjadi tujuan investasi dana asing ke depannya,” tutupnya. (fey/eny)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: