Samarinda Butuh Area Resapan Air, Jika Tidak Mau Tenggelam

Samarinda Butuh Area Resapan Air, Jika Tidak Mau Tenggelam

Baik akademisi dan pegiat lingkungan berpendapat. Jika ingin menghentikan banjir, satu-satunya cara ialah mempertahankan ruang resapan air.

Samarinda, nomorsatukaltim.com  – Langkah pemerintah menangani banjir mendapat kritikan kalangan pengamat lingkungan. Mereka rata-rata satu suara. Bahwa penyebab utama banjir adalah minimnya area resapan air.

Baik akademisi dan pegiat lingkungan berpendapat. Jika ingin menghentikan banjir, satu-satunya cara ialah mempertahankan ruang resapan air. "Samarinda itu, banjir karena kurangnya ruang air. Ruang air itu berupa bukit, lembah, gunung, rawa dan tumbuhan liarnya. Itu yang kurang sehingga terjadi banjir," sebut Misman, pegiat lingkungan. Pendapat yang sama sebelumnya disampaikan akademisi dari Universitas Mulawarman. Yang konsen pada bidang geospasial dan lingkungan. Juga, Krisdiyanto, pegiat lingkungan yang menghitung kapasitas air yang mampu ditampung Sungai Karang Mumus (SKM) dan potensi luapan air yang kerap terjadi. Misman bahkan berkata, kalau bukit, rawa, lembah, gunung, dan tumbuh-tumbuhan liar habis. Maka Samarinda diprediksi akan tenggelam. Karena menurutnya, penyebab utama banjir bukanlah sungai dan drainase. Melainkan kurangnya daerah resapan. Kendati pemerintah telah dan masih berupaya merevitalisasi drainase, membuat polder, memasang pompa, untuk menggantikan ruang resapan yang hilang. Misman meyakini fasilitas yang dibangun tersebut tidak akan mampu menahan atau menampung seluruh jumlah potensi air. "Sekarang rawa yang dirusak dengan diuruk misalnya 50 hektare, membuat polder ukuran 100x100 meter, dan sedalam 4 meter, ya jelas enggak sanggup lah," kata Misman. Ia mengemukakan, bahwasanya pembangunan yang dilakukan pemerintah yang tidak pernah menghitung kompensasi ekologi, adalah sebagai akar masalahnya. "Yang dilakukan selama ini hanya ganti rugi lahan. Bukan ganti rugi ekosistem," imbuhnya. Padahal, kata Misman, justru hal itu yang sangat penting. "Kalau tidak dihitung, ya siap-siap tenggelam seperti Jakarta," ingatnya. ANCAM AIR BAKU Hal lain yang Misman persoalkan ialah proses normalisasi sungai. Yang menurutnya hanya akan menjadikan sungai sebagai kanal. Dengan membangun turap di sepanjang tepinya. "Kalau sudah jadi kanal, yang terjadi antara dua saja. Kalau tidak tenggelam ya kekeringan," ungkap Misman. Dalam pemahamannya, fungsi utama sungai sejatinya adalah menyaring air. Hingga menghasilkan sumber air baku yang bersih. Bukannya menjadi media penyalur luapan air banjir. Lantas, kenapa pemerintah masih melakukan normalisasi? Semua itu karena pemerintah memandang sungai sebagai penyebab banjir, kata Misman. Menurutnya itu adalah cara pandang yang keliru. Ia menambahkan, drainase, normalisasi sungai, membangun polder pada tidak memberi dampak signifikan. "Itu kalau diteruskan, percuma. Enggak akan kuat kalau tutupan lahan di hulu terus dikupas. Penyebab banjir ini bukan di hilir, tapi di hulu. Rusaknya ekosistem dan tutupan lahan," jelasnya. "Kalau fokus pada bangunan fisik sama saja buang duit," tambahnya. Yang paling berbahaya, lanjutnya, yaitu hilangnya sumber air baku. Sebab normalisasi di kiri-kanan SKM sama saja secara perlahan menghabisi stok cadangan air tanah. "PDAM mau nyedot ke mana kalau itu dijadikan kanal. Air Mahakam itu kalau tidak ada anak-anak sungai enggak bakal ada airnya," tandas Misman. Mungkinkah biopori bisa membantu? Menurut Misman, membuat biopori bukanlah pilihan yang tepat dilakukan di Kalimantan Timur. Secara topografi dan karakteristik tanah tidak cocok. "Silakan saja gali, belum seberapa sudah nyembul airnya. Biopori itu untuk men-charge air. Zonanya tidak sembarangan. Salah-salah jadi bencana. Gimana sih. Malah meluber airnya ke mana-mana. Hati hati," papar Misman menggebu-gebu. Misman, menyarankan upaya yang tepat dilakukan pemerintah yakni mempelajari dahulu kompleksitas ekosistem. "Kemudian pemerintah dan masyarakat jangan semenah-mena menyerobot dan menghabiskan tutupan lahan," tekannya. Pemerintah, saran Misman, ada baiknya mengatur sistem kompensasi ekologi atau kompensasi ruang air. "Kalau tidak mau menuruti norma dan prinsip itu, maka habis lah. Memang kita masih selamat. Tetapi 30-40 tahun lagi anak cucu kita, habis sudah. Terus Samarinda mau pindah ke mana? Hati-hati dengan alam, kalau masih berpikir tentang anak cucu," pungkasnya. (das/eny)

Biopori hanya di Area Tertentu

Pegiat lingkungan lainnya, Krisdiyanto, berpendapat lebih kompromistis tentang upaya mengurangi genangan banjir dengan biopori. Menurutnya, membuat lubang biopori pada kawasan tertentu mungkin saja bisa. Dalam skala kecil, mengurangi intensitas genangan pada kawasan lokal. Bahkan ketika dibuat dalam skala besar sekalipun hanya akan memberi dampak yang kecil. Sementara itu, ia menjabarkan, untuk menampung air atau sistem tabung air hujan juga memiliki peranan lokal. "Sifatnya mengurangi genangan pada area-area tertentu. Yang memiliki topografi di atas zona catchment area resapan yang dialiri SKM," kata Kris, Kamis (15/4). Ia juga menjelaskan, proyek-proyek besar seperti yang dicanangkan pemerintah mungkin saja tidak bisa dihindari. Partisipasi biopori yang digerakkan masyarakat itu sifatnya hanyalah bentuk dukungan kecil. "Di mana pemerintah mendorong masyarakat untuk membantu mengurangi beban. Sehingga apa yang dibangun pemerintah bisa lebih optimal," tambahnya. Memang, kata Kris, untuk menyelesaikan masalah banjir sampai tuntas. Hampir seluruh kota-kota besar di seluruh dunia tidak ada yang bisa menyelesaikan. Namun yang bisa diupayakan yakni mengurangi jumlah area dan volume genangan. "Pada akhirnya kita harus menyesuaikan diri bahwa kota kita adalah kota sama rendah. Atau kota air. Kota di dalam air. Karena air, kita tidak hanya bermasalah ketika dia kering. Karena kebutuhan air baku juga bergantung pada sungai itu sendiri," ungkap Kris. Penanganan banjir di Samarinda, katanya, memang tidak bisa diselesaikan seperti membalikkan telapak tangan. Tetapi pada titik-titik tertentu, pembangunan yang sifatnya stimulan mungkin bisa mendapatkan sedikit  hasil. "Untuk biopori, tidak semua biopori bisa dilakukan di semua area. Karena biopori juga berpotensi menyebabkan bencana seperti tanah longsor," tuntasnya. (das/eny) https://www.youtube.com/watch?v=qZr0SYG9z6Y

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: