Hancurnya Kesepakatan Nuklir Iran di Tangan Amerika
Kesepakatan nuklir Iran belum kunjung dibahas lebih lanjut oleh Presiden AS Joe Bide. Padahal berbagai negara di Barat telah meminta Amerika kembali pada JCPOA yang dulu pernah diingkari Donald Trump.
MORGENTHAU dengan tepat menyatakan, politik dunia adalah tentang perebutan kekuasaan. Yang berkuasa melakukan apa yang ingin dilakukannya, dan yang lemah menerima apa yang harus diterimanya. Negara-negara kuat melibatkan negara-negara yang lemah dalam kesepakatan ketika hal itu menguntungkan bagi mereka, dan menarik diri dari kesepakatan ketika dirasa mungkin, tidak peduli apakah itu bertentangan dengan kemauan dan keinginan negara yang lemah. Sama halnya dengan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Kesepakatan tentang program nuklir Iran ini dicapai di Wina pada 14 Juli 2015 antara Republik Islam Iran dan lima anggota tetap DK PBB (China, Rusia, AS, Inggris, Prancis, dan Jerman). Di bawah kesepakatan tersebut, beberapa pembatasan ditempatkan pada program nuklir Iran dengan imbalan keringanan sanksi. Semuanya didukung oleh Resolusi DK PBB-2231 dan kepatuhan Iran harus diverifikasi oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Upaya ini memakan waktu hampir dua tahun, dan akhirnya pemerintahan Obama di bawah “kebijakan keterlibatan konstruktif” mencapai kesepakatan itu pada 2015. Saat ia menyatakan, “Kesepakatan ini menawarkan kesempatan untuk bergerak ke arah baru dan kita harus memanfaatkannya.” Namun, saat mantan Presiden AS Donald Trump berkuasa, dia menghancurkan kesepakatan dengan menyebutnya sebagai kesalahan sejarah. Pada 8 Mei 2018, di bawah kebijakan tekanan maksimum, secara sepihak AS keluar dari kesepakatan dan menerapkan kembali sanksi kepada Iran. Menurut Trump, kesepakatan itu gagal membatasi program rudal Iran. Karena Negeri Persia itu mulai mengabaikan pembatasan program nuklirnya setahun kemudian. Mantan Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo mengumumkan pada 27 Mei 2020 bahwa semua sanksi PBB yang dicabut berdasarkan kesepakatan nuklir akan diberlakukan kembali terhadap Iran. Dengan begitu, ada satu hal yang diperjelas oleh Amerika: ini adalah dunia yang kuat di mana hanya negara kuat yang membuat aturan dan yang dapat melanggarnya kapan pun. Bahkan jika itu bertentangan dengan keinginan negara lemah atau ketentuan yang disepakati berdasarkan kesepakatan. Namun, yang penting sekarang adalah melihat apakah penarikan AS telah membuat kesepakatan itu mati, dan apakah presiden Amerika yang baru terpilih, Joe Biden, dapat bergabung kembali dengan antusiasme yang sama? “Untuk mencari tahu pertanyaan-pertanyaan ini, kita harus terjun ke realitas geopolitik yang sedang dimainkan,” catat Ayesha Zafar di Modern Diplomacy. Analisis mendalam mengungkapkan kepatuhan penuh Iran terhadap perjanjian tersebut. Kenyataannya, Amerika yang secara sepihak menarik diri dari perjanjian tersebut untuk mengamankan kepentingan utamanya. Oleh karena itu, dalam menanggapi hal ini dan atas pembunuhan komandan IRGC Qasim Sulemani oleh serangan udara AS, Presiden Iran Hassan Rouhani dalam pidatonya pada 10 Januari 2019 mengumumkan “Iran tidak lagi mematuhi kesepakatan nuklir 2015”. Menurut Zafar, ini menjelaskan gambaran bahwa JCPOA tidak lagi dalam posisi yang bisa diterapkan dan praktis mati. Seiring Iran telah mengumumkan ketidakpatuhannya terhadap perjanjian tersebut setelah penarikan AS. Bukan hanya ini, tetapi Iran juga dalam beberapa tahun terakhir telah mulai bekerja kembali pada kapasitas nuklirnya. Ide tersebut didapat dari pelanggaran yang dilakukan Iran sejak 2019. Pelanggaran pertama ini dilakukan pada Mei 2019 ketika Iran mengklaim pelanggaran batas JCPOA karena kegagalan kesepakatan untuk memberikan keringanan sanksi seperti yang diusulkan. Rouhani menyatakan, “Iran tidak akan lagi membatasi cadangan uranium yang diperkaya rendah hingga 300 kilogram atau membatasi timbunan air berat hingga 130 metrik ton”. Langkah ini diambil pada 8 Mei 2019. Ketika Iran mulai melakukan pengayaan cadangan uranium yang dilansir International Atomic Energy Agency (IAEA). Menurut laporannya, “Iran melanggar batas timbunan uranium pada 1 Juli 2019, dengan melebihi 300 kg, pengayaan uranium dari 3,67 persen menjadi 4,5 persen, dan batas air berat pada 17 November 2019, melewati 130 metrik ton.” Lebih jauh lagi, di bawah kesepakatan nuklir, Iran dilarang memperkaya uranium dengan 5.060 sentrifugal IR-1 selama 10 tahun mendatang dan dilarang membangun sel panas di luar spesifikasi tertentu. Namun, tepat setelah penarikan AS, Iran telah melanggar pembatasan ini karena IAEA melaporkan pada 25 April 2019, “Iran telah memasang 33 sentrifugal canggih IR-6, 10 di antaranya sedang diuji dengan uranium. Di pabrik Natanz”. Pada 5 September 2019, Rouhani mengumumkan “komitmennya untuk penelitian dan pengembangan terbatas di bawah JCPOA akan dihapus sepenuhnya”. Dua hari kemudian, IAEA memverifikasi angsuran sentrifugal canggih Iran, dan pada 25 September, dilaporkan ada akumulasi atas uranium yang diperkaya dari mesin-mesin canggih. Tidak hanya itu, tetapi juga mulai ada transfer gas uranium dari Natanz ke fasilitas Fordow. Terakhir, Menteri Luar Negeri Iran, Javad Zarif mengumumkan pada 5 Januari, “Program nuklir Iran tidak akan lagi tunduk pada batasan operasional apa pun yang diberlakukan oleh JCPOA, dan ke depannya, aktivitas Iran akan didasarkan pada kebutuhan teknisnya.” Oleh karena itu, Zafar menegaskan, jelas penarikan AS dari JCPOA telah membuat kesepakatan itu mati. Namun, ini bukan hanya tentang kesepakatan. Tetapi lebih tentang konsekuensi yang terkait dengan penarikan sepihak AS dan reaksi selanjutnya dari Iran. Harapannya sekarang ada pada Biden. Yang telah menyatakan dalam kampanye kepresidenannya bahwa kebijakan “tekanan maksimum” telah gagal. Kebijakan itu telah menyebabkan eskalasi konflik, dan membuat Iran lebih dekat dengan pencapaian senjata nuklir daripada ketika sebelum Trump menjabat. Selain itu, Biden telah berjanji untuk bergabung kembali dengan perjanjian nuklir jika Iran kembali patuh. Tetapi sanksi tidak akan dicabut sampai Iran memulihkan kepatuhan penuhnya. Ini disambut secara positif oleh Rouhani. Ketika ia mengumumkan siap untuk berbicara dengan pemerintahan Biden tentang menghidupkan kembali kesepakatan. Zafar menyimpulkan, jika Biden dapat bergabung kembali dengan Kesepakatan Nuklir, maka stabilitas di masa depan tampaknya mungkin terjadi. (mmt/qn) Sumber: Kesepakatan Nuklir Iran Sudah Mati, Benarkah?Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: