Myanmar di Ambang Perang Saudara
Yangon, nomorsatukaltim.com - Kabur dari perkotaan, sekelompok warga sipil memilih bersembunyi di pedesaan hingga pelosok hutan. Untuk berlatih bela diri, mengangkat senjata dan membuat bom rakitan. Demi melawan militer Myanmar.
Para warga itu, termasuk perempuan, pelajar, aktivis, pekerja kantoran, hingga ibu-ibu, belajar cara mengisi senapan dengan peluru, menarik pelatuk granat, dan merakit bom api. Mereka percaya bahwa melawan adalah satu-satunya cara mengalahkan Tatmadaw, angkatan bersenjata Myanmar yang melakukan kudeta pada 1 Februari lalu. “Saya melihat militer seperti hewan liar yang tidak bisa berpikir, dan brutal dengan senjata mereka,” kata seorang perempuan dari Yangon yang sudah berada di kamp pelatihan di hutan selama beberapa pekan terakhir. “Kita harus menyerang balik mereka (Tatmadaw). Ini terdengar agresif. Tapi saya yakin kita harus membela diri dari mereka,” tegasnya. Seorang perempuan muda lainnya juga baru memulai pelatihan militer di hutan. Ia masih ingat, saat kecil berkumpul bersama keluarganya dan diam-diam mendengarkan siaran radio BBC, tindakan yang dulu bisa mendapatkan hukuman penjara. “Saya memutuskan untuk mempertaruhkan hidup saya dan melawan dengan cara apa pun yang mungkin saya bisa,” katanya kepada New York Times. Ia kemudian berkata, “Jika kita menentang secara serempak, kita akan membuat militer tidak bisa tidur dan hidup tidak aman. Seperti yang telah mereka lakukan terhadap kita selama ini.” Perempuan itu mengatakan, pasukan keamanan mengikuti perintah dan tidak memiliki tujuan yang lebih besar. “Kami memiliki keyakinan politik kami. Kami memiliki impian kami. Ini adalah pertarungan di mana kita harus menggunakan otak dan tubuh kita,” katanya. Tak hanya warga sipil, kelompok bersenjata yang selama ini bergerilya juga mulai memperlihatkan taringnya kepada junta militer. Pekan lalu, Tentara Kemerdekaan Kachin, yang selama ini berjuang untuk suku Kachin di Myanmar utara, melancarkan serangan mendadak terhadap Tatmadaw. Pada pekan yang sama, lima tentara Tatmadaw dibunuh oleh Tentara Pembebasan Nasional Karen, yang berjuang untuk etnis Karen. “Jika kelompok etnis bersenjata melancarkan serangan, itu bisa membantu meredakan tekanan pada pengunjuk rasa di kota-kota,” kata Padoh Saw Hser Bwe, sekretaris jenderal Serikat Nasional Karen, seperti dikutip The Straits Times. Yang terbaru, kelompok pemberontak di Rakhine, Tentara Arakan (AA), juga mengaku siap bergabung dengan etnis lainnya untuk melawan kudeta militer Myanmar. “Sangat menyedihkan bahwa orang-orang tidak bersalah ditembak dan dibunuh di Myanmar,” kata juru bicara AA, Khine Thu Kha, dalam sebuah pesan yang dikutip Reuters, Selasa (23/3). Kekejaman aparat Myanmar memang tak meluluhkan gerakan pemberontakan sipil terhadap rezim militer di seluruh negeri. Mulai dari guru, pegawai negeri sipil, dokter, hingga polisi turun ke jalan. Demi memprotes pengambilalihan kekuasaan pemerintah sipil secara ilegal oleh militer. Namun, beberapa pihak menganggap upaya semacam itu tidak cukup menaklukkan Tatmadaw. Mereka menganggap militer perlu dilawan dengan cara yang sama ketika mereka menindak para demonstran. Gelombang pemberontakan sipil terhadap junta militer ini terus meluas di Myanmar. Sejak kudeta berlangsung pada 1 Februari lalu. Aparat keamanan pun dilaporkan semakin brutal dalam menindak para demonstran. Komisi Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan, sampai saat ini, lebih dari 200 orang tewas dalam bentrokan antara aparat keamanan Myanmar dan pedemo. (cnn/qn) Sumber: Ibu-ibu hingga Pelajar Angkat Senjata Lawan Militer MyanmarCek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: