Menguak Akar Rasisme Amerika terhadap Keturunan China

Menguak Akar Rasisme Amerika terhadap Keturunan China

Washington, Nomorsatukaltim.com - Ketika virus corona menyebar dari China ke Amerika Serikat (AS), banyak dari penduduk bumi tahu apa yang akan terjadi: para rasis di negara itu akan mengaitkan asal-usul virus corona dengan orang-orang China di seluruh dunia.

Kemudian mereka akan mengarahkan kata-kata kasar rasis mereka kepada siapa pun yang “tampak” seperti orang Asia. Karena bagi para rasis, orang-orang Asia semua mirip. Ketakutan akan virus segera diterjemahkan menjadi ketakutan untuk membeli makanan dari restoran yang pemiliknya keturunan China atau Asia-Amerika. Bahkan sebelum virus menyebar di AS. Saat virus itu menyebar, serangan rasis juga turut menyebar. Laporan tentang orang Amerika-Asia diludahi, diteriaki, disuruh “kembali ke China,” mulai muncul di media sosial dan di berita. Dalam laporan pada 23 April, Stop AAPI Hate Reporting Center mendokumentasikan hampir 1.500 insiden pelecehan dan penyerangan anti Asia-Amerika sejak 19 Maret. Dilaporkan, wanita Asia-Amerika 2,3 kali lebih mungkin dilecehkan daripada pria Asia-Amerika. Semua ini terjadi setelah pernyataan rasis oleh Presiden Trump, yang menyatakan virus corona sebagai “virus China”. ORIENTALISME DAN RASISME “Untuk memahami rasisme anti-China dan anti-Asia-Amerika di AS saat ini, kita perlu melihat sejarah orientalisme,” kata Wayne Au di laman web Rethinking Schools. Secara historis, penjajah Eropa membingkai sebagian besar dunia mereka dalam istilah Barat (Occident) versus Timur (Oriental). Bagi mereka, orang Barat berbudaya, beradab, dapat dipercaya, murni, dan saleh. Sedangkan orang Timur biadab, tidak beradab, kafir, tidak dapat dipercaya, dan rusak secara budaya dan moral. Penggolongan itu memberikan pembenaran untuk ambisi kekaisaran penguasa Eropa. Para orientalis memandang orang China sebagai “gerombolan Mongolia” yang mengancam budaya dan nilai-nilai Eropa. Saat “Orang Timur” memasuki wilayah AS yang dijajah oleh pemukim kulit putih, komunitas China dan Asia-Amerika lainnya tidak pernah dipercaya sebagai anggota masyarakat yang sah. Orang kulit putih sering melihat mereka sebagai penyusup, pekerja sementara, orang luar, dan budaya lainnya. Ini adalah dasar ideologis dari “Bahaya Kuning”: menanggapi krisis ekonomi atau politik, komunitas Asia dan Asia-Amerika dibingkai sebagai ancaman non-Barat terhadap nilai-nilai dan supremasi “Amerika”. Pada 1848, ada sekitar 325 imigran China di benua Amerika. Pada 1880, 300 ribu orang China telah berimigrasi ke negara itu. Meskipun beberapa datang sebagai tanggapan atas Demam Emas California, sebagian besar dari mereka bekerja di jalur kereta api lintas benua. “Para baron kereta api kulit putih membayar pekerja China dengan gaji yang lebih rendah dan sering memberi mereka porsi pekerjaan yang paling berbahaya,” catat Wayne. Rasisme kulit putih sangat memengaruhi kondisi kehidupan di lingkungan Chinatown tempat para imigran dipaksa untuk menetap. Tuan tanah kulit putih sering menganiaya penyewa China-Amerika. Infrastruktur kota yang tidak konsisten, sistem pembuangan limbah yang kacau, dan kurangnya akses untuk mendapat air bersih berkontribusi pada kondisi kehidupan di bawah standar dan kemelaratan umum yang membantu menyebarkan penyakit. Media populer menggambarkan Chinatown sebagai kawasan kumuh, kotor, berbahaya, penuh “kejahatan” seperti perjudian, narkoba, dan prostitusi, dan penuh dengan orang-orang yang sama kotor dan berbahayanya. Demikian pula, orang kulit putih melihat lingkungan Chinatown sebagai ruang “asing” yang tidak beradab. Yang harus dikendalikan oleh otoritas Barat. Kiasan rasis ini meletakkan dasar untuk menyamakan orang China-Amerika dengan penyakit. Yang pertama kali terjadi lebih dari 100 tahun yang lalu, dan berlanjut hingga hari ini. KARANTINA CHINATOWN Pada 6 Maret 1900, ada kematian yang diduga akibat wabah pes di Chinatown San Francisco. Kemudian Dewan Kesehatan menutup kawasan itu. Lebih dari 35 petugas polisi ditempatkan di sekitar 12 blok. Otoritas kulit putih memblokir lalu lintas, membatasi pergerakan 25.000 penduduk, sebagian besar dari mereka adalah China-Amerika. Tetapi juga lebih dari 1.000 orang merupakan Jepang-Amerika. Namun, orang kulit putih diizinkan pergi. Karena orang kulit putih yakin mereka tidak bisa terkena penyakit tersebut. Orang China-Amerika San Francisco menolak karantina selektif ini. Anggota komunitas berkumpul untuk memprotes, dan Konsul Jenderal China San Francisco menyebut “Blokade Chinatown” sebagai tindakan rasis. Wali Kota James D. Phelan menekankan, karantina itu diperlukan karena orang-orang China merupakan “ancaman terus-menerus bagi kesehatan masyarakat.” Protes masyarakat China-Amerika membuat kewalahan para pejabat kulit putih, dan kurang dari tiga hari setelah dimulai, Dewan Kesehatan mengakhiri karantina tersebut. Setelah beberapa orang meninggal akibat wabah itu, pemerintah federal mengarahkan pejabat lokal untuk memberikan vaksin eksperimental, yang diketahui memiliki efek samping yang parah, kepada penduduk Chinatown. Mengutip dari catatan Rethinking Schools, pada pertengahan Mei, banyak orang China-Amerika memprotes, memperhatikan efek keras dari vaksin tersebut. Pada malam sebelum vaksinasi paksa, selebaran yang ditempel di sekitar Chinatown San Francisco mengumumkan penolakan. Bunyinya, “Sulit untuk melawan massa yang marah. Para dokter akan memaksa orang China untuk diinokulasi. Tindakan ini akan mengancam kehidupan kita semua yang tinggal di kota. Besok, semua rumah dan toko besar atau kecil harus ditutup dan menunggu sampai tindakan yang tidak adil ini diselesaikan. Sebelum siapa pun diizinkan untuk melanjutkan bisnis mereka. Jika ada yang tidak mematuhi ini, kami akan bersatu dan memboikot selamanya. Kalian telah diperingatkan!” Ketika sebagian besar dokter kulit putih dan pejabat kesehatan datang ke Chinatown untuk memulai program vaksinasi paksa, toko-toko tutup dan penduduk telah meninggalkan daerah itu. Pada hari-hari berikutnya, pengunjuk rasa China-Amerika melakukan unjuk rasa melawan orang China-Amerika. Yang mereka yakini bekerja sama dengan program vaksinasi. Pejabat kesehatan juga mengarahkan perusahaan kereta api untuk memblokir perjalanan orang China-Amerika dan Jepang-Amerika dari kota itu. Jika mereka tidak dapat memberikan bukti mereka telah mendapat vaksin. Seorang pedagang China-Amerika mengajukan keluhan ke pengadilan federal. Hakim Federal William W. Morrow kemudian membatalkan larangan perjalanan tersebut, dengan mengatakan, hal itu melanggar Klausul Perlindungan yang Setara dari Amandemen ke-14. Dia memutuskan pembatasan perjalanan “dengan tegas ditujukan kepada ras Asiatik atau Mongol sebagai satu kelas. Tanpa memperhatikan kondisi, kebiasaan, paparan penyakit, atau tempat tinggal individu sebelumnya”. Namun, pejabat kesehatan kulit putih mengarantina Chinatown San Francisco lagi. Setelah lebih banyak orang China-Amerika meninggal karena wabah. Pada 30 Mei, 53 petugas polisi berpatroli di sekitar daerah karantina rasial baru ini. Seorang reporter San Francisco Chronicle mengamati, dalam “diskriminasi untuk menetapkan batas embargo, tidak ada satu pun orang Kaukasia yang diduga terinfeksi. Meski mereka berbisnis di pinggiran distrik itu. Tetangga Asia mereka, bagaimanapun, terpenjara di dalam garis perbatasan.” RASISME DI SEKOLAH “Mengingat sejarah orientalisme rasis dan kekerasan anti-Asia-Amerika di AS, mudah untuk melihat bagaimana wabah COVID-19 baru-baru ini telah dengan mudah dan dapat diprediksi dipetakan ke komunitas China dan Asia-Amerika lainnya,” tulis Wayne. Ketakutan akan infeksi—baik dari wabah pes atau COVID-19—adalah hal yang wajar. Namun berkali-kali, epidemi telah digunakan untuk menyerang komunitas China, China-Amerika, dan imigran secara lebih luas. The New York Times melaporkan, jauh sebelum wabah COVID-19, Stephen Miller, kepala penasihat imigrasi Trump, ingin menghubungkan berbagai penyakit dengan imigran. Sebagai alasan untuk menutup perbatasan dan meningkatkan deportasi. Menurut Wayne, jika para siswa mempelajari sejarah anteseden untuk upaya ini, mereka akan lebih siap untuk melawan upaya supremasi kulit putih. Untuk menyamakan penyakit dengan komunitas non-kulit putih. Saat ini, para guru yang membuat kurikulum keadilan sosial online dan orang tua yang membantu pembelajaran jarak jauh berada dalam posisi untuk mengajari anak-anak tentang ketidakadilan historis. Seperti yang terjadi pada komunitas China-Amerika pada pergantian abad ke-20, serta berbagi kemenangan bersejarah yang diperjuangkan perlawanan dan protes. “Kita juga dapat menghubungkan sejarah ini. Saat kita melawan rasisme Anti-Asia. Selama krisis virus corona,” kata Wayne. (mmt/qn) Sumber: Sejarah Xenofobia di AS: Dari Dulu China Memang Dibenci

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: