Sederet Pekerjaan Rumah Menteri Kelautan dan Perikanan
OLEH: ADITYA PRASTIAN S*
Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap pimpinan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), penyelesaian sejumlah masalah perikanan nasional terbengkalai. Padahal problem perikanan sejak menteri KP baru di periode kedua Presiden Jokowi juga belum usai. Justru timbul masalah baru. Terkaman taring KPK yang menjerat menteri KP semakin mengindikasikan figur yang mengurusi perikanan di Indonesia sangat tidak kredibel. Padahal perikanan adalah salah satu Sumber Daya Alam (SDA) yang memiliki potensi besar di pasar. Terutama sebagai sumber mata pencaharian para nelayan dalam kegiatan ekonomi.
Perlu sosok yang berintegritas tinggi untuk mengatasi segala momok buruk yang sedang menimpa KKP. Integritas menjadi opsi utama bagi sosok pemimpin. Untuk menakhodai lembaga ini. Tugas utamanya adalah reformasi lembaga. Kemudian mengembalikan nama baik dan kepercayaan publik terhadap KKP yang baru dihantam badai korupsi. Terlepas dari persoalan isu korupsi, ada problematika perekonomian di sektor perikanan yang menjadi pekerjaan rumah yang harus segera dituntaskan. Karena sektor perikanan menjadi salah satu pendongkrak peningkatan ekonomi nasional. Akan tetapi sektor perikanan memiliki problem yang perlu diselesaikan oleh menteri KP yang baru. Semakin cepat persoalan perikanan bisa terselesaikan, semakin cepat pula taraf hidup kelompok nelayan bisa meningkat.EKSPLOITASI BERLEBIHAN
Berdasarkan keterangan Penasehat Menteri KP Nimmi Zulbainarni, saat ini terjadi penangkapan ikan yang berlebihan (overfishing). Dampaknya, kemampuan industri perikanan telah mencapai tingkat Maximum Sustainable Yield (MSY). Perlu perubahan pola ke arah Maximum Economic Yield (MEY). Karena produksi ikan telah mencapai puncak ekosistemnya. Efeknya, pasokan ikan yang menumpuk dapat mengurangi nilai ikan. Hal ini menuntut menteri untuk menambah ruang industri perikanan. Guna mengelola hasil tangkapan. Yang bisa meredam penurunan nilai ikan. Agar tidak merugikan nelayan. Selain itu, penangkapan ikan yang berlebihan bisa mengancam eksistensi ekosistem kelautan. Padahal ekonomi dan keberlanjutan kelautan harus seimbang. Supaya eksistensi kekayaan laut Indonesia tetap terjaga. Dalam mengambil kebijakan untuk menuntaskan masalah ini, kementerian perlu mecermati aspek ekologi, ekonomi, dan sosial. Dari aspek ekologi, kebijakan kementerian mesti tetap bisa menjaga SDA di bidang kelautan yang produktivitasnya berkelanjutan. Selain itu, menteri harus memitigasi dampak penangkapan ikan terhadap lingkungan. Kemudian dari aspek ekonomi, kebijakan harus menghasilkan keuntungan bagi pelaku usaha dan pemasukan bagi negara. Dan terakhir, aspek sosial perlu diperhatikan. Aspek ini berkaitan dengan nasib nelayan. Menteri perlu memaksimalkan peluang untuk meningkatkan mata pencaharian nelayan. Termasuk peluang bagi masyarakat untuk ikut berkontribusi dalam industri perikanan.PRAKTEK MONOPOLI
Dugaan monopoli perikanan berasal dari “endusan” Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Terkait ekspor benih lobster yang dilakukan dalam satu pintu. Hal ini menimbulkan masalah. Karena jasa logistik terdapat di berbagai daerah. Akan tetapi hanya Bandara Soekarno-Hatta yang dijadikan pintu keluar ekspor. Hal ini mengindikasikan praktek monopoli yang dilakukan oleh eksportir. Apalagi harga yang dipatok sangat tinggi. Sebesar Rp 1.800 per benih. Padahal umumnya harganya kurang dari itu. Ekspor lobster yang hanya melalui satu pintu tidak sesuai hukum pasar. Apalagi ada pintu ekspor di daerah lain. Ketika pelaku usaha menawarkan jasa yang cukup mahal, seharusnya penerima jasa memilih pelaku yang lain. Namun dalam peristiwa ini, walaupun harga telah dipatok cukup tinggi, para pengguna jasa tetap menggunakannya. Hal ini sebagai dugaan awal yang kuat. Bahwa praktek monopoli sedang menguasai ekspor perikanan nasional. KKP memiliki peran untuk memutus praktek monopoli perikanan nasional. Melalui kebijakan pengawasan yang ketat. Pengawasan aktivitas ekspor tidak hanya pada sektor benih lobster. Tapi semua hasil laut yang diekspor juga perlu diawasi. Ketika pengawasan berjalan baik, maka potensi monopoli tidak akan terjadi. Hal ini perlu dilakukan. Karena monopoli dalam ekonomi di Indonesia dilarang melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Selain melanggar hukum, praktek monopoli sangat merugikan kelompok nelayan. Praktek monopoli akan memperkaya eksportir. Karena memusatkan perekonomian. Dengan memanfaatkan hasil dari nelayan. Apalagi tarif tinggi yang dipegang oleh eksportir sangat mencekik nelayan. Yang sedari awal tidak mematok harga tinggi.EVALUASI KEBIJAKAN
Membuka keran ekspor seluas-luasnya terhadap benih lobster merupakan kebijakan kontroversial sejak Edhy Prabowo dilantik sebagai Menteri KP. Kebijakan ini sangat kontradiktif dengan kebijakan Menteri KKP sebelumnya: Susi Pudjiastuti. Sejak Permen KK Nomor 56 Tahun 2016 keluar, benih lobster dilarang keras untuk diekspor. Akan tetapi sejak Susi turun, Permen ini dicabut. Sehingga ekspor benih lobster dilakukan secara besar-besaran dan ugal-ugalan. Kebijakan ekspor benih lobster yang memiliki nilai kecil sangat merugikan nelayan. Di saat nelayan bisa mendapatkan nilai yang lebih tinggi. Apabila budi daya lobster dilakukan dengan baik oleh nelayan. Kita dapat menghasilkan lobster dewasa dengan kualitas bagus. Harga lobster dewasa lebih tinggi daripada seekor benih. Terlebih ekspor benur bisa mengakibatkan ekosistem lobster hilang di laut. Akibat sumber-sumbernya yang dieksploitasi. Harga lobster Indonesia di tingkat dunia mencapai 36 dolar AS (Rp 476.000 dengan kurs Rp14.000). Nilai tersebut tergolong tinggi bila dibandingkan dengan lobster Amerika. Yang masuk pasar Eropa. Yang hanya 14 dolar AS. Menteri KP yang baru perlu mengevaluasi kebijakan ini. Setidaknya ia bisa mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan kelompok nelayan nasional. Daripada hanya mengedepankan ekspor benih yang memiliki nilai lebih kecil, lebih baik benur tersebut dibudi daya terlebih dahulu.DISTRIBUSI BANTUAN
Pandemi COVID-19 mengakibatkan nelayan, pembudi daya dan pengusaha mengalami keterpurukan. KKP sebenarnya telah menyiapkan anggaran yang cukup besar. Dalam rangka mempercepat pemulihan ekonomi nasional di bidang kelautan dan perikanan. Namun realisasinya sangat rendah. Berdasarkan data Nasional Destructive Fishing (DFW), penyerapan anggaran KKP hanya 50,28 persen dari pagu APBN sebesar 5.082 triliun. Penyerapan anggaran yang rendah menjadi salah satu faktor penghambat pertumbuhan ekonomi sektor perikanan. Padahal kelompok masyarakat perikanan dan kelautan saat ini membutuhkan intervensi stimulus dari pemerintah. Agar bisa keluar dari situasi krisis akibat pandemi COVID-19. Dalam Islam, hukumnya wajib bagi pemimpin melayani umat. Hal ini berdasarkan Q.S. At-Taubah ayat 128. Yang menjelaskan kepemimpinan Rasulullah. Dari ayat itu, dijelaskan moral kepemimpinan Rasulullah: azizun alaihi ma’anittum. Artinya, rasa peka terhadap kesulitan rakyat ditunjukkan dengan kemampuan berempati dan simpati kepada pihak yang kurang beruntung. Menteri KP wajib meneladani sifat Rasul di atas. Ia dituntut untuk peka dan membantu pihak yang kurang beruntung. Dalam hal ini masyarakat perikanan. KKP perlu mengoptimalkan realisasi anggaran. Untuk membantu nelayan. Bantuan tersebut berupa alat tangkap. Juga bantuan untuk pembudi daya ikan seperti benih, mesin pakan, asuransi, keramba jaring apung, bantuan untuk pengolah dan pemasar ikan, petambak garam, termasuk di dalamnya mendorong kegiatan-kegiatan padat karya. Sehingga masyarakat perikanan bisa bangkit dari krisis dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional melalui sektor perikanan. (*Dosen Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: