Makan Hati Beleid Minyak Nabati

Makan Hati Beleid Minyak Nabati

Program biodiesel yang dijalankan hampir tiga tahun menyisakan berbagai persoalan. Mulai petani yang tak ikut menikmati penyerapan sawit, sampai pengguna B30 yang harus mengeluarkan biaya lebih karena dampak penggunaan minyak nabati.

nomorsatukaltim.com - Program mandatori biodiesel B30 dijalankan pemerintah pada akhir tahun lalu. Meski begitu, sejatinya sejak 2018, pemerintah sudah mewajibkan penggunaan bahan bakar nabati secara bertahap. Awalnya B20, lalu meningkat menjadi B30 atau pencampuran 30 persen minyak nabati dengan 70 persen bahan bakar minyak jenis solar. Tujuan program itu selain mendukung program pengembangan energi terbarukan dari Bahan Bakar Nabati (BNN), juga  mengurangi ketergantungan pada konsumsi bahan bakar fosil.  Menyerap produksi sawit dalam negeri yang melimpah. Meningkatkan ketahanan dan kemandirian energi, stabilisasi harga crude palm oil (CPO). Serta meningkatkan nilai tambah melalui hilirisasi industri kelapa sawit. Mengingat, bahan baku biodiesel berasal dari minyak sawit (CPO). Berdasarkan data Kementerian ESDM. Produksi biodiesel Indonesia terus meningkat. Pada 2018 produksi biodiesel tercatat sebesar 6,17 juta kilo liter. Meningkat hampir 81 persen dari produksi tahun sebelumnya. Dengan konsumsi domestik mencapai 3,75 juta kilo liter dan pangsa ekspor sebesar 1,79 juta kilo liter. Sementara produksi biodiesel hingga November 2019 telah mencapai 9,62 juta kilo liter. Dengan konsumsi domestik mencapai 6,92 juta kilo liter dan ekspor sekitar 1,47 juta kilo liter. Akan tetapi Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto mengaku tak mengalami perbaikan kesejahteraan. “Harga (dari) petani kecil sejak diberlakukan B20-B30 tidak ada perubahan. Tidak menolong,” kata Darto dilansir Tirto.id. Persoalan itu, kata Darto, akibat seluruh bahan baku biodiesel hanya disuplai perusahaan sawit besar. Bahkan, sebagian juga memiliki pabrik biodiesel. Ia berharap tata kelola ini diubah bila pemerintah mau mensejahterakan petani sawit. “Sekurang-kurangnya sawit dari petani harus diberikan hak berkontribusi terhadap 10-20% suplai sawit untuk keperluan biodiesel.” Permintaan Darto wajar saja. Faktanya data BPS menunjukkan porsi kebun sawit rakyat mencapai 5,81 juta pada 2018 alias 45,54% atau separuh kebun sawit yang tercatat. Sisanya, 6,36 juta atau 49,81%, dikuasai swasta.

KATA PENGGUNA

Di sektor hilir, persoalan tak kalah pelik. Para pengguna B30 mengakui adanya perlakuan khusus terhadap mesin-mesin peminum B30.  Supervisor Energy Primer PLN UPDK Mahakam Samarinda, Sumarjo mengatakan secara teknis tak ada perbedaan signifikan dibandingkan dengan penggunaan solar. Peforma mesin masih sama baiknya. Hanya saja, pemakaian bahan bakar memang mengalami kenaikan. Kemudian, filter mesin menjadi lebih boros. Karena bahan bakar B30 yang lebih kental. "Logikanya perbandingan dengan 30 persen nabati. Otomatiskan lebih kental. Banyak disaring," terangnya. Pihaknya mengatasi dengan menambah beberapa peralatan pencacah bahan bakar. Sehingga molekul bahan bakar yang besar bisa diperkecil. Sehingga filter bisa bekerja normal. Meski begitu Sumarjo memastikan PLN sepenuhnya mendukung pemakaian bahan bakar terbarukan. PLN bahkan pernah melakukan uji coba 100 persen CPO pada PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) di Bontang. Dan terbukti berhasil. Walau pun penerapannya belum terealisasi. "Karena baru uji coba. Untuk tender dalam jangka panjang dengan efisisensi lebih baik masih dikaji.  Tapi arah kesana sudah nyata bahwa PLN siap beralih ke energi terbarukan!" Tegasnya. Kembali ke penggunaan B30. Secara praktiknya, Marjo menyebut. Sejak awal tahun 2020, pengoperasian PLTD mulai minim dilakukan. Terutama, untuk jaringan on-grid interkoneksi di wilayah Samarinda, Balikpapan dan Bontang. Sehingga pemakaian B30 juga sangat minim. Hal itu, karena saat ini, kebutuhan listrik banyak dipasok dari Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbahan bakar batu bara. Dua pembangkit itu, dinilai memiliki biaya produksi yang lebih murah. Dibandingkan dengan PLTD. "Jadi praktik B30 di lapangan tidak terealisasi. Tetap digunakan, tapi tidak maksimal," ungkap Marjo. Pengoperasian PLTD saat ini dalam posisi standby. Artinya, tetap siap difungsikan kapan pun saat dibutuhkan. PLN UPDK Mahakam sendiri sebagai unit pelaksana pengendalian pembangkitan. Dalam pengoperasiannya, berdasarkan permintaan dari PLN Unit P2B (Pusat Pengatur Beban) di Balikpapan. Yang  bertugas mengatur sistem jaringan di Kaltim. PLN telah menggunakan biodiesel pada mesin PLTD sejak mandatori B30 diberlakukan. "Kami sudah full beralih ke B30 sejak mandatori pemerintah. Karena tidak diperkenankan lagi memakai B0 dan B20," ungkap Sumarjo, Senin (23/11/2020) siang. PLN UPDK Mahakam membawahi beberapa unit pembangkit. Di antaranya ada di Samarinda, Bontang, Tanjung Batu,  dan Sentawar. Selain Tanjung batu, 3 unit tersebut berbahan bakar biodiesel. Marjo juga menyebut, seluruh PLTD isolated yang berada di pelosok daerah, juga sudah menggunakan biodiesel dalam pengoperasiannya. "Artinya, PLTD yang kecil-kecil. Yang tidak on-grid atau interkoneksi dengan PLTD besar. Dengan jaringan 20 kV di desa-desa. Juga sudah menggunakan biodiesel," ucapnya. Sementara pembangkit di Kalimantan, kini didominasi oleh pembangkit listrik independen atau independent power producer (IPP) berbahan bakar gas dan batu bara. Yang dikelola swasta. Dari sisi pertimbangan bisnis pembangkit dengan cost yang lebih tinggi tidak dioperasikan. Selama pembangkit berbahan bakar murah masih mencukupi. Apalagi, Marjo menyebut supply pasokan listrik dari PLTG dan PLTD sudah mencukupi. Dengan mengoperasikan PLTD maka akan terjadi kelebihan daya pasok. "Saat ini posisi PLTD kita standby. Siap beroperasi ketika supply kurang," jelasnya. Penyerapan pasokan listrik dari IPP swasta memang cenderung lebih dioptimalkan. Karena kontrak pembayaran antara IPP dengan PLN sudah diatur oleh pusat. "Istilahnya dipakai atau tidak, kita tetap bayar ke swasta. Kalau tidak kita serap, kita buang uang percuma," kata dia. Mekanik senior di sebuah perusahaan penyewaan kendaraan di Balikpapan mengatakan, periode perawatan kendaraan pengguna B30 lebih pendek. Jika sebelumnya perawatan armada setiap enam bulan, saat ini kurang dari lima bulan. “Biasanya bagian yang perlu mendapat perhatian khusus di bagian injector,” kata seorang mekanik senior perusahaan. Campuran nabati yang tak habis mengakibatkan kerak penyebab sumbatan saluran injector. Sekretaris Perusahaan PT Transkon Jaya Tbk, Alexander Syauta yang dihubungi terpisah mengaku telah menggunakan B30 sejak 2018. “Dampaknya masih perlu penelitian lebih lanjut, bu. Tetapi memang dari sejak awal kami selalu memiliki prosedur perawatan yang cukup panjang dan kompleks,” katanya melalui pesan pendek. Karena itu, kata Alex, perubahan pada bahan bakar belum dirasakan secara maksimal. “Prosedur yang kami terapkan masih standar sama seperti biasanya dan biaya perawatan masih sesuai dengan proyeksi kami,” pungkasnya. Pengesahan UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja diperkirakan bakal mengubah kebijakan B30. Ini setelah Pasal 40 ayat 4 menyatakan; Bahan Bakar Minyak adalah bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari minyak bumi.  (krv/fey/yos)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: