Tanda-Tanda Kematian Demokrasi (1)

Tanda-Tanda Kematian Demokrasi (1)

Mereka melanjutkan, kematian demokrasi melalui pemilu benar-benar mengecoh publik. Dengan kudeta, seperti yang dilakukan Pinochet di Chile, tampak jelas telah membawa demokrasi menuju kematian. Istana kepresidenan terbakar, presiden terbunuh, dipenjara, atau terusir ke pengasiangan. Konstitusi dianggap tak berlaku.

Namun lewat jalan pemilu, sebut Levitsky dan Ziblatt, tak ada tank di jalanan. Konstitusi dan lembaga berlabel demokrasi lainnya tetap ada. Rakyat masih memberi suara. “Autokrasi hasil pemilu mempertahankan tampilan demokrasi sambil menghilangkan substansinya,” sebut mereka.

Dengan cara demikian, pemerintah membajak demokrasi secara legal. Dalam artian, disetujui lembaga legislatif atau diterima lembaga yudikatif. Boleh jadi, kata Levitsky dan Ziblatt, upaya-upaya itu digambarkan sebagai cara memperbaiki demokrasi.

Pemerintahan dari hasil pemilu berdalih membuat pengadilan lebih efisien, memerangi korupsi, atau membersihkan proses pemilu. Koran-koran masih terbit. Tetapi sudah ditekan. Sehingga menyensor diri. Rakyat yang mengkritik pemerintah kemudian menghadapi masalah hukum.

Kata dua profesor itu, orang-orang tak langsung menyadari apa yang terjadi. Banyak pihak yang percaya bahwa mereka masih hidup dalam demokrasi. Levitsky dan Ziblatt mencontohkan survei Latinobarometro pada 2011, rakyat Venezuela masih menganggap negaranya demokratis. “Mereka yang mencela tindakan pemerintah barangkali dianggap berlebihan dan bohong. Erosi demokrasi itu hampir tak terasa bagi banyak orang,” urai Levitsky dan Ziblatt.

Masih berdasarkan keduanya, para provokator (demagog) ekstremis bermunculan dari waktu ke waktu di semua masyarakat. Bahkan di negara yang menganut sistem demokrasi yang sehat. Merekalah yang membawa kehancuran demokrasi. Menurut Levitsky dan Ziblatt, mengisolasi ekstremis populer agar tak menuju tampuk kekuasaan membutuhkan keberanian politik. Namun ketika rasa takut, oportunisme, atau kesalahan perhitungan membuat partai-partai mapan membawa kaum ekstremis ke arus utama, maka demokrasi menghadapi bahaya.

Levitsky dan Ziblatt menyebut, kematian demokrasi juga ditandai dengan lembaga-lembaga menjadi senjata politik. Penguasa menggunakannya untuk menghantam mereka yang tidak sejalan dengan pemerintah. Kemudian mengubah aturan politik agar keseimbangan kekuatan berubah dan merugikan lawan pemerintah. Pemerintahan hasil pemilu menggunakan lembaga-lembaga demokrasi itu secara pelan-pelan, halus, bahkan legal untuk membunuh demokrasi.

Masih berdasarkan How Democracies Die, kematian demokrasi juga ditandai dengan perpecahan ekstrem di tengah-tengah masyarakat (polarisasi). Di negara demokrasi seperti Indonesia, polarisasi demikian bisa muncul karena arus dukungan yang berbeda di pemilu dari para pendukung fanatik calon presiden.

***

Meski konteks yang dicontohkan Levitsky dan Ziblatt berdasarkan fenomena di AS, tanda-tanda yang diketengahkan keduanya bisa menjadi alarm bagi warga negara untuk menyelamatkan demokrasi di Indonesia. Jika sewaktu-waktu syarat-syarat yang disebut keduanya sudah terpenuhi. Tentu saja, sebagai penegasan, artikel ini tidak bermaksud menghukumi Pemerintah Indonesia sedang membawa negara ini menuju kematian sistem demokrasi yang dipilih rakyat. Tetapi dalam beberapa bagian, baik oposisi maupun pemerintah beserta pendukungnya, sukar untuk tidak disebut secara perlahan membawa demokrasi di negara ini menuju kehancuran. (qn)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: