Yang Tua Yang Berjasa

Yang Tua Yang Berjasa

Regenarasi tenaga kerja sektor pertanian di Kalimantan Timur masih sulit dicapai. Jumlah angkatan kerja muda yang menekuni sektor ini jauh lebih kecil, dibandingkan sektor lain. Dengan kebutuhan pangan yang semakin besar, pemerintah harus segera mencari jalan keluar.

nomorsatukaltim.com - Selama bertahun-tahun, sektor pertanian kekurangan tenaga kerja muda. Kondisi ini menjadi salah satu penyebab minimnya produktivitas sektor ini. Meski bukan menjadi penyebab utama, namun kegagalan regenarasi bakal berdampak pada pemenuhan kebutuhan pangan di masa depan. Saat ini warga berusia lanjut menjadi penopang utama produksi kebutuhan pangan. Dari 266 ribu jumlah petani yang terdata, hanya 8 ribu petani berusia di bawah 25 tahun. Data yang dilansir Badan Pusat Statistik menunjukkan, petani berusia 65 tahun ke atas hampir tiga kali lipat dari angkatan muda. Angka tepatnya, 22 ribu lebih. Jumlah terbanyak ialah petani dengan usia 45 tahun sampai 54 tahun yang mencapai 77 ribu lebih. Soal minimnya petani muda sempat disinggung anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Aji Mirni Mawarni, baru-baru ini. Untuk memikat generasi muda mau menjadi petani, senator asal Kaltim ini berharap pemerintah memodernisasi alat-alat pertanian. “Selain bisa mendorong pemuda kita menjadi petani, teknologi pertanian juga mendorong peningkatan produksi pertanian,” kata dia. Sementara Pengurus Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Samarinda, berupaya menarik minat masyarakat terjun di sektor pertanian dengan rencana membangun Education Bussines Center (EBC) di Palaran. Program tersebut memadukan pengembangan sektor pertanian dengan obyek wisata. Pada tahap awal, KTNA akan membangun kawasan EBC di lahan seluas 59 hektare. Kemudian tahap kedua 100 hektare. Ketua KTNA Samarinda, Samsul Huda dalam keterangan usai bertemu Wakil Gubernur Hadi Mulyadi Juni lalu, mengatakan, dalam kawasan tersebut ditanam bibit buah-buahan lokal maupun impor dipadu dengan petakan sawah di tengah-tengah kebun.

INDUSTRIALISASI PERTANIAN

Pengurus Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kaltim, Herjhon Song Hadinata menilai, selain modernisasi alat pertanian, salah satu tantangan dalam mengembangkan pertanian ialah industrialisasi. Dan industrialisasi sulit diwujudkan tanpa dukungan permodalan dari perbankan. “Porsi perbankan dalam memberikan kredit kepada petani kita sangat kecil, kalau tidak mau dibilang tidak ada,” katanya belum lama ini. Apa yang disampaikan Herjhon didukung data penyaluran kredit perbankan yang dicatat Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Secara nasional, data pertumbuhan kredit di sektor pertanian, hanya sekitar 3,77 persen, per Juni 2020. Padahal, penyaluran modal kerja bagi petani menjadi salah satu upaya mendorong perkembangan sektor pertanian. Dari sudut pandang ekonomi, Eny Rochaida menyebut penyaluran kredit yang rendah pada sektor pertanian. Terjadi karena beberapa hal. Pertama, disebabkan oleh kurangnya peminat pelaku ekonomi dan wirausahawan pada sektor pertanian. Kedua, produktivitas sektor pertanian relatif rendah. Belum lagi, dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk proses produksi. Sementara, para pelaku usaha dan industri keuangan cenderung pada sektor riil yang langsung menghasilkan. Tidak perlu berlama-lama. Menurut Eny, fakta ini menjadi miris. Karena sektor pertanian lah yang paling banyak menghidupi rakyat dan menyerap angkatan kerja. "Ya memang kita sadari bahwa sektor pertanian sekarang kurang diminati. Kalau ada yang berminat, itu hanya pada sektor perkebunan," ucap Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Mulawarman (Unmul) ini. Kendala berikutnya kata dia, bisa jadi disebabkan oleh minimnya pemahaman ditingkat petani itu sendiri. Terkait proses kredit usaha di lembaga keuangan. Sehingga, menurut Eny perlu diberikan sosialisasi tentang lembaga keuangan dan produk yang ditawarkan. Kepada para petani. Serta perlunya membangun kesadaran pentingnya wirausaha pada sektor ini guna mendorong produktivitas. Pengamat pertanian Kaltim, Profesor Rusdiansyah tak kaget fakta minimnya dukungan perbankan di sektor usaha pertanian. Terutama kepada petani kecil di sektor tanaman pangan. Ia bisa menjelaskan akar masalah. Dari sudut pandang petani, regulasi peminjaman modal di lembaga keuangan, cukup sulit dan berbelit. Sementara, taraf pendidikan petani yang rendah cenderung tidak dapat memahami proses tersebut. "Petani mau ajukan kredit, tapi tidak tahu cara mengurusnya," ujarnya. Sedangkan dari pihak lembaga keuangan, baik perbankan dan leasing cenderung menganggap. Sektor pertanian kurang menjanjikan. Sehingga dari segi profit, kurang menguntungkan. Hal ini lah yang menyebabkan keraguan lembaga keuangan menyalurkan kredit usaha sektor pertanian. "Kita tidak bisa menyalahkan perbankan juga. Dari sektor keuangan, mereka khawatir kredit macet dan duit tidak kembali," kata Guru Besar Fakultas Pertanian Unmul ini. Solusinya, menurut Rusdi, pemerintah perlu membuat regulasi yang mudah dan tidak menyulitkan petani. Agar kredit pertanian bisa berjalan. Begitu pula dengan sosialisasi intens kepada para petani. "Misal, petani diberikan pinjaman tanpa agunan. Rp 10 juta bunga 4 persen. Selama 2 tahun," sarannya. Aspek sosialisasi ini penting. Meski Rusdi mengakui, sosialisasi sudah sering dilakukan pihak perbankan. Namun masalahnya, mereka tidak memahami kondisi para petani. "Sebenarnya menurut saya petani itu kalo pinjam duit bertanggung jawab. Cuma permasalahannya, berubah musim tidak panen. Bagaimana mau bayar? Sementara bunga jalan terus dan pinjaman membengkak," terangnya. Pihak perbankan dalam hal ini, perlu menjalin kerja sama dengan pihak akademisi atau pihak yang memahami permasalahan para petani. Sehingga penyumbatan masalah bisa diatasi. Guru Besar Fakultas Pertanian Unmul, Profesor Rusdiansyah menyebut, kecenderungan generasi muda saat ini. Enggan menjadi petani. Alasannya, usaha pertanian kurang menguntungkan. Mindset itu lah yang menyebabkan semakin minimnya milenial yang terjun ke sektor ini. "Sekarang bagaimana kita mengubah mindset itu. Banyak hal yang harus dilakukan," kata Rusdi, Selasa (10/11/2020). Salah satunya menurut dia, adalah kemudahan akses modal usaha. Untuk itu, ia berharap lembaga keuangan dapat memberikan kesempatan. Memberikan penyaluran kredit modal kerja untuk usaha pertanian. Apalagi, menurut Rusdi. Modal yang dibutuhkan untuk usaha pertanian tidak terlalu besar. Di sektor tanaman pangan, seperti palawija dan sayur-mayur. Hanya dibutuhkan modal antara Rp 3 hingga Rp 4 juta. Dalam sekali musim tanam. "Sayangnya, dari pihak perbankan, nominal segitu kan dianggap terlalu kecil dan tidak profit," keluhnya. Oleh karena itu, ia berharap ada campur tangan pemerintah yang dapat mendorong kemajuan sektor pertanian di Kaltim. Mengingat, pertanian merupakan sektor utama yang berperan penting pada perekonomian daerah. Baik dalam penyerapan tenaga kerja mau pun sumber pertumbuhan ekonomi. (krv/yos)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: