Babak Baru Uji Materi UU Ciptaker

Babak Baru Uji Materi UU Ciptaker

Arteria mengatakan, Presiden Joko Widodo juga berkali-kali meyakinkan kepada masyarakat mengenai manfaat UU Ciptaker. Di tengah resesi ekonomi yang mendera Indonesia, maka UU tersebutadalah obat dari pemulihan.‎

“Dalam konteks itu hadir dengan nama UU Cipta Kerja. Pak Jokowi berkeyakinan UU Cipta Kerja ini adalah pemulihan ekonomi nasional di tengah pandemi COVID-19 ini bisa lebih cepat dilaksanakan,” ungkapnya.

Para pelaku usaha, termasuk pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) juga dengan mudah membuat usaha. Karena semua perizinan yang berbelit-belit dihilangkan dalam UU Ciptaker.

“Jadi solusi untuk memudahkan berusaha adalah bagaimana perizinan yang menghambat bisa diperingkas. Melalui penataan sistem dan kelembagaan. ‎Mengenai tumpang tindihnya regulasi dan tumpang tindih kewenangan regulasi. Nah, ini yang dihapus adanya UU Cipta Kerja ini,” ujarnya.

Oleh sebab itu, lanjut dia, UU Ciptaker semata-mata dibuat pemerintah dan DPR untuk menyejahterakan masyarakat, serta tidak ada niat buruk pemerintah dan DPR bagi masyarakat Indonesia.‎

Namun demikian, Arteria mengatakan, DPR akan mengawasi implementasi UU Ciptaker yang bakal segara dieksekusi oleh pemerintah itu.

“Apakah nanti UU ini bisa memberikan efektivitas sesuai yang kita harapkan? Ya, kita tunggu. Tapi setidaknya ada keyakinan dari pemerintah, tanpa Omnibus Law, ekonomi lama pulihnya,” tukasnya.

KESALAHAN REDAKSI

Dikutip dari Antara, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Willy Aditya mengatakan, kesalahan redaksional dalam Omnibus Law Undang-Undang Ciptaker masih bisa diperbaiki. Meski sudah disahkan.

“Dalam praktik pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, kesalahan ketik seperti dicontohkan dimaksud, masih dapat diperbaiki meskipun RUU telah disahkan‎,” ujar Willy dalam pernyataannya di Jakarta baru-baru ini.

Menurut dia, masalah kesalahan redaksional dalam UU Ciptaker mestinya tidak perlu terlalu diributkan. Karena masih bisa diperbaiki.

Politikus Partai NasDem itu mencontohkan pernah ada kesalahan redaksional. Namun hal tersebut masih bisa diperbaiki. Misalnya pada ‎UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta ‎UU Nomor 49 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Mesuji di Provinsi Lampung.

“Kedua UU tersebut diperbaiki pada Distribusi II naskah resmi yang disebarluaskan kepada masyarakat dan pemangku kepentingan terkait,” katanya.

‎Willy menjelaskan, ‎berdasarkan Pasal 88 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (PPP), sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019, diatur bahwa penyebarluasan dilakukan sejak Prolegnas hingga pengundangan UU.

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 88 ayat (2) UU PPP diatur juga bahwa penyebarluasan dilakukan untuk memberikan informasi dan atau memperoleh masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan.

Pasal 96 ayat (1) UU PPP menyebutkan, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan atau tertulis. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Kemudian berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU PPP, pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: