Lianhua Diklaim Obat Corona, Dilarang Pusat, Diizinkan Daerah
Seiring meningkatnya jumlah kasus corona di Indonesia, peredaran obat yang diklaim mengatasi penyakit mematikan itu terus meningkat. Salah satunya Lianhua Qingwen Capsules. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Pusat melarang obat tradisional itu diperjualbelikan secara bebas. Tapi Balai POM Samarinda tak melarangnya. Kenyataannya, kita bisa membelinya dengan hanya membuka layar hape.
nomorsatukaltim.com - Coba saja buka marketplace yang ada di ponsel Anda. Cukup ketikkan Lianhua di kolom pencarian, maka akan muncul belasan penjual TCM itu. Di Bukalapak misalnya, kapsul berwarna hijau muda dan hijau tua dijual mulai Rp 42.250. Penjual tanpa ragu memasarkan traditional chinese medicine itu sebagai ‘obat virus corona’. Di Tokopedia, harganya jauh lebih mahal. Rp 72.500 rupiah dengan embel-embel ’original’. Sedangkan shopee menjualnya Rp 50 ribu. Berdasarkan laporan yang dirilis farmasetika, sebuah situs informasi yang mengulas dunia kesehatan, obat herbal asal Tiongkok itu diteliti pada 284 pasien COVID-19. Hasilnya menunjukkan bahwa obat itu efektif dalam mengurangi gejala dan aman untuk digunakan. Penelitian ini lalu diterbitkan di jurnal phytomedicine pada Mei 2020, yang diperkuat oleh jurnal lainnya dari PlOS One, 11 September 2020. Di Indonesia, Lianhua Qingwen Capsules terdaftar sejak 13 Juni 2019 di BPOM RI sebagai obat tradisional impor dari Cina (TI144348471) yang diproduksi Shijiazhuang Yiling Pharmaceutical Co Ltd dengan importir PT Intra Aries. Tercantum di label berkhasiat untuk membantu meredakan panas dalam yang disertai tenggorokan kering dan meredakan batuk. Diklaim pula efektif untuk meredakan gejala influenza. Komposisi obat herbal ini yang utama adalah Forsythia suspensa, Lonicera japonica, Ephedra sinica, Isatis indigotica, Pogostemon cablin, Rheum palmatum, Glycyrrhiza uralensis, Dryopteris crassirhizoma, Rhodiola crenulata, Houttuynia cordata, Prunus sibirica, 1-menthol. Obat itu, adalah satu dari beberapa rekomendasi obat tradisional Tiongkok yang diterbitkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Berdasarkan surat Kepala BPOM, Penny Lukito, kepada Kepala BNPB mengimbau agar penggunaan obat tersebut hanya diberikan dalam kondisi darurat di Rumah Sakit rujukan COVID-19. Dan di bawah pengawasan dokter. “Penerbitan rekomendasi BNPB terhadap pemasukan obat tradisional, kami harapkan agar dipertimbangkan dengan persyaratan dokumen,” tulis Penny Lukito. Adapun persyaratan peredaran itu antara lain: Surat Pernyataan Donasi yang mencantumkan lokasi/ tujuan pendistribusian, sampai surat komitmen yang menyatakan kesediaan untuk melaporkan secara kepada BPOM. Syarat lain yang wajib dipenuhi ialah menempelkan surat tulisan kepada setiap satuan terkecil dengan kalimat: “Produk Donasi Tidak untuk Dijual”, “Hati-hati Dalam Penggunaan Harus Dengan Pengawasan Dokter”.TIDAK PERLU
Kepala Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (POM) Samarinda, Leonard Duma mengaku belum menerima surat tersebut. Namun, Leonard membenarkan, surat itu dikeluarkan BPOM pusat yang ditujukan ke BNPB dan Kemenkes. Ia pun menyebut, perihal obat yang dimaksud dalam surat tersebut. Masuk dalam kategori obat tradisional atau jamu. Dan sudah memiliki izin edar dari BPOM. Sehingga, penggunaanya tidak perlu di bawah pengawasan dokter. "Izin edar BPOM diawali dengan TI. Artinya Tradisional Import. Penggunaan jamu tidak perlu di bawah pengawasan dokter," jelasnya, Jumat (16/10/2020). Pernyataan ini bertolak belakang dengan surat Kepala BPOM di atas. Leonard menjelaskan memang ada beberapa jamu yang diizinkan masuk ke Indonesia. Berdasarkan permintaan oleh beberapa yayasan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Melalui skema khusus dalam keadaan darurat, hal itu diperbolehkan. "Tapi bukan untuk diperjualbelikan. Hanya permintaan secara pribadi dalam jumlah banyak. Untuk dibagi gratis ke komunitas mereka," ungkapnya. Pihaknya pun terus melakukan pengawasan terhadap obat yang dimasukkan secara khusus untuk penanganan COVID-19. Berbagai obat yang diklaim untuk penanganan COVID-19. Akan dilakukan uji sampel oleh BPOM. Untuk memastikan obat tersebut aman dikonsumsi. Karena hingga saat ini, belum ada pembuktian uji klinis terkait produk kesehatan yang dapat mengobati COVID-19. Yang ada, hanya produk kesehatan yang sudah digunakan untuk penyakit lain. Namun, bisa digunakan untuk meredakan indikasi gejala COVID- 19. Seperti batuk, demam, sakit kepala, hidung tersumbat, dan nyeri tenggorokan. "Karena obat COVID-19 ini kan belum cukup datanya. Tapi dalam kondisi darurat, ya harus ada keputusan," imbuhnya. Terpenting, kata dia, obat yang digunakan itu aman dan tidak menimbulkan efek samping berbahaya. Terbaru, Leonard menjelaskan. Indonesia melalui Kalbe Farma bekerja sama dengan Amarox Pharma Global. Anak perusahaan Hetero -- perusahaan farmasi generik terkemuka di India. Dan produsen obat antiretroviral terbesar di dunia. Akan mendistribusikan obat antivirus remdesivir untuk pasien COVID-19 di Indonesia. Remdesivir merupakan salah satu obat yang sudah masuk ke dalam standart of care Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Obat ini, juga sudah mendapat persetujuan Emergency Use Authorization (EUA) atau penggunaan obat COVID-19 darurat. Namun, Leonard menyebut, remdesivir diimpor secara khusus. Dan hanya digunakan di RS rujukan berdasarkan resep dokter. "Tidak dianjurkan untuk penyakit lain, karena kuota terbatas. Dan tidak bisa dibeli bebas di outlet atau apotek. Kalau ditemukan, berarti ada yang memasukkan secara ilegal," pungkasnya. (krv/yos)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: