Desakan Trump untuk Perang Dagang dengan Jepang dan China
Sanksi lebih keras terjadi pada 1987. Di mana AS mengenakan 100 persen pajak bea masuk impor. Untuk produk komputer, televisi, dan peralatan listrik asal Jepang.
Akibatnya, rakyat AS akhirnya harus membayar banyak. Untuk pengenaan tarif bea masuk tersebut. Biaya rata-rata chip memori menjadi 2 kali lipat mencapai $ 5,5 pada awal 1988. Padahal, harga barang tersebut hanya senilai USD 2,5 pada 1986.
“Sangat tidak mungkin untuk membantu semua orang Amerika melalui proteksionisme. Ini adalah kekeliruan besar di baliknya. Dengan membantu satu kelompok, kamu menyakiti kelompok lain,” tulis Sheldon Richman, mantan editor Cato yang menulis laporan bertajuk “Cato Institute Policy Analysis No. 107: The Reagan Record on Trade: Rhetoric vs. Reality”.
Kebijakan ini memang mampu menghentikan industri semikonduktor AS. Yang berdarah-darah akibat larangan ekspor ke Jepang. Akhirnya, Jepang kembali mengizinkan perusahaan AS. Untuk menjual produk ke negara tersebut. Hal ini dianggap sebagai kemenangan dan pengenaan tarif bea masuk impor dipandang sebagai keberhasilan oleh sebagian besar orang.
BERALIH KE CHINA
Kebijakan tarif ‘Reaganomics’ inilah yang tampaknya ditiru Trump. Ambisi Trump sejak akhir 1980-an untuk mengurangi defisit negara dagang masih menyala. Seiring pencalonannya sebagai salah satu kandidat Presiden ke-45 AS. Jika dulu AS membidik Jepang, kini Paman Sam membelokkan arah senapan ke China.
Juni 2016, Trump menjabarkan rencana untuk melawan praktik perdagangan tidak adil yang dilakukan China terhadap AS. Trump menerapkan tarif bea masuk impor. Berdasarkan Pasal 201 dan 301 Undang-Undang Perdagangan AS.
Kebijakan ini diambil demi mengurangi defisit perdagangan AS-China. Yang terus menggunung dan telah menembus USD 500 miliar per tahun. Dengan pencurian kekayaan intelektual senilai USD 300 miliar. US Trade Representative (USTR) menyusun proposal penerapan tarif bea masuk impor sampai dengan 25 persen. Kepada lebih dari 1.300 produk asal China. Dengan nilai berkisar USD 50 miliar. Yang terus ditingkatkan menjadi USD 100 miliar.
Kesenjangan neraca dagang AS dengan China terus meningkat. Dari USD 315 miliar pada 2012 menjadi USD 367,3 miliar di 2015. Defisit sempat mengecil pada 2014 menjadi USD 346,9 miliar. Namun dalam 2 tahun setelahnya kembali membengkak masing-masing menjadi USD 375,6 miliar di 2017 dan USD 419,2 miliar di 2018.
***
Beberapa ahli mengatakan, taktik perdagangan Trump tidak sama dengan yang dilakukan Reagan. Menurut mereka, tindakan Reagan terkait perdagangan dengan Jepang sangat spesifik dan tepat sasaran. Sementara itu, Trump ingin menghancurkan NAFTA, kesepakatan perdagangan antara Kanada, Meksiko dan AS, yang justru dulu diperjuangkan oleh Reagan.
“Trump berbicara tentang menarik diri dari NAFTA. Sementara Reagan memiliki ide untuk NAFTA,” kata Douglas Irwin, Junior Staf Ekonomi era kepemimpinan Reagan. Ia menambahkan, Reagan kemungkinan akan mewaspadai China seperti Trump. Tetapi tidak mengesampingkan hubungan masa depan terkait kedua negara. Hal senada diungkap Julian Evans-Pritchard, ekonom senior China dari Capital Economics kantor Singapura yang berbasis di London.
Menurutnya, ada perbedaan mendasar antara 2 negara yang dihadapi AS terkait taktik dagang. Pertama, Jepang telah menjadi sekutu dekat AS sejak akhir perang dunia dua dan sangat menggantungkan keamanannya kepada AS.
Selain itu, sistem politik dan ekonomi Jepang mirip dengan AS dan memiliki tujuan yang sama: membatasi pengaruh China yang semakin besar. Dengan begitu, “(Jepang) memiliki lebih banyak alasan untuk mengikuti tuntutan dan tekanan dari AS,” ucap Julian Evans-Pritchard.
Bertolak belakang dengan Jepang, pertumbuhan ekonomi China tidak sepenuhnya bergantung pada ekspor. Oleh karena itu, sulit bagi AS untuk memaksa China mengubah kebijakan industrinya. Sistem politik China pun sangat berbeda dengan banyak negara di dunia. S3ehingga AS mendapat lawan yang kuat saat ini.
“China berada dalam posisi yang kuat dan tidak akan segera bergeming terhadap isu-isu perdagangan yang membuat marah negara mitra dagang,” sebut Arthur Kroeber, pendiri sekaligus kepala peneliti Gavekal Dragonomics yang berbasis di Hong Kong. (trt/qn)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: