Indonesia Diadang Deflasi Beruntun

Indonesia Diadang Deflasi Beruntun

Ekonom Core Yusuf Rendy Manilet menyebut, permintaan barang dan jasa yang berada di level rendah membuat banyak pabrik mengurangi proses produksi. Padahal, beban perusahaan seperti listrik atau gaji pegawai mesti tetap berjalan.

Hal ini pada banyak kasus akhirnya mendorong terjadinya efisiensi. Salah satunya melalui pemutusan hubungan kerja. Ia memperkirakan pengangguran pada tahun ini bertambah 15 juta orang akibat pandemi COVID-19.

***

Bagi negara berkembang, inflasi adalah keniscayaan. Sebab ekonomi masih punya ruang untuk tumbuh. Sementara kemampuan dalam negeri belum cukup untuk memasok seluruh kebutuhan barang dan jasa yang terus meningkat. Permintaan yang tidak sebanding dengan pasokan ini menyebabkan harga bergerak ke atas alias inflasi.

Oleh karena itu, inflasi rendah apalagi deflasi sejatinya adalah berkah buat negara berkembang. Termasuk Indonesia. Pasalnya, kondisi ini mencerminkan ekonomi yang tumbuh. Tetapi bisa bisa ditopang oleh pasokan domestik. Sungguh sebuah kondisi yang indah.

Namun itu dalam kondisi normal. Saat situasi tidak normal, hal yang dianggap bagus justru jadi kelemahan. Kalau semua negara mengalaminya, artinya seluruh negara sedang sama-sama susah. Ada ‘musuh bersama’ yang membuat permintaan anjlok.

‘Musuh’ itu bernama pandemi virus corona (Coronavirus Diseaase-2019/COVID-19). Virus yang awalnya menyebar di Kota Wuhan Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini sudah menjadi pandemi global, menyebar ke hampir seluruh negara dunia.

Per 30 September 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan jumlah pasien positif corona di seluruh negara mencapai 33.502.430 orang. Bertambah 242.189 orang (0,73 persen) dibandingkan sehari sebelumnya.

Dalam 14 hari terakhir (17-30 September), rata-rata pasien positif corona bertambah 287.724 orang per hari. Naik dibandingkan 14 hari sebelumnya: 274.8892 orang.

Untuk mempersempit ruang gerak penyebaran virus corona, berbagai negara menerapkan kebijakan pembatasan sosial (social distancing). Pintu masuk seperti pelabuhan dan bandara ditutup. Masyarakat diminta untuk di rumah.

Kontak dan interaksi antar-manusia pun dibatasi. Karena virus akan lebih mudah menular dalam kerumunan. Apalagi di ruangan tertutup. Ini membuat aktivitas kerja di sektor non-esensial masih dibatasi. Restoran dan pusat perbelanjaan boleh beroperasi. Jumlah pengunjung tidak boleh seperti kondisi normal. Bahkan banyak negara yang masih meliburkan sekolah tatap muka.

Minimnya aktivitas masyarakat di luar rumah terlihat di Google Mobility Report. Per 25 September, aktivitas masyarakat Indonesia di lokasi perbelanjaan ritel dan rekreasi masih 15 persen di bawah normal. Sementara di lokasi transit (terminal, stasiun, dan sebagainya), jumlah pengunjung masih 30 persen di bawah hari-hari biasa. Sedangkan di tempat kerja, kehadiran masih 27 persen dibandingkan periode normal sebelum pandemi. Mobilitas masyarakat yang masih sangat terbatas ini membuat permintaan melorot tajam. Deflasi pun tidak bisa dihindari.

Kini, deflasi bukan mencerminkan kemampuan untuk menyediakan barang dan jasa sesuai dengan kebutuhan. Tetapi lebih karena amblesnya konsumsi. Padahal konsumsi adalah pilar penting dalam pembentukan output ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB).

Di Indonesia, konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari separuh PDB. Separuh nyawa perekonomian nasional adalah konsumsi rumah tangga. Deflasi yang menggambarkan kelesuan konsumsi rumah tangga membuat PDB mustahil tumbuh positif. Yang ada malah negatif alias terkontraksi.

Dengan deflasi yang terjadi sepanjang kuartal III-2020, maka sepertinya PDB Tanah Air pada periode Juli-September akan negatif. Proyeksi terbaru Kementerian Keuangan untuk pertumbuhan ekonomi kuartal III-2020 adalah minus 2,9 persen hingga minus 1 persen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: