Saat Pandemi, Kasus Kekerasan Seksual Malah Tinggi

Saat Pandemi, Kasus Kekerasan Seksual Malah Tinggi

BALIKPAPAN, nomorsatukaltim.com - UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Balikpapan mencatat, sejak April hingga akhir Agustus, sebanyak 40 kasus kekerasan terjadi terhadap anak maupun perempuan. Dari kasus tersebut, yang masih menjadi momok adalah kekerasan seksual. Kepala UPTD PPA, Esti Santi Pratiwi mengatakan, hal ini dampak dari adanya pandemi COVID-19 yang terjadi sejak April lalu hingga saat ini. Termasuk terhadap anak-anak di bawah umur yang libur panjang sekolah dan memilih belajar di rumah. "Total kasus itu ada 40 kasus, non-KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) ada 29 kasus, yang KDRT ada 11 kasus. Lalu jumlah korbannya itu totalnya 35 orang," ujarnya, Selasa (8/9/2020). Lanjut Esti, UPTD PPA paling banyak menangani kasus kekerasan seksual anak di bawah umur. Modusnya ialah berkenalan melalui aplikasi jejaring sosial, lalu melakukan pertemuan dan terjadilah kekerasan seksual yakni berhubungan intim. "Karena saat ini kan mereka pada banyak pegang gawai terus, mereka kenalan atau chatting dengan orang yang baru dikenalnya. Lalu diajak ketemuan dan terjadi tindak kekerasan seksual itu. Ada yang sampai hubungan suami istri," jelasnya. Rata-rata, anak di bawah umur yang menjadi korban adalah anak yang masih duduk di bangku SMP dan SMA. Mereka dengan bebasnya berkomunikasi melalui media sosial, lalu berkenalan dengan lawan jenisnya melalui sejumlah aplikasi jejaring sosial. Bahkan beberapa di antaranya ada yang berakhir dengan berbadan dua. "Mereka lewat aplikasi yang cari-cari teman itu, terus ketemuan. Bahkan ada yang sampai hamil. Tapi sudah kami tangani," tambahnya. Mereka yang menjadi korban tentu mendapat pendampingan oleh UPTD PPA. Mulai dari pendampingan psikolog hingga pendampingan hukumnya. Dampak dari kekerasan seksual yang dialami, mulai dari perundungan hingga tidak ingin bersekolah. "Kami lakukan pendampingan total sampai pada pendampingan hukumnya. Ada mereka yang enggak mau sekolah, tapi kami sekolahkan di tempat yang kami tunjuk. Pada intinya mereka tidak boleh putus sekolah, apapun ceritanya mereka harus mendapatkan hak untuk mendapatkan pendidikan," ujarnya. Berkaca dari jumlah kasus tersebut, Esti mengimbau kepada orangtua bahwa aktivitas anak harus tetap dipantau. Di mana peran dari orangtua dalam melakukan pendekatan terhadap anaknya sangat penting. Orangtua diminta bisa memosisikan diri sebagai teman maupun panutannya. Sehingga mereka bisa mencurahkan isi hatinya dan merasa mendapat perhatian dari orangtuanya. "Orangtua harus bisa berusaha menjadi teman bagi anak. Jangan kaku, sehingga sang anak bisa nyaman dan merasa diperhatikan. Sehingga pengawasan itu tetap berjalan. Sekali-sekali juga tanyakan saja kepada anaknya, bahwa dia lagi nonton apa di youtube atau cek ponselnya. Karena ketika anak nyaman sama kita, pasti dia akan plong cerita sama kita," tutupnya. (Bom/zul)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: