Menjelang Pilkada “Keluarga” 2020

Menjelang Pilkada “Keluarga” 2020

Arya menilai, jarak waktu yang panjang antara pileg dan pilkada tidak memberikan insentif ke partai untuk mendukung calon tertentu sejak awal. Sehingga partai akan “langsung” memilih orang-orang yang sudah mempunyai modal kedekatan, popularitas, hingga pendanaan yang kuat.

“Ada calon pemimpin daerah yang sudah pernah korupsi, masuk penjara tetap menang pilkada. Tidak ada risiko yang dilihat parpol saat mencalonkan calon yang tidak punya kapasitas. Partai kecil pun pragmatis memberikan dukungan ke partai besar bila dijanjikan akses ke APBD atau regulasi dan kesulitan mendorong orang-orang yang bagus,” tambah Arya.

LANGKAH SELANJUTNYA

Untuk menyelesaikan masalah oligarki politik dinasti, menurut Egi, tidak bisa menggantungkan semata pada perbaikan undang-undang parpol atau pemilu.

“Perbaikan parpol membutuhkan perubahan regulasi. Regulasi ada di DPR dan DPR. Terdiri dari parpol-parpol. Sehingga representasi formal sudah membusuk. Representasi formal ini juga sulit diubah. Karena dijaga aparatusnya. Baik ‘ideology regime apparaturs’ seperti ‘buzzer’ di medsos maupun ‘repressive regime apparatus’ misalnya kepolisian,” ungkap Egi.

Tawaran untuk membuat upaya tandingan (counter) terhadap representasi formal yang membusuk yang dilakukan secara kolaboratif antara “civil society organization”, media, akademisi hingga komunitas-komunitas di masyarakat.

Tujuan adanya tandingan itu agar parpol tidak mencalonkan calon-calon pemimpin yang tidak punya kapasitas sejak awal. Masyarakat juga tidak perlu memilih orang-orang yang tidak kredibel atau bahkan hanya mementingkan keluarganya sendiri. (an/qn)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: