Samarinda Harus Tetapkan Kawasan Dilindungi

Samarinda Harus Tetapkan Kawasan Dilindungi

 

Oleh: Yulius Samuel Laurens

PROGRAM Good Time Disway Kaltim membahas soal banjir di Samarinda. Tepatnya pengelolaan air di Ibu Kota Kalimantan Timur (Kaltim) itu. Menghadirkan narasumber Yohanes Budi Sulistioadi (Akademisi Universitas Mulawarman) dan Krisdiyanto (Pemerhati Lingkungan Samarinda). Kegiatan digelar pada Rabu 8 Juli. Berikut petikan wawancara Pemimpin Redaksi Disway Kaltim Devi Alamsyah yang dikemas dalam bentuk tanya jawab (Q/A):

Q: Di Samarinda ini banjir sudah menahun, dari analisa akademisi dengan kondisi yang terjadi terus menerus ini seperti apa?

A: Budi - Secara teoritis kita bisa melihat bersama, Samarinda ini memiliki bentuk seperti mangkuk. Di pinggir wilayahnya cenderung lebih tinggi. Namun di bagian tengahnya lebih rendah. Dengan kondisi seperti itu, bisa dipahami bahwa ada kalanya mangkuk tersebut tidak bisa mengalirkan air seluruhnya.

Nah, jika ingin dilihat lebih detil, bisa kita lihat pada peta wilayah yang kerap kali kami jadikan rujukan, yaitu peta yang sudah dibuat sejak tahun 1944 oleh tentara Amerika dan juga tentara Belanda. Dalam peta itu, sudah menunjukkan sebenarnya bahwa di sekitar wilayah Sungai Karang Mumus (SKM), ada wilayah-wilayah yang memang harus terendam.

Jika kita bicara lebih detil lagi soal Geomorfologi Sungai, daerah itu biasa disebut dengan flat plain atau dataran banjir. Definisinya yaitu, daerah tersebut harus terisi air saat debit air sungai menjadi lebih banyak. Misalkan saja terjadi hujan deras yang membuat debit air semakin banyak, sehingga wilayah-wilayah itu yang nantinya akan diisi oleh kelebihan debit air sungai tersebut.

Yohanes Budi Sulistioadi. (nomorsatukaltim)

Q: Nah, lokasi Flat Plain itu ada dimana saja Pak Budi?

A: Budi - Wilayahnya cukup luas, mulai dari Jalan S. Parman sampai ke hulu SKM. Di beberapa tepinya itu, dulunya menjadi lokasi flat plain atau wilayah yang pada waktu tertentu harus terendam.

Nah, ini kita baru bicara tentang SKM, belum berbicara sungai yang lain. Sebab perlu diketahui, Samarinda itu memiliki banyak sungai. Ada SKM, Sungai Karang Asam Besar, Sungai Karang Asam Kecil, Sungai Sambutan, Sungai Palaran, Sungai Loa Janan, Sungai Rapak Dalam. Belum lagi beberapa sungai kecil seperti Sungai Loa Bakung, Sungai Loa Buah dan beberapa sungai kecil lain, yang muaranya di Sungai Mahakam. Dimana, masing-masing sungai tersebut juga memiliki flat plain.

Q: Sebagai masyarakat kita ingin memiliki kehidupan yang lebih baik, tentunya jika banjir ini ada, akan terus mengganggu aktivitas kita. Apa yang seharusnya dilakukan, agar persoalan banjir ini bisa diatasi? Utamanya langkah-langkah strategisnya?

A: Budi - Jika kita lihat ke belakang, memang ada wilayah-wilayah yang seharusnya terendam oleh banjir. Namun, jika kita lihat sekarang daerah-daerah yang dulunya harus terendam itu, sekarang telah diisi oleh banyak bangunan. Sehingga jika terjadi hujan, debit air akan langsung mengalir ke sungai. Tidak seperti sebelumnya, dimana fungsi flat plain berjalan alami, hingga banyak ditumbuhi sejumlah vegetasi.

Nah, kalau ditanya kenapa saat ini banjir, dari kacamata akademisi disebabkan adanya perubahan. Dimana wilayah yang sebelumnya bisa meresapkan air, saat ini hilang karena bangunan.

Pertanyaannya lagi, seberapa banyak dan seberapa cepat banjir ini terjadi, jika dilihat kondisi Samarinda 25 tahun yang lalu. Kondisinya sangat jauh lebih asri, khsusnya di wilayah sungai. Namun, pesatnya pembangunan di Kota Samarinda ini, tidak diimbangi dengan upaya frontal menghambat laju air menuju sungai, sehingga tadinya wilayah yang menjadi daerah resapan, kemudian meluap ke jalan dan wilayah-wilayah sekitar sungai.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: