Diskualifikasi Peserta Pilkada, Apa Cukup PKPU? Atau Harus UU

Diskualifikasi Peserta Pilkada, Apa Cukup PKPU? Atau Harus UU

Masih soal wacana diskualifikasi kontestan Pilkada. Jika melanggar protokol kesehatan saat kampanye. Pengamat hukum Kaltim Sarosa Hamongpranoto berpendapat bisa saja diatur dalam PKPU. Karena sifatnya darurat. Namun, KPU RI berdalih, PKPU hanya pelaksana dari UU. Yang harus diubah UU-nya dulu.  

--------------

MENTERI Dalam Negeri M Tito Karnavian menyampaikan wacana diskualifikasi. Bagi kontestan pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang tidak mematuhi protokol kesehatan. Ketika kunjungan ke Balikpapan, Kalimantan Timur (Kaltim), pekan lalu.

Namun, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kaltim dan KPU masih ragu. Diskualifikasi atas kontestan pilkada belum ada payung hukumnya. Kategori sanksi diskualifikasi sendiri sudah diatur dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Antara lain, jika terbukti melakukan praktik politik uang atau mahar politik. Selain kontestan yang didiskualifikasi, partai pengusungnya pun bisa kena sanksi.    

Pengamat hukum Kaltim Sarosa Hamongpranoto punya opini berbeda. Tentang pernyataan Mendagri Tito itu. Menurut Sarosa, soal diskualifikasi calon yang tak mengindahkan protokol kesehatan, memang perlu ada dasar hukumnya. Agar bisa diterapkan. Menteri Tito bisa membuatkan aturannya.

"Itu bisa ditindaklanjuti. Apakah dengan surat keputusan atau peraturan menteri," katanya, Rabu (22/7).

Ketua Badan Kajian Hukum Universitas Mulawarman (Unmul) itu tahu, memang sanksi diskualifikasi bagi para calon yang tak mematuhi protokol kesehatan, termasuk para pendukungnya yang tak patuh protokol kesehatan, belum diatur. Baik di UU Pemilu maupun di Peraturan KPU (PKPU).

Berita Terkait:

KPU RI Menanggapi Wacana Diskualifikasi, I Dewa: Ubah Dulu UU-Nya

Meski saat ini, PKPU Nomor 6 Tahun 2020, yang mengatur tentang tahapan pilkada di tengah pandemi COVID-19, telah diterbitkan. Namun hal itu, belum mengatur tentang sanksi yang diwacanakan tersebut. "Sekarang ini kan kondisi darurat. Harus mengendepankan kepentingan umum (keselamatan di tengah COVID-19)," tambahnya.

Mendagri perlu membuat aturannya. Meski wacana diskualifikasi itu tak diatur di UU Pemilu. Nantinya, aturan yang dibuat Mendagri itu menjadi dasar KPU membuat aturan turunannya. Berupa PKPU. Atau mengubah isi PKPU nomor 6 tersebut.

Namun, kata dia, Mendagri juga harus punya alasan yang kuat. Sebagai dasar awal membuat aturan tentang sanksi diskualifikasi itu. "Kalau Mendagri mau menyusun, patokannya apa. Undang-undang kan umum. Tapi kan aturan di bawahnya ada," ujar salah satu guru besar di Unmul itu.

Setelah ada aturan dari Mendagri, KPU bisa menyesuaikan. Apakah dengan membuat PKPU baru, atau memasukkan soal sanksi diskualifikasi itu ke dalam PKPU yang sudah ada. Ke dalam PKPU nomor 6 itu, misalnya.

"Apakah mau membuat, atau dimasukan ke PKPU yang ada, itu enggak ada masalah. Yang penting ada cantolannya dulu. Apakah surat Mendagri atau peraturan menteri saya tidak tahu nanti seperti apa yang dikeluarkan oleh Mendagri," tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: