Bankaltimtara

Pancasila Masih Ada atau Hanya Ornamen Kekuasaan?

Pancasila Masih Ada atau Hanya Ornamen Kekuasaan?

Ruben Cornelius Siagian-istimewa-

UU Cipta Kerja menjadi penanda paling telanjang dari ideologi tersebut. Penelitian seperti Wibisana, K. (2025) menegaskan bahwa omnibus law itu merupakan bagian dari “politik akumulasi” yang menggeser negara dari pelindung publik menjadi fasilitator modal (Wibisana, 2025).

Prosedur pembuatan yang minim deliberasi memperlihatkan bagaimana DPR memilih posisi sebagai notaris kepentingan modal.

Republik Pencitraan

Setiap tragedi memperlihatkan watak asli kekuasaan. Alih-alih hadir dengan empati, sejumlah pejabat tampil dengan pujian hiperbolik kepada penguasa, bahkan saat warga masih berkabung.

Adegan bupati yang memuja presiden di tengah lokasi pengungsian bukan sekadar tindakan individu, bahwa itu adalah gejala struktural dari politics of performativity (Rose, 2002; Reed, 2013). Teori political personalization menjelaskan bahwa dalam demokrasi elektoral modern, pejabat semakin terdorong untuk menunjukkan kesetiaan simbolik, bukan kinerja (Caprara, 2007; Garzia, 2011). Dalam konteks Indonesia, fenomena ini diperparah oleh Logika patronase, yang membuat pejabat daerah bergantung pada pusat untuk akses anggaran.

Maka tragedi pun berubah menjadi panggung. Puing-puing rumah menjadi dekorasi. Rakyat yang kehilangan anaknya menjadi figur tambahan. Duka menjadi konten. Dan publik pun mulai bertanya apa arti Pancasila jika pejabat lebih sibuk memuja kekuasaan daripada memulihkan kehidupan warganya?

Ketika Pancasila Tidak Lagi Dihayati

Pancasila menjadi mantra yang sering diucapkan tetapi jarang diwujudkan. Dalam Civic Virtue Theory, nilai publik hanya hidup jika dipraktikkan secara konsisten oleh pemegang kekuasaan (Audi, 1998).

Namun bagaimana rakyat percaya bahwa Pancasila masih hidup ketika air mata warga tak cukup untuk menggerakkan negara, tanah ulayat digusur demi konsesi, hutan ditebang demi ekspansi industri, dan hak rakyat diperlakukan sebagai hambatan pembangunan.

Bencana Sumatera memperlihatkan bagaimana negara kini beroperasi, yaitu mempertahankan stabilitas politik, melindungi jejaring bisnis, dan mengatur persepsi melalui pencitraan dan buzzer.

Namun nilai-nilai bangsa tidak lahir dari istana, namun nilai itu lahir dari rakyat.

Jika negara gagal menjalankan Pancasila, itu bukan berarti Pancasila mati. Itu berarti rakyatlah yang kini harus menjadi penjaga terakhirnya. Karena ideologi hanya hidup sejauh ia diwujudkan.

Dan bila negara berhenti merawatnya, rakyatlah yang harus mengambil alih tugas itu. (*)

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: