Bankaltimtara

Pancasila: Yang Lahir dengan Cinta

Pancasila: Yang Lahir dengan Cinta

Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Mulawarman, Rina Juwita.-(Foto/Dok. Pribadi)-

Oleh: Rina Juwita

Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Mulawarman

ADA yang istimewa setiap kali kita menyebut Pancasila. Bukan karena ia sering dipidatokan. Bukan karena ia dibacakan dengan suara lantang di setiap upacara. Tapi karena ia lahir dari ruang sidang yang penuh kasih—kasih pada bangsa yang belum genap merdeka, tapi sudah sangat ingin bersatu.

Pancasila adalah anak dari semangat keberagaman. Ia lahir bukan karena semua sama, tapi justru karena semua berbeda dan ingin tetap bersama. Itu cinta, kalau bukan namanya apa?

Tapi cinta itu, sayangnya, kini terasa semakin jauh. Di tengah zaman yang semakin bising, Pancasila kadang terdengar seperti jargon tua yang diputar ulang. Ia masih dibaca, ya. Tapi kadang hanya sebagai formalitas.

Ia masih diajarkan, tentu. Tapi seringkali dengan metode yang membuatnya terasa seperti hafalan kosong. Kita lupa, bahwa nilai-nilai luhur tak bisa tumbuh dari baris kata, melainkan dari cara kita memperlakukannya.

Saya sering bertanya-tanya dalam hati: apakah bangsa ini masih mencintai Pancasila dengan cara yang sama seperti para perumusnya dulu? Atau kini ia sekadar simbol yang dijadikan alat ukur loyalitas? Dulu Pancasila lahir karena keinginan untuk hidup berdampingan. Kini ia sering dipakai untuk membungkam perbedaan.

Sebagai ilmuwan komunikasi, saya percaya pada kekuatan narasi. Tapi juga tahu, cinta tak bisa dipaksa. Cinta pada Pancasila pun sama. Ia harus dibangun lewat percakapan, bukan sekadar pengajaran. Lewat contoh, bukan sekadar ceramah. Pancasila harus dibumikan kembali dalam bahasa anak-anak muda, agar ia tak mati di buku teks.

Kita pernah punya mimpi besar bernama kebangsaan. Tapi hari ini, komunikasi publik kita justru semakin terfragmentasi. Yang beda agama dicurigai. Yang beda pilihan politik dikucilkan. Yang minoritas dituduh macam-macam. Padahal, dulu para pendiri bangsa justru merumuskan Pancasila untuk menjamin agar semua bisa hidup aman, nyaman, dan bermartabat—meski berbeda.

Ironis memang. Ketika Pancasila dirayakan setiap 1 Juni, tapi esok harinya kita kembali melukai sesama lewat komentar di media sosial.

Ketika Pancasila dibacakan dalam sidang paripurna, tapi legislasi yang lahir sering abai pada keadilan sosial.

Ketika Pancasila disematkan di dinding-dinding sekolah, tapi praktik intoleransi justru tumbuh di halaman-halamannya.

Pancasila seharusnya tidak hanya dibaca. Ia harus dirasakan. Ia bukan hanya milik negara, tapi milik kita semua. Dan seperti cinta, ia butuh dipelihara. Lewat dialog, bukan hanya deklarasi. Lewat tindakan kecil, bukan hanya slogan besar. Lewat komunikasi yang jujur dan terbuka—bukan manipulatif dan penuh klaim sepihak.

Saya sempat membaca, bagaimana Bung Karno menyebut Pancasila lahir dari “penggalian kepribadian bangsa sendiri.” Artinya, ia bukan titipan. Ia bukan salinan. Ia adalah refleksi cinta kolektif terhadap Indonesia. Tapi kini, justru nilai-nilai itulah yang sering terpinggirkan oleh narasi-narasi ekstrem, baik dari kiri maupun kanan.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: