Korupsi sebagai Kutukan Sumber Daya Alam

Senin 06-07-2020,09:47 WIB
Oleh: bayong

Pemerintah pusat dan Korsup Minerba KPK menghimpun data IUP tambang pasca booming izin (awal desentralisasi 750 izin pada 2001 menjadi  sekitar 10 ribu lebih di 2010). Mekanisme rekonsiliasi IUP pada 2011 dengan mengategorikan izin menjadi Clean and Clear (CnC) dan Non-CnC.

Sejak 2014 hingga April 2017, Korsup berhasil mencabut 776 izin tambang batu bara berstatus Non-CnC. Dalam tahap eksplorasi.  IUP batu bara tersisa hingga April 2017 mencapai 2.966 IUP. Luasan IUP yang dicabut mencapai 3,56 juta hektare. Sehingga setelah adanya Korsup Minerba KPK, total IUP mencapai sekitar 12,6 juta hektar (per 30 Januari 2017). Konsesi batu bara di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung dilaporkan mencapai 940,4 ribu atau 15 persen dari luasan konsesi minerba di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung.

RANTAI TATA KELOLA

Meskipun telah ada upaya serius memperbaiki tata kelola pertambangan, namun arena korupsi pertambangan masih begitu mengancam. Sejumlah laporan dari Civil Society Organization (CSO) menunjukkan begitu rentan rantai industri ekstraktif terhadap risiko korupsi yang berakibat kerugian keuangan negara dan lingkungan.

Perbaikan tata kelola perizinan dengan kategori IUP CnC dan Non-CnC yang dilakukan Korsup Minerba KPK disikapi berbeda oleh pemerintah daerah (pemda). Pemda mempertanyakan payung hukum dalam menentukan IUP CnC dan Non-CnC. Pemda juga menganggap dirinya sebagai pemilik bisnis yang harus menyelamatkan aset-asetnya. Praktek rent seeking dalam penerbitan IUP dilaporkan dalam riset Arwanto.B (2018). Yang melibatkan aktor informal (3P) Perantara, Perempuan, dan Paranormal. Dalam menembus lingkungan birokrasi formal.

Di bidang perdagangan batu bara penelusuran dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2018 selama periode 2006-2016. ICW menemukan indikasi unreporting transaksi batu bara (ekspor) sebesar US$ 27,062 milliar atau setara Rp 365,3 triliun (kurs Rp 13.500). Hal ini berdampak indikasi kerugian negara. Khususnya dari kewajiban perusahaan batu bara untuk pajak penghasilan maupun royalti/DHPB sebesar Rp 133,6 triliun. ICW menilai, selisih data ekspor berasal antara pemerintah, perusahaan pertambangan pengekspor, dan negara tujuan yang melakukan impor. Indikasi Ini terutama dalam melaporkan harga Free On Board (FOB) ekspor batu bara yang lebih rendah. Dari harga sebenarnya, nilai yang tidak dilaporkan ini sebesar US$ 7,91 per ton selama periode volume perdagangan 2006-2016.

Toni Kumayza

Indonesia berupaya mencegah dan memberantas korupsi di sektor pertambangan difokuskan pada transparansi penerimaan pemerintah dari sektor pertambangan batu bara. Fokus itu penting. Namun tahap pertama dari rantai nilai pertambangan adalah IUP sebagai penyebab korupsi. Transparancy Internasional Chapter Indonesia 2017 melaporkan kerentanan dalam pemberian izin pertambangan batu bara meliputi faktor-faktor kontekstual, proses penentuan wilayah pertambangan, proses pelelangan wilayah pertambangan, dan penerbitan IUP.

Faktor kontekstual yang berdampak buruk dan sangat rentan adalah Pilkada langsung yang berbiaya tinggi. Sedangkan akuntabilitas, kontrol, dan pengawasan dana kampanye yang disumbangkan kepada para kandidat masih buruk. Para kandidat politik secara ilegal menerima sumbangan dari pemegang IUP atau perusahaan-perusahaan yang mendaftar untuk IUP. Obral IUP saat Pilkada menjadi bisnis politik lokal dengan praktek rent seeking di dalamnya (Arwanto.B 2018).

Kerentanan dalam penentuan wilayah pertambangan ditandai dengan sistem informasi geologi nasional. Untuk pertambangan tidak lengkap dan tidak cukup untuk digunakan sebagai rujukan menentukan nilai dasar properti yang sebenarnya dalam pelelangan (Pushep, 2014). Kerentanan proses lelang ditandai dengan panitia lelang tidak dapat memverifikasi kebenaran dokumen yang dikumpulkan untuk proses pemberian izin, tidak ada uji tuntas klaim para pemohon mengenai kapasitas administratif, keuangan dan teknis mereka termasuk NPWP perusahaan pemohon. Berikutnya kerentanan penerbitan IUP ditandai dengan detail izin dan perusahaan yang diberikan izin tidak diketahui publik.

Sulitnya akses ini dialami Jatam yang melakukan gugatan kepada Dinas Pertambangan dan Energi beserta Bupati Kukar tertanggal 10 Maret 2014 mengenai permohonan informasi publik IUP dan pemanfaatan APBD. Kasus ini bergulir selama 18 bulan dan dimenangkan Jatam.

URGENSI PENGUNGKAPAN BO

BP Statistical Review Of World Energy 2016 sebagaimana dilaporkan ICW pada 2018, sekitar 60 persen bisnis batu bara dikuasi oleh sepuluh  grup perusahaan besar. Seperti Adoro (ADRO), BUMI, Indika (INDY), Indo Tambang (ITMG), Berau (BRAU/Sinar Mas Group), Bukit Asam (PTBA), Sakari, Bayan (BYAN), Harum (HRUM), dan Toba Bara (TOBA).

Oleh karena itu, menjadi sangat penting mengembangkan peta kepemilikan perusahaan yang akan mengungkap penerima manfaat utama (Beneficial Owner/BO) dari konsesi batu bara di Indonesia.

Menurut ICW (2018), penerima manfaat (BO) sulit sekali diidentifikasi. Karena pemilik sebenarnya dari perusahaan tambang yang beroperasi di Indonesia sering tidak muncul dalam dokumen resmi perusahaan. Baik sebagai direktur ataupun pemilik saham.  Sedangkan tidak banyak aturan yang telah dibuat untuk mewajibkan dicantumkannya BO dalam dokumen resmi perusahaan. Padahal bisa jadi para BO yang mengatur sektor SDA merupakan pejabat negara, anggota keluarga, pemegang kuasa (proxies), elite politik, maupun pengusaha yang menjadi Politically Exposed Person (PEP).

Minimnya pengaturan BO pada sektor SDA membuat konflik kepentingan (regulator sekaligus operator) semakin rentan dalam pengambilan keputusan. Padahal konflik kepentingan sering kali menjadi awal mula korupsi. Konsistensi penegakan dan pengawasan atas ketidakpatuhan terhadap sektor SDA menjadi sulit dilakukan. Karena berhadapan dengan orang lingkar dalam kekuasaan.

Menurut ICW, pengungkapan BO sangat mendesak. Definisi BO yang memadai dalam undang-undang nasional haruslah terfokus pada orang (bukan badan hukum). Yang memiliki dan memperoleh manfaat dari modal atas aset badan hukum. Bukan hanya orang yang secara hukum di atas kertas berhak atas hal tersebut. Definisi BO juga harus mencakup individu yang memegang kendali de facto. Baik yang menempati posisi formal ataupun tidak. Atau yang dicantumkan di daftar perusahaan sebagai pemegang posisi pengendali.

Tags :
Kategori :

Terkait