“Sementara ini masih dalam lingkup Indonesia. Biasanya kami kirim ke Jakarta untuk diolah lebih lanjut,” jelasnya.
Athalla mengaku target pengumpulan minyak jelantah setiap bulannya terus meningkat. Dari yang semula target 30.000 liter per bulan, perlahan mulai naik.
Targetnya saat ini adalah mengumpulkan sekitar 45.000 liter minyak per bulan. Harga jualnya sekitar Rp 5.000 per liter. Artinya jika ada yang hendaK menjual minyak, Athalla bersedia menjualnya sekitar Rp 5.000 per liter.
Rupanya, Athalla tidak hanya ingin mengembangkan usahanya di Samarinda.
Baru-baru ini ia bahkan mencoba berekspansi membuka cabang di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
BACA JUGA:Doyan Ngopi? Jangan Berlebihan! Ini Batas Aman Harian Menurut Ahli Gizi Agar Tetap Sehat
Athalla menjelaskan pula menjual minyak jelantah tidak hanya menguntungkan, tapi juga membantu menyelamatkan lingkungan.
Bisa dibayangkan jika berliter-liter minyak bekas tersebut dibuang ke parit.
Malah akan menyumbat saluran drainase atau pembuangan air. Selain itu juga pasti akan mengotori lingkungan sekitar.
Namun, bisnis minyak jelantah tak lepas dari tantangan. Salah satunya kebijakan pemerintah yang melarang ekspor minyak jelantah sejak 9 Januari lalu.
“Larangan ekspor membuat harga jual turun cukup signifikan. Sekarang nilainya tidak lebih dari Rp1 juta per ton,” tutur Athalla.
BACA JUGA:Villa Kaning Park: Wisata Baru, Ramah Kantong dengan Spot Instagramable di Tenggarong
Kendati demikian, ia tetap optimistis bisnis ini masih memiliki prospek cerah.
Menurutnya, pengelolaan minyak jelantah bukan hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga bermanfaat bagi lingkungan.
“Harapan saya, makin banyak anak muda yang melihat potensi dari limbah. Jangan malu mulai dari hal kecil, karena yang penting itu konsistensi dan niat baik,” ujar Athalla menutup pembicaraan.